Sepasang gadis kembar itu semakin heran. “Eh, apa sih maksudmu, Hwa-moi? Apa hubungannya pula dengan kami berdua?” “Nanti dulu, kalian harus berjanji dulu bahwa kalian tidak akan marah kepadaku kalau aku menceritakan apa tugasku ini.”
“Tentu saja kami tidak akan marah! Kenapa kami mesti marah kalau engkau menceritakan tentang tugasmu?” tanya Gin Siang.
“Karena hal ini menyangkut diri kalian berdua.”
“Eh? Benarkah? Engkau membuat kami ingin tahu sekali, adik Bwee Hwa! Tugas apakah itu? Katakan, kami berjanji tidak akan marah!” Kata Gin Siang.
“Nah, kalau begitu baru aku berani menceritakan. Begini, seperti kukatakan tadi, kakak Ui Kiang dan kakak Ui Kong sudah tidak mempunyai keluarga lagi, maka mereka mengangkat aku menjadi utusannya. Dan tugasku menemui kalian berdua pagi hari ini adalah……” Bwee Hwa berhenti lagi dan memandang wajah kedua gadis kembar itu. “Akan tetapi benar, kalian berjanji tidak akan marah, ya?”
Sepasang gadis kembar itu menjadi tidak sabar. “Kami berjanji tidak akan marah! Katakanlah!” kata mereka hampir berbareng.
“Kakak Ui Kiang dan Ui Kong adalah dua orang pemuda yang amat baik budi, sopan dan juga pemalu, maka mereka minta tolong kepadaku untuk menyatakan perasaan mereka berdua kepada kalian. Aku bertugas memberitahu kalian bahwa Kiang-ko jatuh cinta kepadamu, enci Kim Siang, dan Kong-ko jatuh cinta kepada enci Gin Siang, lega hatiku karena telah menyampaikan pesan itu! Kalian tidak marah, bukan?” Bwee Hwa memandang wajah kedua orang gadis kembar itu dan melihat mereka segera menundukkan muka yang menjadi merah dan mereka tersenyum malu-malu, ia berani melanjutkan.
“Dan selanjutnya, biarpun ini belum resmi, kedua Kiang-ko dan Kong-ko meminang kalian untuk menjadi isteri mereka. Tentu saja kalau diharuskan, mereka akan mengajukan pinangan secara resmi, setelah itu akan diadakan upacara pernikahan dengan pesta meriah!”
Dua orang gadis itu masih menundukkan muka. Mereka berdua merasa heran, dan malu-malu, akan tetapi juga di dalam hati mereka merasa girang sekali. Sebetulnya secara diam-diam mereka berdua juga mengagumi kedua orang pemuda kakak beradik itu. Ui Kong pemuda gagah perkasa dengan ilmu silat yang cukup tinggi, dan Ui Kiang, biarpun tidak pandai ilmu silat, namun dia seorang sastrawan yang cerdas dan pandai. Lebih lagi, keduanya adalah pemuda-pemuda kaya-raya, memiliki banyak perusahaan dan mereka terkenal dermawan dan baik budi pula.
“Hei, bagaimana sih kalian ini? Diajak bicara serius malah diam saja, menunduk dan hanya tersenyum- senyum! Jawablah! Bagaimana aku harus memberi jawaban kepada kedua kakak Ui itu kalau mereka bertanya bagaimana hasil pelaksanaan tugasku ini? Enci Kim Siang dan Gin Siang, jawablah apa yang harus kuberikan kepada mereka? Hayo, jawablah dan katakan sesuatu, bukan menunduk dengan muka kemerahan dan diam seribu bahasa!”
Bwee Hwa sengaja menggoda karena sebagai seorang wanita, ia dapat merasakan bahwa bidikannya itu mengenai sasaran yang tepat. Kalau tidak, tentu dua orang gadis itu akan marah, atau setidaknya memperlihatkan ketidak-senangan atau penolakan mereka. Akan tetapi mereka diam dan menunduk malu-malu sambil tersenyum, ia dapat merasakan bahwa mereka itu sesungguhnya sama-sama mau tapi malu!
