Ketika para tamu yang duduk di ruangan dalam melihat siapa yang duduk di kursi kehormatan, banyak di antara mereka terheran-heran dan berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Ada beberapa orang duduk di kursi kehormatan, semeja dengan ketua Tiat-liong-pang itu, mengelilingi sebuah meja bundar yang luas. Selama ini mereka mengenal Tiat-liong-pang sebagai perkumpulan yang dekat dengan pemerintah Kerajaan Ceng, dan biarpun sepak terjang ketua dan para anggautanya keras dan menekan terhadap rakyat jelata, namun mereka menggolongkan diri mereka sebagai pahlawan, sebagai pendekar dan sama sekali tidak mau mencampuri atau mendekati golongan hitam atau sesat! Dan kini apa yang mereka lihat? Ketua Tiat-liong-pang duduk menjamu tokoh-tokoh hitam yang terkenal sebagai datuk-datuk iblis!
Di antara para tamu yang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan terdapat seorang wanita berusia kurang lebih setengah abad akan tetapi masih nampak cantik, tinggi ramping dengan pakaian mewah dan riasan mukanya tebal menun-jukkan bahwa dia seorang pesolek. Wanita ini bukan lain adalah iblis betina Sin-kiam Mo-li yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw sebagai tokoh besar yang amat kejam dan lihai. Selain nenek ini, terdapat pula dua orang kakek tua renta yang membuat para tamu yang duduk di ruangan dalam itu terkejut bukan main karena mereka melihat tanda gambar pat-kwa (segi delapan) di dada seorang di antara mereka, dan gambar bunga teratai di dada yang lain. Jelas mereka berdua adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dua perkumpulan pemberontak yang juga amat terkenal karena penyelewengan dan kejahatan mereka sebagai perkumpulan iblis.
Dan memang benar, kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih, tinggi kurus berwibawa, membawa tongkat setinggi badan adalah Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai, sedangkan kakek kedua yang kurus kering bermuka merah darah, memegang tongkat naga hitam dan matanya seperti mata kucing, adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar perkumpulan Pek-lian-pai. Selain tiga orang datuk sesat ini, di tempat kehormatan itu hadir pula tiga orang lain yang menarik perhatian. Yang seorang adalah Toat-beng-kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa) Giam San Ek yang usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia seorang pendekar selatan, ahli bermain pedang dan kabarnya, setiap kali jagoan ini mencabut pedangnya, pedang itu tidak akan kembali ke sarungnya sebelum minum darah lawan!
Dia ditakuti sekali, dan menjadi sahabat Siangkoan Lohan sejak lama. Tubuhnya sedang dan wajahnya masih tampan, apalagi karena dia pesolek, pakaiannya indah dan sikapnya agak ceriwis. Orang ke dua nampak gagah tinggi besar, mukanya hitam matanya besar mengingatkan orang akan tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi, dan hanya beberapa orang saja mengenal tokoh ini. Dia adalah Ciok Kim Bouw, berusia lima puluh tahun dan dia menjadi pangcu (ketua) dari Cin-sa-pang, sebuah perkumpulan di Secuan yang terkenal kuat pula. Ciok Kim Bouw tidak begitu akrab dengan Siangkoan Lohan, akan tetapi mungkin mengingat akan kebesaran nama perkumpulannya, maka Siangkoan Lohan mengundangnya. Orang ke tiga jelas merupakan seorang Mongol, nampak berwibawa dengan pakaian sukunya,
Dan dia pun bukan orang sembarangan karena dia adalah Agakai, kepala suku yang cukup besar dan berpengaruh di Mongol. Agakai ini berusia lima puluh tahun lebih dan dia adalah putera dari Tailucin, tokoh Mongol yang amat terkenal dan pernah menggemparkan, yang terbunuh oleh keluarga Pulau Es dan Agakai ini mengaku bahwa nenek moyangnya masih keturunan Jenghis Khan! Dia pun menjadi tamu kehormatan, bukan karena kepandaiannya yang tidak berapa hebat dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang semeja dengannya, melainkan karena kedudukannya sebagai kepala suku yang berpengaruh di utara. Pesta itu meriah karena hidangan yang serba lezat, arak yang berlimpah-limpah dan terutama sekali karena pesta itu diramaikan oleh serombongan gadis cantik yang memainkan musik, bernyanyi dan menari.
