Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Heng-san Chapter 66

NIC

Para perampok itu bersorak-sorak dan mereka merampas lima buah kereta dan hendak mengisi kereta- kereta itu dengan barang-barang berharga yang akan mereka ambil dengan mudahnya dari toko-toko dan rumah gedung para hartawan.

Kepala dusun dan komandan keamanan beserta delapan orang hartawan dan keluarga mereka, bersembunyi di dalam gedung masing-masing dan tidak berani keluar.

Dua orang kepala perampok itu dengan wajah gembira berdiri di pekarangan rumah gedung milik kepala dusun karena lima buah kereta itu dikumpulkan di situ. Limapuluh lebih perampok itu kini sambil bersorak mengangkuti barang-barang berharga yang mereka ambil dari toko-toko dan rumah gedung para hartawan tanpa ada yang berani menghalangi mereka. Setelah melihat betapa sudah ada tiga buah kereta dipenuhi barang, tinggal dua kereta lagi yang kini sedang diisi barang-barang rampokan, dua orang perampok itu sambil tertawa-tawa dan minum arak dari guci arak yang mereka ambil dari rumah makan, mereka memberi perintah kepada anak buah mereka. “Jangan lupa bawa para wanita muda dan cantik. Kumpulkan mereka di sini!”

Para perampok yang semua berwatak liar itu bersorak dan mulailah mereka menyerbu rumah-rumah gedung. Terdengar jeritan-jeritan wanita yang mereka paksa keluar dari rumahnya, diseret ditarik dan ada yang dipondong dengan paksa. Tidak kurang dari tigapuluh orang gadis dusun Liok-teng telah ditawan, dan mereka adalah gadis-gadis yang paling cantik di dusun itu. Para gadis itu menangis sehingga suasana menjadi riuh.

Akan tetapi, tiba-tiba beberapa orang anggauta perampok terpelanting roboh. Mereka mengaduh-aduh dan para anak buah yang lain melihat betapa ada seorang pemuda dan seorang gadis datang dan setiap orang perampok yang berani menghadang mereka robohkan dengan tamparan atau tendangan!

Pemuda dan gadis itu adalah Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa. Mereka kebetulan lewat di dusun itu dan melihat banyak orang berlarian keluar dari dusun dengan wajah ketakutan, mereka segera bertanya. Ada yang memberitahu bahwa dusun Liok-teng kedatangan perampok yang kini sedang merampok barang-barang berharga dari dusun itu dan banyak orang, terutama para petugas keamanan, roboh oleh amukan mereka.

Mendengar ini, Bun Sam dan Bwee Hwa cepat berlari memasuki dusun Liok-teng dan mereka segera mendengar jerit tangis para wanita. Segera mereka berlari menuju suara ribut-ribut itu dan ketika ada beberapa orang perampok hendak menghadang mereka, mereka merobohkan para penghadang itu dengan tamparan atau tendangan. Sebentar saja delapan orang anak buah perampok terpelanting roboh dan mengaduh-aduh kesakitan. Para anak buah perampok yang lain menjadi marah dan mereka mencabut golok. Akan tetapi Bun Sam berbisik kepada Bwee Hwa.

“Kita tangkap dua orang pemimpin mereka itu!” katanya ketika melihat dua orang kepala perampok yang tinggi besar itu berdiri di pekarangan rumah gedung kepala dusun sambil tertawa-tawa dan bertolak pinggang.

Bwee Hwa mengangguk dan ketika puluhan orang anak buah perampok menyerbu hendak mengeroyok mereka dengan golok di tangan, dua orang pendekar itu melompat tinggi, melampaui atas kepala para perampok dan setelah keluar dari kepungan mereka lalu berlari menghampiri dua orang kepala perampok itu.

Dua orang kepala rampok itu tadi melihat betapa anak buah mereka ada yang roboh dan melihat pula pemuda dan gadis yang membuat beberapa orang anak buah mereka berpelantingan itu. Akan tetapi melihat banyak anak buah mereka sudah mencabut golok dan mengepung, mereka menjadi senang dan berteriak, “Bunuh dua orang itu!”

Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika melihat betapa pemuda dan gadis itu melompati para anak buah mereka yang mengepung dan kini tahu-tahu telah berdiri di depan mereka!

Bun Sam dan Bwee Hwa melihat ke arah dua orang kepala perampok itu. Memang mereka ini menyeramkan sekali. Tubuh mereka tinggi besar, hampir satu setengah kali tinggi dan besar tubuh orang biasa. Yang seorang memiliki wajah yang penuh dengan bekas penyakit cacar, menjadi bopeng dan berlubang-lubang. Matanya sipit seperti terpejam dan dia memelihara jenggot dan kumis tebal, agaknya dalam usahanya untuk menutupi bopengnya. Tubuhnya gempal dan tampak kokoh sekali. Usianya sekitar empatpuluh tahun.

