Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 68

NIC

Mereka yang berada di bawah kini saling berunding, memilih-milih dan akhirnya dua orang di antara mereka maju menuju serambi. Mereka berdua adalah orang-orang berpakaian petani, berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan tubuh mereka kurus, wajah mereka penuh garis-garis penderitaan.

Sekali pandang saja dapat tampak jelas bahwa mereka adalah orang-orang miskin, akan tetapi langkah mereka tegap dengan tubuh tegak dan sinar mata mereka menunjukkan bahwa mereka berdua bukan orang bodoh dan bersemangat. Biarpun demikian, setibanya di bawah serambi, mereka tampak ragu karena sepuluh orang berpakaian mewah itu berdiri di atas serambi dan memandang mereka.

Melihat keraguan mereka, Bwee Hwa menjadi tidak sabar. “Hei, kalian naiklah ke sini. Kalian seperti orang takut. Apa sih yang ditakuti?”

Mendengar ini, barulah kedua orang itu berani naik serambi yang bertangga itu dan berdiri di depan Bun Sam sambil memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata, “Taihiap, kami yang ditugaskan oleh para teman untuk menjadi wakil dan mendengarkan apa yang taihiap perintahkan.”

“Kami tidak memerintahkan, akan tetapi akan mengajak kalian bercakap-cakap dan kami harap kalian berdua bicara sebenarnya, jangan menyembunyikan sesuatu dan jangan berbohong. Ketahuilah, kami berdua hanya ingin mengatur agar kehidupan di dusun ini menjadi aman tenteram dan makmur bagi semua orang.”

“Mari, ji-wi taihiap, silakan duduk agar lebih enak kita bicara,” kata Gan-cungcu, mempersilakan Bwee Hwa dan Bun Sam untuk mengambil tempat duduk di atas kursi yang berada di serambi itu.

Mereka semua lalu duduk mengitari sebuah meja besar. Empatbelas orang itu duduk saling berhadapan terhalang meja bundar itu. Dua orang wakil penduduk yang agaknya masih takut-takut sengaja mengambil tempat duduk di sebelah Bun Sam, seolah mereka ingin mendapat perlindungan.

“Nah, sekarang kami berdua ingin bertanya kepada kalian berdua yang mewakili penduduk dusun ini. Sebetulnya mengapa penduduk yang kami lihat cukup banyak ini tidak dapat bersatu dan tidak melakukan perlawanan ketika gerombolan itu datang mengganggu?”

Seorang di antara kedua wakil penduduk itu, yang tubuhnya kurus akan tetapi sinar matanya penuh semangat, setelah melirik ke arah kepala dusun Gan See Ki dan komandan keamanan Bu Sui, lalu berkata dengan suara cukup lantang. “Ji-wi taihiap, apa yang dapat dilakukan orang-orang miskin seperti kami? Kami tidak memiliki apa-apa, maka gerombolan itu tidak dapat mengganggu kami.”

“Kalian hidup dalam kemiskinan? Aneh, kami lihat dusun ini cukup ramai dan tampaknya kehidupan rakyatnya makmur karena dusun ini menghasilkan banyak hasil bumi. Sebagai petani, tentu kalian memiliki sawah ladang dan mempunyai penghasilan yang cukup.”

Orang itu menggeleng kepala. “Kami tidak mempunyai tanah, taihiap.”

“Lalu tanah yang luas dan subur yang kami lihat di luar dusun itu, milik siapa?” tanya Bwee Hwa. “Semua itu milik Gan-cungcu, Bu Kauwsu, dan delapan orang hartawan ini.”

“Dan kalian sendiri, bekerja apa?” tanya pula Bwee Hwa.

“Kami hanya pekerja bayaran, menggarap sawah ladang milik mereka.”

“Hemm, melihat keadaan penduduk yang rata-rata miskin, berarti upah yang kalian terima sedikit, bukan?”

Dua orang itu tampak rikuh dan beberapa kali mengerling ke arah kepala dusun dan komandan. Kemudian orang kedua menjawab lirih, “Yah, cukup untuk makan, lihiap.”

“Sekarang aku mengerti mengapa tidak ada persatuan di antara penduduk dusun ini.” kata Bun Sam. “Ternyata di antara yang kaya dan yang miskin tidak saling membantu. Dan ini merupakan kesalahan kepala dusun yang tidak mampu mengatur! Gan-cungcu, kami memberi ingat kepadamu. Menjadi kepala dusun haruslah mendahulukan kepentingan rakyat, jangan hanya mementingkan diri sendiri, menumpuk kekayaan untuk diri sendiri tanpa memikirkan keadaan penduduknya. Ingatlah, tanpa adanya penduduk dusun, engkau tidak akan menjadi kepala dusun! Kalau engkau tidak mampu mengatur demi kesejahteraan rakyat, engkau tidak pantas menjadi kepala dusun! Bagaimana mungkin sebagai kepala dusun engkau menjadi kaya-raya, padahal engkau tidak berdagang seperti para saudagar? Diadakannya seorang kepala dusun adalah untuk melayani dan mengatur kebutuhan penduduk dusunnya, bukan sebaliknya rakyat harus melayani kebutuhanmu! Mengertikah engkau, Gan- cungcu?” Suara Sie Bun Sam penuh wibawa sehingga kepala dusun itu menundukkan mukanya yang berubah pucat.

“Saya mengerti, taihiap.”