Mereka bukanlah rombongan penyanyi dari luar, melainkan para selir dari Siangkoan Lohan sendiri yang memang terlatih memainkan alat musik, bernyanyi, dan menari. Semua orang menjadi kagum mendengar bahwa gadis-gadis yang muda-muda dan cantik-cantik, pandai bermain musik, menyanyi dan menari itu adalah selir-selir dari tuan rumah! Diam-diam di antara para tamu muda banyak yang timbul perasaan iri hati! Kalau orang sedang berbintang terang, pikir mereka, apa saja kesenangan yang diinginkan tercapai! Kepandaian tinggi, kedudukan mulia, harta benda, kehormatan, berkecukupan lahir batin dan dikelilingi wanita-wanita muda yang cantik-cantik! Demikianlah kebiasaan kita, suka membayangkan keadaan orang lain yang dianggap serba lebih daripada keadaan kita. Kita selalu membayangkan hal-hal yang belum kita miliki,
Membayangkan hal-hal yang kita anggap serba lebih indah, lebih menyenangkan, tanpa kita sadari bahwa semua bayangan keinginan ini sungguh jauh bedanya dengan kenyataannya. Seperti bumi dengan langit bedanya. Karena kita belum memilikinya, maka yang kita bayangkan itu hanyalah segi indah dan senangnya saja. Padahal, tidak ada apa pun di dunia ini yang sifatnya hanya sepihak, hanya indah dan menyenangkan saja. Kalau sesuatu itu menyenangkan, maka sesuatu itu pula pada suatu ketika akan berbalik menyusahkan, karena senang-susah merupakan dua hal yang kembar dan berpasangan, tak terpisahkan pada akhirnya walaupun nampaknya tidak bersamaan. Karena itu, orang yang tidak berkedudukan membayangkan betapa senangnya orang yang berkedudu-kan, terhormat, mulia dan sebagainya.
Sebaliknya, orang yang sudah berkedudukan, di samping kesena-ngannya yang makin lama makin terasa menipis, juga mengalami segi-segi buruknya, akibat daripada kedudukannya itu, seperti pertanggungan jawabnya, iri hati dari orang lain, mereka yang ingin merebut kedudukannya, resiko-resikonya, kebosanannya dan sebagainya lagi. Demikian pula bagi yang tidak memiliki harta, memandang dan membayangkan keadaan orang berharta tentu saja yang dibayangkan hanya segi senangnya saja. Banyak uang, apa pun yang dike-hendaki tercapai! Padahal, tidak semua hal yang dikehendaki dapat dicapai dengan uang! Ketenteraman hati, kedamaian, cinta kasih, semua itu tak dapat dicapai dengan uang segunung sekalipun. Bagi yang sudah banyak uang, maka kenikmatan karena banyak uang sudah tidak terasa, atau kalau pun terasa, makin lama semakin menipis.
Sebaliknya, gang-guan-gangguan yang timbul karena banyak uang, terasa setiap hari! Tiada bedanya dengan memiliki banyak selir cantik, dan lain-lain hal yang dianggap kesenangan luar biasa bagi mereka yang belum memilikinya. Karena itu, seorang bijaksana akan waspada, tidak akan silau oleh semua gemerlap itu, sadar bahwa yang berkilauan itu belum tentu emas, dan kesenangan sama sekali bukanlah kebahagiaan, kesenangan hanya sedalam kulit, bagaikan awan tipis berarak di angkasa, bagaikan angin semilir lembut dan semua itu hanya akan lewat sebentar saja! Bahkan akan nampak betapa di balik kesenangan itu bersembunyi saudara kembarnya, yaitu kesusahan! Maka, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan, tidak akan menginginkan hal-hal yang belum dimilikinya. Bukan berarti menolak kesena-ngan yang ada!
Kesenangan hidup merupakan satu di antara anugerah yang boleh dinikmati oleh setiap orang karena untuk menikmatinya kita sudah diberi alat yang amat sempurna. Dari seluruh tubuh kita tersedia sarana yang sempurna untuk menikmati kesenangan, yaitu kesenangan yang ada pada kita. Sekali kita mengejar kesenangan, maka kita akan diperbudak oleh nafsu dan terjadilah pelanggaran-pelanggaran, penyelewengan-penyelewengan. Di antara mereka yang duduk semeja dengan tuan rumah, terdapat seorang yang tidak kelihatan segembira yang lain. Dia nampak acuh saja, hanya lebih sering minum arak daripada makan hidangan dan nonton pertunju-kan hiburan. Bahkan alisnya seringkali berkerut dan sepasang matanya berkilat penuh penasaran kalau memandang ke arah Siangkoan Lohan. Orang ini adalah Ciok Kim Bouw, atau Cin-sa-pangcu.