Akhirnya Kim Siang yang lebih pandai bicara dibandingkan adik kembarnya, menjawab dengan pertanyaan. “Adik Bwee Hwa, benarkah semua ucapanmu tadi? Apakah engkau hanya bergurau hendak menggoda kami? Rasanya tidak mungkin dua orang pemuda sehebat mereka itu mau. sama kami,
dua orang gadis yatim-piatu melarat dan bodoh lagi ”
“Heiit! Jangan merendahkan diri seperti itu! Dan kalian menganggap mereka dua orang pemuda hebat, ya? Nah, kalau benar mereka itu hebat, lalu apalagi yang menghalangi kalian untuk segera menerima pinangan mereka? Jawablah ya, bahwa kalian sudah menerima pinangan mereka dan suka menjadi isteri mereka agar aku dapat segera menceritakan kepada mereka dan upah jerih payahku tentu banyak sekali!” Bwee Hwa tertawa dan dua orang gadis itu juga merasa geli dan tertawa.
“Hemm, jadi sekarang engkau telah bekerja sebagai mak comblang, adik Bwee Hwa?” Gin Siang bertanya dan kembali ketiganya tertawa. “Mak comblang bayaran?”
“Sudah, jangan berkelakar lagi. Aku menghendaki jawaban yang tegas. Mereka itu sudah menanti-nanti dengan tidak sabar. Hayo beri jawaban, ya atau tidak?”
“Adik Bwee Hwa, bagaimana mungkin perkara perjodohan diputuskan secara kilat dan tergesa-gesa seperti ini? Bagaimanapun juga, kami masih mempunyai seorang piauw-ci (kakak misan) yang juga menjadi guru pertama kami, maka urusan perjodohan kami haruslah dilaporkan kepadanya lebih dulu untuk minta pertimbangan dan restunya,” kata Kim Siang.
“Enci Kim benar, adik Bwee. Kami harus mendapatkan persetujuan dari guru pertama kami, yaitu Pek- hwa Sianli yang tinggal di lereng Bukit Ayam Emas,” kata Gin Siang. “Ia dapat menjadi wali kami.”
“Baik, hal itu mudah dilakukan. Akan tetapi yang paling penting sekarang adalah pengakuan kalian berdua. Dua orang kakak Ui sudah menyatakan cintanya kepada kalian berdua. Sekarang bagaimana dengan kalian? Apakah kalian juga mencinta mereka...... eh, maksudku, apakah kalian berdua pada hakekatnya suka menjadi isteri mereka?”
Dua orang gadis kembar itu saling pandang, kulit wajah mereka yang cantik itu menjadi semakin merah, lalu keduanya mengangguk sambil tersenyum malu-malu.
“Nah, begitu dong! Wah, sebagai seorang mak comblang amatir, hasil karya pertamaku ini tidak mengecewakan!” Bwee Hwa berseru gembira sekali dan kembali tiga orang gadis itu tertawa riuh.
“Heii! Kalian bertiga begitu gembira! Bolehkah kami ikut merasakan kegembi-raan itu?”
Sepasang gadis kembar itu terbelalak kaget dan menundukkan muka mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah Ui Kiang dan Ui Kong yang agaknya tertarik oleh suara tawa tiga orang gadis itu. Melihat mereka, Bwee Hwa terkejut. Celaka, permainannya bisa ketahuan, pikirnya. Maka ia lalu berlari keluar dan di depan pintu ia memegang tangan Ui Kiang dan Ui Kong, lalu di-ajaknya pergi ke ruangan lain.
“Tentu saja kalian boleh ikut gembira karena aku membawa kabar baik!” seru Bwee Hwa nyaring agar terdengar dua orang gadis dalam kamar itu. Kakak beradik itupun heran dan terkejut melihat Bwee Hwa menggandeng tangan mereka dan menariknya ke ruangan lain.
“Eh, Hwa-moi, ada apakah ini?” Mereka tentu saja merasa heran karena gadis ini belum, pernah bersikap sedemikian akrab, apalagi sampai memegang tangan mereka dan menariknya masuk ke ruangan dalam itu!
Setelah tiba di ruangan itu, Bwee Hwa melepaskan tangan mereka dan berkata, “Silakan duduk, Kiang-ko dan Kong-ko. Aku membawa kabar yang amat baik dan menggembirakan kalian!”
