Kata Toat-beng Kiam-ong sambil mengikuti wanita cantik itu. Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-kauw, juga cepat bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, bersama beberapa orang tokoh lain yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Siangkoan Liong setelah mengalahkan Cok Kim Bouw, acuh saja melihat kesibukan teman-teman ayahnya. Dia hanya mendekati ayahnya dan berkata lirih,
"Ini akibat kekurang telitian Ayah sendiri yang mengundang orang-orang itu."
Setelah berkata demikian, dengan suara mengandung penyesalan, dia pun pergi masuk ke dalam gedung, membiarkan ayahnya duduk kembali sambil mengerutkan alisnya. Dengan hati penuh perasaan penasaran dan kemarahan Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang meninggalkan perkampungan Tiat-liong-pang di lereng bukit itu, menuruni bukit dengan langkah lebar. Hatinya penuh dengan perasaan marah dan malu, juga penasaran sekali. Jelaslah bahwa Tiat-long-pang mengambil jalan sesat, bukan hanya bergaul dengan penjahat, datuk sesat, bahkan juga dengan tokoh-tokoh pemberontak.
Akan tetapi, Tiat-liong-pang kuat sekali, dan melihat betapa puteranya saja sedemikian lihainya, sukar diukur bagaimana tingginya ilmu kepandaian Siangkoan Lohan. Dia bergidik kalau teringat akan kehebatan ilmu silat lawannya yang masih muda remaja tadi. Dan dia merasa menyesal, bukan main karena semua waktunya selama puluhan tahun dipergunakan untuk belajar silat, ternyata kini menghadapi seorang pemuda remaja saja dia kalah! Padahal dia mempergunakan golok yang diandal-kan, sedangkan pemuda itu bertangan kosong. Tiba-tiba dia menggaruk siku lengan kanannya, terasa gatal-gatal. Ketika dia menggaruknya, dia meringis karena begitu digaruk terasa panas bukan main. Dia berhenti melangkah dan menggulung lengan baju untuk melihat lengannya. Terkejutlah dia melihat betapa di lengan bawah, di bawah siku, terdapat tanda merah kebiruan sebesar jari tangan.
Itulah kiranya yang terasa gatal dan ganas! Makin terkejutlah dia ketika teringat bahwa ketika dia dikalahkan oleh pemuda tadi, bagian lengan itu tertotok yang membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Agaknya totokan itulah yang mendatangkan bekas yang gatal dan panas ini. Selagi dia hendak melanjutkan perjalanan dekat dengan kaki bukit itu, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan orang dan terdengar suara seorang wanita tertawa mengejek. Dia mengangkat mukanya dan Sin-kiam Mo-li bersama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek telah berada di depannya, berdiri sambil tersenyum dan tertawa mengejek! Ciok Kim Bouw tentu saja dapat menduga bahwa munculnya wanita ini tentu tidak mengandung niat baik, maka dia pun sudah mencabut golok besarnya dan menghardik.
"Iblis betina, mau apa engkau menghadangku?"
"Hi-hi-hik, Cin-sa-pang! Selama ini aku tidak pernah tahu ketua Cin-sa-pang telah memiliki seorang ketua baru seperti engkau. Sekarang, setelah engkau berani menghinaku di tempat umum, engkau masih bertanya lagi mau apa aku menghadangmu? Tentu saja untuk membunuhmu!"
"Bagus! Memang saat ini yang kutunggu-tunggu, yaitu membunuhmu atau mati di tanganmu. Dan engkau, Toat-beng Kiam-ong, apakah jagoan seperti engkau hendak membantunya mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi kalian!"
Tantangnya, mendahului lawan karena dia maklum bahwa tentu orang ini berpihak kepada Sin-kiam Mo-li. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh tak tahu diri. Melawan seorang pemuda remaja bertangan kosong saja engkau keok (kalah), perlu apa membantu Sian-li. Biar engkau memecah diri menjadi rangkap sepuluh, akan mampus satu demi satu di tangan Sian-li!"
"Iblis betina, bersiaplah untuk mampus!"