Hatinya kesal bukan main ketika dia melihat Sin-kiam Mo-li berada di antara orang-orang yang duduk di panggung kehormatan bersama dia dan tuan rumah dan yang lain-lain. Dia mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li! Seorang datuk sesat, seorang iblis betina yang pernah secara kejam membunuhi beberapa orang murid Cin-sa-pang setelah terjadi bentro-kan antara mereka. Hal itu terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu. Ketika itu, Cin-sa-pang diketuai oleh suhengnya yang bernama Louw Pa. Dia sendiri tidak mencampuri pekerjaan suhengnya yang memimpin Cin-sa-pang, karena dia tidak suka akan keadaan suhengnya yang pernah menjadi bajak laut. Dia lebih suka berkelana seorang diri dan memperdalam ilmu silatnya. Akan tetapi, terjadilah peristiwa itu. Suhengnya, Louw Pa, mempunyai seorang putera yang bernama Louw Heng Siok.
Pemuda ini menarik perhatian iblis betina Sin-kiam Mo-li yang menangkapnya dan mempermainkannya kemudian membunuhnya. Mendengar ini, Louw Pa memimpin anak buahnya, lebih dari tiga puluh orang banyak-nya, menyerbu tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, yaitu di kaki Pegunungan Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sa. Tempat itu berbahaya sekali dan akhirnya, Louw Pa dan seluruh anak buahnya tewas dibantai oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Hanya seorang saja yang sempat lolos karena belum mema-suki daerah itu sampai dalam, dan dialah yang menceritakan keadaan Louw Pa dan anak buahnya itu.
Melihat keadaan Cin-sa-pang setelah suhengnya tewas, Ciok Kim Bouw lalu turun tangan, membangun kembali Cin-sa-pang, memperkuatnya, menerima anggauta baru dan mengubah sama sekali cara hidup Cin-sa-pang sehingga perkumpulan itu menjadi perkumpulan orang gagah cukup terkenal. Bukan lagi perkumpulan para bajak! Dan dia pun tidak mendendam kepada Sin-kiam Mo-li karena selain iblis betina itu lihai sekali, juga dia menganggap bahwa kematian suhengnya adalah karena kesalahan sendiri. Akan tetapi, kini dia didudukkan semeja, makan bersama dengan iblis betina itu! Tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang. Tak disangkanya bahwa Siangkoan Lohan yang dianggap sebagai seorang tokoh yang bersih, kini bergaul dengan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li dan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai!
Sementara itu, di pihak mereka yang duduk di ruangan dalam, di bawah panggung kehormatan, banyak juga yang merasa penasaran. Apalagi melihat sikap jagoan yang bernama Giam San Ek, yang genit, banyak di antara mereka yang merasa muak. Giam San Ek agaknya sudah setengah mabuk. Tanpa malu-malu setiap kali ada seorang selir habis menari, dia bangkit dari tempat duduknya, menghampiri penari itu dan memberi hadiah beberapa potong perak dengan gaya yang royal! Siangkoan Lohan tersenyum saja melihat hal ini. Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek adalah seorang sahabatnya, dan dia tahu benar akan kelihaian pendekar pedang itu, dan dia pun maklum bahwa sahabat ini adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan paling suka wanita muda yang cantik, suatu kesukaan yang menjadi kesukaannya pula.
"Ha-ha-ha, Toat-beng-kiam-ong, kalau engkau suka, boleh engkau memilih satu dua orang di antara mereka untuk menemanimu malam ini, ha-ha-ha!"
Ucapan Siangkoan Lohan itu pun dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan, terdengar oleh banyak orang yang merasa semakin muak. Tentu saja banyak pula di antara mereka yang menjadi gembira dan menyambut ucapan itu dengan sorakan. Akan tetapi, orang-orang yang menghargai kegagahan dan kesopanan, tentu saja menjadi merah mukanya mendengar kelakar yang saru (tabu) itu. Yang bermuka tebal adalah Si Raja Pedang Pencabut Nyawa sendiri. Mendengar penawaran tuan rumah, dia tertawa bergelak dan dengan sikap genitnya dia melirik ke arah Sin-kiam Mo-li.
Sejak tadi memang pendekar pedang yang pesolek ini bermain mata dengan Sin-kiam Mo-li. Biarpun datuk wanita ini sudah berusia lanjut, hampir setengah abad, namun harus diakui bahwa ia masih nampak cantik jelita dan lemah lembut, tubuhnya tinggi ramping dan masih padat berisi dan montok, juga pandang mata dan senyumnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang sudah matang! Sifat-sifat ini jauh lebih meiiarik bagi Giam San Ek daripada para selir tuan rumah yang masih muda-muda dan dianggapnya tentu belum berpengalaman seperti Sin-kiam Mo-li. Juga kabar yang didengarnya tentang kelihaian Sin-kiam Mo-li, terutama dalam permainan pedang sehingga wanita itu dijuluki Pedang Sakti, amat menarik hatinya dan membuat dia semakin bergairah. Maklumlah bahwa dia sendiri juga seorang jago pedang yang hebat.