Orang kedua juga sama besar dan kokoh, usianya juga sebaya. Akan tetapi mukanya agak pucat kekuningan dan tanpa jenggot maupun kumis. Kepalanya botak, bagian atasnya licin tanpa ada sehelaipun rambutnya. Yang ditumbuhi sedikit rambut hanya di atas telinga dan tengkuk. Matanya lebar melotot menyeramkan dan mulutnya juga lebar.

“Hei, dua orang bocah yang bosan hidup! Berani benar kalian mencampuri urusan kami!” bentak Si Muka Bopeng mata sipit.

“Kalian sudah bosan hidup berani menentang Thian Te Sai-ong,” bentak Si Kepala Botak mata melotot.

“Wah, kalian ini Thian Te Sai-ong (Raja Singa Langit Bumi)? Tidak pantas, baiknya diganti menjadi Raja Singa Bopeng Botak!” kata Bwee Hwa sambil ter-senyum mengejek.

Dua orang kepala perampok itu marah sekali, akan tetapi Thian Te Sai-ong, yang menjadi pemimpin pertama, terpesona oleh kecantikan Bwee Hwa.

“Te-sai-ong (Raja Singa Bumi), bunuh pemuda itu dan aku akan menangkap yang perempuan. Gadis ini pantas untuk menjadi pendampingku, ha-ha-ha!” kata kepala perampok berwajah bopeng dan bermata sipit.

Te Sai-ong tadi melihat bahwa pemuda dan gadis itu lihai, akan tetapi dia tidak khawatir karena dia yakin akan kemampuan sendiri, pula kini semua anak buah perampok sudah meninggalkan kesibukan mereka dan mengepung tempat itu, membuat lingkaran sehingga gadis dan pemuda itu tidak akan dapat lari. Mendengar perintah Thian Sai-ong, dia tertawa dan begitu tangan kanannya bergerak, dia telah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

“Ha-ha, bocah tolol! Berani menentang kami berarti bosan hidup! Mampuslah!” Dia menggerakkan goloknya yang menyambar dahsyat ke arah leher Bun Sam. Akan tetapi dengan mudah saja Bun Sam mengelak sehingga Te Sai-ong men-jadi penasaran dan marah. Dia menyerang bertubi-tubi, namun bagi Bun Sam, gerakan orang tinggi besar botak itu amat lambat dan dia tahu bahwa lawannya lebih memiliki tenaga kasar yang besar daripada ilmu silat yang baik. Semua serangan itu dapat dia hindarkan dengan amat mudahnya.

Sementara itu, Thian Sai-ong yang memandang ringan Bwee Hwa dan ingin segera mendekapnya, sudah menubruk bagaikan seekor singa kelaparan menubruk seekor domba muda. Kedua lengannya yang panjang berotot itu dikembangkan dan menyambar dari kanan kiri hendak menangkap tubuh Bwee Hwa. Akan tetapi Bwee Hwa tidak sesabar Bun Sam menghadapi kepala perampok itu. Ia melangkah mundur dengan gerakan cepat pada saat kedua lengan itu menyambar dari kanan kiri dan begitu tangkapan itu luput Bwee Hwa bergerak ke samping lalu kakinya mencuat ke arah perut lawan.

“Bukk……!” Perut gendut sebesar perut kerbau itu terkena tendangan, mengeluarkan suara seperti tambur besar ditabuh dan tubuh Thian Sai-ong terhuyung ke belakang. Bwee Hwa tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Cepat tubuhnya melompat ke depan dan tangannya menampar. “Crottt !!” Pipi kanan Thian Sai-ong terkena tamparan tangan kiri Bwee Hwa. Karena tamparan itu

mengandung tenaga dalam yang amat kuat, maka tak dapat dihindarkan lagi, pipi itu membengkak dan beberapa buah gigi sebelah kanan copot dan bibirnya pecah berdarah!

Melihat ini, beberapa orang anak buah perampok menerjang untuk membela pimpinan mereka yang terpelanting dan mengaduh-aduh itu. Akan tetapi mereka disambut tubuh gadis itu yang berkelebatan, hanya tampak bayangan merah dan enam orang sudah berpelantingan dan mengaduh-aduh, ada yang ditampar tangan dan ada pula yang kebagian tendangan kaki.

Thian Sai-ong menggereng seperti singa dan dia sudah mencabut goloknya. Wajahnya yang buruk penuh bopeng itu kini menjadi semakin jelek karena pipi kanannya membengkak. Lenyaplah semua gairah berahinya terhadap Bwee Hwa, terganti rasa benci yang membuat dia mendengus-dengus seperti kerbau gila. Matanya yang sipit itu menjadi semakin sipit, apalagi yang kanan karena pipinya membengkak besar.