Bentak Ciok Kim Bouw lantang sambil menyerang dengan goloknya. Dia merasa betapa lengan di bagian dekat siku terasa nyeri, akan tetapi dia tidak peduli dan terus menyerang sekuat tenaga dan dengan kemarahan meluap-luap. Dia sudah nekat karena maklum bahwa sekali ini, akibat perkelahian itu hanya dua, yaitu kalah dan mati, atau menang dan hidup. Biarpun dia tahu bahwa untuk menang amatlah sukarnya, apalagi di situ berdiri si Raja Pedang yang pasti akan membantu iblis betina itu, namun sedikitnya dia tidak merasa gentar dan menyerang dengan ganas dan dahsyat. Sambil tersenyum mengejek, Sin-kiam Mo-li menggerakkan pedangnya menangkis dan membalas dengan serangan kebutannya yang bulu-bulunya mengandung racun jahat.
Ciok Kim Bouw mengelak dan melakukan perlawanan mati-matian, bahkan dengan gerakan-gerakan nekat. Akan tetapi, lengannya kini terasa semakin nyeri dan ngilu sehingga jari-jari tangannya kurang kuat mencengkeram gagang goloknya. Terpaksa dia memindahkan gagang golok itu ke tangan kiri dan kini melakukan perlawanan mati-matian dengan golok di tangan kiri. Dia memang sudah melatih diri menggunakan golok dengan tangan kiri karena dia pun ahli bermain sepasang golok, akan tetapi bagaimanapun juga, tentu saja gerakannya tidaklah selincah kalau menggu-nakan golok itu di tangan kanannya. Maka, tentu saja dia semakin terdesak. Belum juga lewat dua puluh jurus sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li mengenai pahanya dan dia pun terpelanting. Untuk mencegah lawan menyusulkan serangan,
Ketua Cin-sa-pang itu bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuh dengan putaran goloknya Sambil tertawa-tawa mengejek Sin-kiam Mo-li melakukan pengejaran sambil melecut-lecutkan cambuknya, mengikuti kemana tubuh lawan itu bergulingan. Sama sekali ia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melompat bangun kembali. Dikejar seperti itu, Ciok Kim Bouw menjadi sibuk sekali. Bukan saja dia harus meiindungi tubuhnya, akan tetapi juga keadaannya berbahaya sekali karena kalau dia meloncat bangun, tentu dia akan terkena serangan pedang atau kebutan yang amat berbahaya itu. Kebutan yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, juga menotok atau menusuk seperti pedang karena dengan kekuatan sin-kang bulu-bulu kebutan itu dapat menjadi kaku seperti baja, sungguh amat berbahaya. Apalagi setiap lembar bulunya mengandung racun berbahaya!
"Ha-ha-ha, Pangcu dari Cin-sa-pang, sekarang engkau seperti seekor tikus yang lari ke sana-sini dikejar kucing! Sian-li kenapa harus main-main dengan dia? Bunuh saja dengan cepat dan kita kembali ke sana!"
Laki-laki yang sudah tidak sabar karena ingin segera berduaan dengan kekasihnya itu, mendesak. Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mengejek dan ia pun menggerakkan pedangnya, melakukan serangan kilat yang amat hebat pada tubuh yang sedang bergulingan itu. Sukar agaknya bagi Ciok Kim Bouw untuk menyelamatkan diri dari serangan itu, akan tetapi tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan halus dan pedangnya ditariknya kembali. Cepat ia membalik ke kanan dan dia melihat seorang pemuda sudah berdiri tak jauh dari situ.
Tahulah ia bahwa yang menyambitkan kerikil kecil dan mengenai pundak kanannya sehingga lengan kanannya menjadi kesemutan itu adalah pemuda ini! Dan ia pun terkejut ketika mengenal pemuda itu. Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek merasa heran melihat kekasihnya tidak jadi menyerang, dan dia pun ikut memandang. Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih, berdiri di bawah pohon, tak jauh dari situ. Juga Ciok Kim Bouw yang baru saja terlepas dari bahaya maut, sudah berguli-ngan menjauh kemudian melompat berdiri, ikut pula memandang. Pemuda itu berpakaian serba putih, sederhana sekali, sinar matanya lembut dan mulutnya dihias senyum ramah, sama sekali tidak menun-jukkan kelebihan dan nampak seperti seorang pemuda petani biasa saja. Namun, Sin-kiam Mo-li keliha-tan kaget kemudian marah ketika ia melangkah maju.