Kedua orang kakak beradik itu duduk berhadapan dengan Bwee Hwa meman-dang wajah ayu itu penuh selidik. “Kabar apakah, Hwa-moi? Engkau begini penuh rahasia!” kata Ui Kong.
“Coba sekarang jawablah dulu pertanyaanku. Kiang-ko, engkau mencinta Can Kim Siang dan Kong-ko mencinta Can Gin Siang, bukan?”
Kakak dan adik itu terkejut sekali dan merasa khawatir kalau-kalau hal itu membuat gadis yang telah dipertunangkan dengan seorang di antara mereka itu menjadi marah.
“Bagaimana engkau dapat berkata begitu?” tanya mereka hampir berbareng. Melihat pandang mata kedua orang pemuda itu kepadanya mengandung kekhawatiran, maka Bwee Hwa tersenyum dan berkata.
“Akuilah saja terus terang, aku tidak akan marah. Aku akan marah kalau kalian berbohong dan tidak mau mengaku secara jantan. Nah, kuulangi pertanyaanku. Kiang-ko, engkau mencinta enci Can Kim Siang, bukan?”
Ui Kiang memandang Bwee Hwa dengan muka berubah kemerahan. Dia menghela napas panjang lalu menjawab, “Tidak kusangkal, Hwa-moi, aku mencinta adik Can Kim Siang.”
“Dan engkau mencinta Can Gin Siang, Kong-ko?”
Ui Kong akhirnya menjawab dengan tegas. “Benar, Hwa-moi, aku mencinta adik Can Gin Siang! Akan tetapi bagaimana engkau tahu akan hal itu?”
“Ya, bagaimana engkau mengetahui rahasia hati kami itu, Hwa-moi?” Ui Kiang juga bertanya.
“Dengarlah baik-baik! Semalam secara tidak sengaja aku mendengar percakapan kalian berdua di taman. ”
“Ahh !” Kakak beradik itu terkejut sekali.
“Tenanglah! Aku sama sekali tidak marah dan susah, bahkan aku merasa gembira sekali. Untuk membuktikan bahwa aku tidak marah atau susah, pagi ini aku mendatangi kedua enci kembar itu dan aku mewakili kalian berdua untuk menyatakan keinginan kalian untuk memperisteri mereka, mengajukan pinangan secara tidak resmi ” “Ahhh. !” Kakak beradik itu semakin terkejut.
“Jangan ber ah-ah ber uh-uh, karena hasilnya amat menggembirakan. Kedua enci kembar itu menerima cinta kasih kalian dengan girang. Mereka bersedia menjadi isteri kalian, sekarang tinggal melamar dan menanti laporan mereka kepada piauw-ci mereka di Bukit Ayam Emas, yaitu Pek-hwa Sianli. Nah, bu- kankah itu kabar yang amat membahagiakan kalian?”
Kakak beradik itu saling pandang, lalu menatap wajah Bwee Hwa. “Aduh, terima kasih atas semua kebaikanmu ini, Hwa-moi!” kata Ui Kong.
“Hwa-moi, kami mohon maaf kepadamu kalau tanpa disengaja kami telah menyinggung perasaanmu,” kata Ui Kiang.
Bwee Hwa tersenyum. “Sama sekali tidak, Kiang-ko, aku bahkan merasa gembira sekali karena sesungguhnya, aku sendiri sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah. Kalau aku sampai menghubungi kalian, itu adalah karena aku ingin menaati pesan terakhir ibuku.”
“Ah, kalau begitu, sekali lagi terima kasih, Hwa-moi. Engkau sungguh seorang gadis yang bijaksana dan baik budi!” kata Ui Kong.
“Hwa-moi, karena kita bertiga ini sama-sama sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lain, maka kami akan merasa berbahagia sekali kalau engkau mau menjadi adik angkat kami agar hubungan baik antara ibu kita dapat dilanjutkan!” kata Ui Kiang.
“Aku akan senang sekali menjadi adik angkat kalian!” jawab Bwee Hwa. “Bagus! Wah, kami yang merasa beruntung sekali!” kata Ui Kong.