“Auurrgghhhh ” dia menggereng dan menyerang dengan bacokan goloknya.

“Tranggg !” Golok itu bertemu dengan pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangan Bwee

Hwa sehingga terpental dan nyaris terlepas dari tangan Thian Sai-ong yang terasa pedas dan panas sekali. Dia berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mengeroyok gadis yang kini dia tahu amat lihai itu.

Segera belasan orang mengeroyok Bwee Hwa dengan senjata golok mereka. Tentu saja tidak lebih dari belasan orang yang dapat mengeroyok, karena kalau terlalu banyak, tentu akan mengacaukan kawan sendiri. Akan tetapi Bwee Hwa menggerakkan pedangnya dengan cepat, tubuhnya berkelebatan, pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan suara berdengung seperti ratusan ekor lebah mengamuk sehingga tidak ada pengeroyok yang mampu mendekatinya. Kalau ada yang berani terlalu dekat, tentu dia akan roboh disambar pedang.

Sekali ini Bwee Hwa teringat akan percakapannya dengan Bun Sam. Ia merobohkan para pengeroyok tanpa membunuhnya sehingga pedangnya tidak pernah membacok leher atau memasuki tubuh, hanya melukai pundak, lengan atau kaki lawan saja.

Sementara itu, Bun Sam juga sudah dikeroyok karena Te Sai-ong juga merasa kewalahan. Akan tetapi Bun Sam yang amat lihai itu melayani mereka dengan tenang. Setiap ada golok menyambar, dia berani menangkis, bahkan menangkap golok itu dan sekali remas, golok itu patah-patah. Dia merobohkan para pengeroyok dengan tendangan atau tamparan tangannya yang mengakibatkan patah tulang.

Melihat Bwee Hwa juga mengamuk dan dikeroyok, Bun Sam merasa khawatir kalau-kalau gadis itu akan melakukan banyak pembunuhan. Maka dia membuka kepungan terhadap dirinya lalu melompat ke dekat Bwee Hwa. Kini dia melihat betapa Bwee Hwa juga hanya merobohkan para pengeroyoknya tanpa membunuh dan hal ini menggirangkan hatinya.

Mereka berdua lalu mengamuk dan dalam waktu singkat, lebih dari setengah jumlah para perampok itu sudah mereka robohkan! Kedua kepala perampok itupun masih mencoba untuk membunuh pemuda dan gadis itu, namun akhirnya Thian Sai-ong roboh dengan pundak terluka parah oleh pedang Sin-hong- kiam, sedangkan Te Sai-ong roboh dengan kaki kanan patah tulangnya. Melihat ini, sisa anak buah perampok menjadi gentar sekali. Penduduk dusun Liok-teng yang melihat betapa sepasang orang muda itu mengamuk dan banyak sekali perampok yang roboh, kini menjadi berani dan mulailah mereka menolong para gadis, membawa mereka pergi ke rumah masing-masing dan merekapun membongkar barang-barang dari kereta dan dikembalikan kepada pemiliknya!

Akhirnya sisa para perampok yang tinggal belasan orang itu, menjadi ketakutan dan mereka melarikan diri cerai berai meninggalkan mereka yang terluka!

Bwee Hwa menghampiri dua orang kepala perampok yang kini duduk di atas tanah saling berdekatan karena tadi Thian Sai-ong yang terluka pundaknya menghampiri Te Sai-ong yang patah tulang kakinya. Melihat gadis itu menghampiri mereka dengan pedang di tangan dua orang kepala perampok ini menjadi pucat wajahnya dan memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Bun Sam juga melihat ini dan melihat wajah Bwee Hwa yang kemerahan karena marah itu cepat berseru.

“Hwa-moi, jangan bunuh, maafkan mereka, beri kesempatan kepada mereka untuk bertaubat!”

Bwee Hwa mengayun pedangnya dua kali. Darah muncrat dan dua orang kepala perampok itu berteriak lalu roboh terguling. Kaki kanan mereka telah buntung sebatas lutut!

“Aih, Hwa-moi !” Bun Sam yang sudah tiba dekat menegur.

“Sam-ko, aku tidak membunuh mereka, akan tetapi kalau mereka tidak di-buntungi sebelah kaki mereka, tentu mereka akan mengulangi lagi perbuatan mereka melakukan perampokan! Kalau sudah buntung begini, tentu mereka tidak berani merajalela karena mudah dilawan dan dikalahkan,” bantah Bwee Hwa.

Bun Sam mengeluarkan obat bubuk dan memberi dua bungkus obat kepada dua orang kepala perampok itu.

“Hemm, kalian hari ini makan buah pahit hasil tanaman kalian sendiri! Apakah kalian masih belum sadar dan bertaubat, lalu mengambil jalan yang benar?”

Posting Komentar