"Bocah setan, kiranya engkau? Bukankah kau.... kau.... yang dari gurun pasir itu?"
Tanyanya ragu karena walaupun ia masih teringat benar akan wajah yang sudah pernah dibelai, dirangkul dan diciuminya itu, ia masih belum mau percaya. Pemuda yang pernah dirayunya sampai ia hampir gila karena dirangsang berahi dan pemuda itu selalu dingin saja dan tidak pernah tergairah, adalah seorang pemuda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Waktunya baru berjalan setahun lebih sedikit, bagaimana mungkin kini pemuda itu mampu menyambitkan kerikil yang membuat lengannya hampir lumpuh? Pemuda itu memang Tan Sin Hong! Seperti telah kita ketahui, Sin Hong meninggalkan kota Ban-goan untuk pergi ke kota raja, untuk mencari hartawan she Lay, pengirim barang berharga yang mengakibatkan hancurnya keluarga ayah ibunya.
Ingin dia menemukan hartawan itu, untuk menyelidiki kematian ayahnya yang penuh rahasia, karena siapa tahu hartawan itu menyimpan rahasia dan dari dia maka rahasia kematian ayahnya akan dapat dibongkarnya. Dan pada hari itu, dia tiba di kaki bukit di mana terdapat sarang Tiat-liong-pang, tanpa disengaja, melihat Ciok Kim Bouw yang terancam maut di tangan seorang wanita yang membuat darahnya berdenyut kencang dan jantungnya berdebar. Dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara datuk sesat yang telah menyerbu Istana Gurun Pasir yang mengakibatkan kematian tiga orang gurunya. Sin-kiam Mo-li yang pernah menggelutinya, berusaha memperkosanya, kini tiba-tiba saja berada di kaki bukit itu, sedang berusaha keras membunuh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang dengan susah payah membela diri.
Biarpun dia tidak mengenal siapa pria bermuka hitam itu dan apa urusannya berkelahi dengan Sin-kiam Mo-li, tanpa ragu-ragu lagi Sin Hong menyelamatkan pria itu dari ancaman maut dengan menyambitkan sebuah kerikil kecil yang mengenai pundak kanan wanita iblis itu. Kini dia menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan senyum, dan diam-diam dia bersyukur melihat kenyataan bahwa pertemuan dengan wanita iblis yang telah menyebabkan kematian tiga orang gurunya itu sama sekali tidak membangkitkan kemarahan atau kebencian dalam hatinya. Ini merupakan suatu kemajuan dalam dirinya, pikir Sin Hong. Dia meng-angguk untuk menjawab pertanyaan Sin-kiam Mo-li tadi, membuyarkan keraguan wanita iblis itu.
"Benar, Sin-kiam Mo-li, aku adalah pemuda gurun pasir itu, dan engkau ternyata masih saja mengumbar kejahatan dan menyebarkan perbuatan kejam di manapun engkau berada. Engkau hendak membunuh orang yang sudah jelas tidak lagi mampu melawanmu,"
Sin Hong menoleh ke arah Ciok Kim Bouw yang berdiri agak jauh sambil memijit-mijit lengan kanannya, sedangkan golok tadi sudah disarungkannya kembali.
Ciok Kim Bouw maklum bahwa baru saja dia terbebas dari maut oleh kemunculan pemuda berpakaian putih itu. Entah dengan cara bagaimana pemuda itu dapat membuat Sin-kiam Mo-li meng-hentikan serangannya yang membuat dia kewalahan tadi. Kini dia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu pemuda itu. Bagaimanapun juga, kini muncul seorang yang agaknya dapat diharapkan akan membantunya menghadapi musuh-musuhnya yang terlalu lihai baginya itu. Akan tetapi, terdapat keraguan pula di dalam hati ketua Cin-sa-pang ini. Pemuda berpakaian putih itu kelihatan demikian lemah lembut, dan tadi pun dia belum mengeluarkan tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Hanya sikapnya saja yang demikian tenang, bahkan menghadapi Sin-kiam Mo-li yang sudah dikenalnya, nampak demi-kian tenang dan berani pula mencela.