"Ha-ha-ha, Lohan, banyak terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi, para selirmu begini muda-muda dan cantikcantik, mana aku dapat bertahan melayani mereka? Dan pula, sejak semula hatiku telah terpikat oleh kehadiran pendekar wanita yang amat hebat, baik dalam hal ilmu pedang maupun kecantikan dan nama besar, sehingga mataku tidak dapat melihat lain wanita lagi!"
Berkata demikian, dia memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan senyum memikat. Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sahabatnya yang dia tahu memang seorang yang mata keran-jang, Siangkoan Lohan juga tertawa lagi. Dia mengenal pula watak sahabatnya itu yang polos, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi.
"Ha-ha-ha, aku tidak heran, Kiam-ong, kalau kalian saling tertarik karena memang keduanya merupakan ahli pedang yang sukar ditemukan tandingnya. Aih, Sin-kiam Mo-li, di antara sahabat sendiri tidak perlu kita bersungkan-sungkan. Bagaimana kalau engkau dan Kiam-ong saling memperlihatkan ilmu pedang masing-masing dalam suatu latihan bersama untuk meramaikan suasana pesta sederhana ini? Kuharap kalian sudi memenuhi permintaanku, hitung-hitung menyumbang untuk menyenangkan hatiku agar hidupku dapat lebih panjang."
Semua orang merasa tegang, baik mereka yang ikut bergembira maupun yang tidak senang mendengar kelakar mereka yang tidak sopan tadi. Mereka semua sudah mendengar akan nama Sin-kiam Mo-li sebagai seorang wanita iblis yang amat lihai, juga ilmu pedangnya amat hebat, demikian pula nama Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek bukan nama yang tidak dikenal orang. Kalau kedua tokoh pedang ini memperlihatkan ilmu pedang mereka tentu akan merupakan tontonan yang amat menarik. Sin-kiam Mo-li yang merasa tertarik kepada si Raja Pedang yang memang tampan dan gagah, dan yang sejak tadi melempar senyum dan kerling mata memikat kepadanya, kini tersenyum manis sekali.
"Aih, Lohan, mana aku berani memperlihatkan kebodohanku di depan Raja Pedang? Jangan-jangan nyawaku akan tercabut dalam beberapa jurus saja!"
Tentu saja wanita ini menyindir karena julukan Giam San Ek adalah Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa)! Giam San Ek cepat bangkit berdiri dan menjura ke arah Sin-kiam Mo-li sambil berkata,
"Aih, Sin-kiam Sian-li harap jangan merendahkan diri sedemikian rupa, membuat aku merasa malu saja. Sudah lama mendengar nama besar Sian-li, sungguh besar sekali kebahagiaanku hari ini dapat bertemu dan kalau Sian-li sudi, aku akan merasa berterima kasih sekali menerima pelajaran cara memainkan pedang."
Tentu saja hati wanita itu menjadi gembira bukan main. Orang ini sungguh pandai merayu dan mengambil hati, pikirnya. Julukannya adalah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), akan tetapi pria ini mengubah sebutan Mo-li menjadi Sian-li yang berarti dari julukan Iblis Betina berubah menjadi Bidadari!
"Kata orang, belajar tidak mengenal batas, biarlah aku menambah pengetahuanku tentang ilmu pedang dari Kiam-ong,"
Katanya dan ia pun bangkit lalu meninggalkan kursinya, menuju ke tengah panggung yang cukup luas, bersiap menghadapi lawan untuk memperlihatkan kehebatan ilmu pedangnya. Giam San Ek merasa gembira sekali. Dia pun meninggalkan kursinya, lalu berkata kepada Siangkoan Lohan.
"Lohan, sejak dahulu orang mengetahui bahwa sekali aku mencabut pedangku, maka pedang itu tidak akan kembali ke sarungnya sebelum berubah warna menjadi merah. Akan tetapi, tentu saja terhadap Sin-kiam Sian-li aku tidak mau mempergunakan pedangku. Sungguh terlalu sayang kalau sampai ada secuwil kulit dagingnya terluka pedang, segumpal rambutnya sampai terbabat putus. Sungguhpun aku akan merasa bangga kalau tewas di ujung pedang seorang wanita perkasa sepertinya!"