“Dan engkau, Bu-kauwsu, apakah tugasmu sebagai pemimpin pasukan keamanan di dusun ini?” tanya Bun Sam dengan suara keren.

“Saya saya bertugas menjaga keamanan di dusun ini, taihiap.”

“Keamanan siapa yang kaumaksud? Engkau dan anak buahmu menjadi kea-manan mereka yang kaya- raya ataukah menjaga keamanan seluruh penduduk dusun?”

“Menjaga keamanan...... eh....... seluruh penduduk dusun ! “Hemm, benarkah begitu? Melihat penduduk yang miskin tidak ada yang membantu, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak ada kerja sama yang baik antara pasukan dengan penduduk. Seperti yang kulihat di mana-mana, pasukan keamanan dipimpin komandannya biasanya hanya menjadi tukang- tukang pukul membela kepala dusun dan para hartawan. Buktinya engkau menjadi seorang di antara mereka yang kaya raya di dusun ini! Tentu engkau dan anak buahmu bersikap bengis dan membantu kepala dusun menindas rakyat, maka mereka tidak mau membantu ketika ada gerombolan mengganggu. Engkau menjadi komandan keamanan bertugas untuk menjaga keamanan di dusun, melindungi semua penduduk, bukan hanya melindungi para hartawan dan kepala dusun agar mendapatkan banyak uang memperkaya diri sendiri! Kenyataan seperti ini membuat pasukanmu lebih tepat disebut pasukan penindas rakyat daripada pasukan penjaga keamanan dusun. Mengertikah engkau?”

Bu Kauwsu menundukkan mukanya yang pucat seperti muka kepala dusun Gan. Dia tidak berani membantah karena memang demikianlah kenyataannya. Mereka itu biasanya membela kepentingan kepala dusun dan para hartawan. Kalau ada penduduk yang membangkang perintah kepala dusun atau banyak menuntut kepada para hartawan, Bu Kauwsu ini dan anak buahnya yang bertindak sebagai tukang pukul dan mengancam penduduk sehingga penduduk terpaksa melakukan apa saja yang diperintahkan Gan-cungcu dan bekerja untuk para hartawan dengan upah yang sebetulnya kurang namun mereka tidak berani membantah karena pasukan keamanan siap untuk menghukum mereka yang banyak membantah!

“Sekarang kalian para hartawan dusun ini! Tidak sadarkah kalian darimana kalian mendapatkan kekayaan kalian itu? Coba renungkan! Apakah kalian menggunakan kaki tangan dan tenaga kalian sendiri untuk menggarap sawah ladang yang menghasilkan banyak uang? Ataukah itu hasil cucuran para pekerja itu? Kalian tidak boleh mementingkan diri sendiri, menumpuk harta tanpa memperhatikan mereka yang bekerja mati-matian untuk mendatangkan banyak uang bagi kalian! Apakah kalau kalian mati kalian akan membawa uang ke alam baka? Apakah kalau ada serangan para gerombolan tadi, uang kalian dapat menolong kalian? Sebaliknya malah, kalian diganggu perampok justeru karena kalian punya banyak uang! Harta benda tidak selamanya mendatangkan kebahagiaan, bahkan mendatangkan kesengsaraan kalau tidak dipergunakan dengan baik, untuk menolong mereka yang kekurangan! Kalau tadi kami tidak datang, ke manakah sekarang harta kalian, atau puteri kalian, atau bahkan nyawa kalian? Karena kalian memeras tenaga rakyat dusun ini, maka hubungan kalian dengan para penduduk tidak akrab. Hal ini membuat para penduduk miskin itu tidak mempunyai rasa kasih terhadap kalian karena kalian juga tidak memiliki rasa kasih kepada mereka. Mereka tidak mengacuhkan kalau harta benda kalian dirampok gerombolan! Dapatkah kalian menyadari kesalahan kalian?”

Para hartawan itu mengangguk-angguk dengan muka berubah kemerahan karena merasa malu. Baru sekali ini mereka mendengar ucapan seperti itu dan seolah baru terbuka mata mereka bahwa ucapan itu mengandung kebenaran. Kalau tidak ada para pekerja tani itu, tidak mungkin mereka dapat mengumpulkan harta! Dan kalau dilihat apa yang mereka dapatkan dari hasil keringat para pekerja tani itu, yang membuat harta kekayaan mereka semakin bertumpuk, memang harus diakui bahwa apa yang didapatkan dari cucuran keringat para pekerja itu sama sekali tidak sesuai, jauh terlalu kecil dan hanya tiba pas, bahkan harus mengurangi jatah makan, untuk kebutuhan perut mereka sekeluarga sehari-hari. Untuk membeli pakaian dan kebutuhan selain makan hampir tidak ada kelebihannya, apalagi untuk membangun atau memperbaiki rumah tinggal!

“Kami menyadari kekurang bijaksanaan kami. Akan tetapi, bagaimana baiknya menurut taihiap?” tanya seorang di antara delapan hartawan itu. Bwee Hwa yang sejak tadi mendengarkan ucapan Bun Sam kini menjadi kagum bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa Bun Sam bukan saja memiliki ilmu silat yang amat lihai, jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya, atau kepandaian Ui Kong, atau bahkan tingkat kepandaian mendiang Ong Siong Li sekali pun, akan tetapi juga memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan mendalam tentang kehidupan rakyat. Maka iapun ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.

Posting Komentar