Kisah si Bangau Putih Chapter 20

NIC

Peristiwa yang terjadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan problem dan problem itu baru ada kalau memang kita problemkan, kita adakan! Yang kita anggap sebagai problem biasanya adalah sesuatu yang menimbulkan rasa khawatir atau takut, sesuatu yang kita anggap amat merugikan, sesuatu yang mengancam, dan sesuatu yang melenyapkan sumber kesenangan kita. Segala macam peristiwa, baik yang kita anggap menyenangkan atau menyusahkan, adalah suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu proses yang terjadi karena suatu sebab, dan karena merupakan fakta yang wajar dan di situ tidak ada susah atau senang, untung atau rugi. Baru setelah kita menilai, berdasarkan untung rugi bagi diri sendiri, maka fakta itu kita nilai sebagai baik atau buruk, menguntung-kan atau merugikan, dan yang merugikan, yang buruk, kita jadikan sebagai suatu problem.

Contohnya demikan. Hujan datang. Ini wajar. Ini kenyataan, fakta yang sedang terjadi dan tak dapat diubah oleh siapapun. Ini suatu proses dari sebab-sebab tertentu. Tidak ada untung atau rugi dalam hujan, tidak ada baik maupun buruk. Akan tetapi, kita menghadapinya dengan si aku menilai-nilai. Si penjemur terigu merasa dirugikan dan menyumpah-nyumpah, atau menangis karena terigunya rusak dan dia menderita rugi banyak, sebaliknya si petani yang memang membutuhkan air hujan bagi tanahnya, memuja dan memuji Tuhan, berterima kasih dan tertawo-tawa karena peristiwa itu menguntungkan dirinya! Jelaslah bahwa hujan itu tetap hujan, suatu peristiwa yang wajar, namun menjadi problem atau tidak tergantung kepada kita sendiri yang menilainya. Jelas bahwa problem itu tidak ada kalau tidak kita adakan sendiri! Demikian pula dengan peristiwa apa pun juga di dunia ini.

Jatuh sakit, itu pun suatu kenyataan yang wajar, suatu proses yang bersebab. Kalau kita menerimanya dengan pengamatan yang waspada, menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup, tanpa menilai, maka batin kita tidak menjadi keruh oleh suka duka, dan kita dapat bertindak berdasarkan kebijaksanaan untuk menanggunglangi sakit yang datang itu. Sampai kepada kematian seseorang. Kita hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, suatu proses bersebab, dan kita tidak akan diseret oleh duka melainkan dapat bertindak dengan bijaksana. Kalau sudah begini, akan nampaklah oleh kita bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah pasti bersebab, dan segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kewajaran, dan di dalam setiap peristiwa itu terdapat suatu pelajaran, suatu hikmah yang amat berharga!

Tinggal kita mau membuka mata dengan waspada atau membutakan mata dengan tangis dan rintihan. Sin Hong adalah seorang yang sejak kecilnya mengalami banyak hal-hal yang amat hebat dan dipandang sepintas lalu, tentu saja semua peristiwa itu amat merugikan dirinya. Ayahnya dibunuh orang, ibunya juga tewas secara menyedihkan, kemudian tiga orang gurunya sekaligus, terbunuh orang pula. Semua itu terjadi tanpa dia dapat menolong. Akan tetapi, gemblengan tiga orang sakti membuat dia menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin, tidak mudah terseret si aku yang selalu ingin menang sendiri. Hal ini menjauhkan perasaan dendam dari batinnya dan kalau dia menyelidiki tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, hal itu dilakukan tanpa perasaan dendam dan benci,

Melainkan sebagai pemenuhantugas seorang pendekar yang harus menentang kejahatan. Orang-orang yang menghancur-kan keluarga ayahnya amatlah jahat, dan dia ingin tahu apa yang menyebabkan mereka melakukan semua kejahatannya. Malam itu sunyi sekali dan biarpun Sin Hong tidur pulas karena lahir batin, sedikit suara yang tidak wajar cukup untuk membuatnya terbangun dengan kaget. Dia mendengar gerakan tidak wajar di atas genteng rumah itu dan mendengar pula suara orang merintih. Hal ini sudah cukup membuat dia sadar sepenuhnya dan di lain saat tubuhnya sudah meloncat keluar dari dalam kamar, keluar dan langsung dia meloncat naik ke atas genteng. Malam itu gelap, hanya diterangi cahaya ribuan bintang, namun cukup terang baginya untuk melihat berkelebatnya bayangan orang yang berlari di atas wuwungan.

"Heiii, berhenti dulu!"

Sin Hong meloncat dan mengejar. Bayangan hitam itu tiba-tiba membalik dan ternyata dia mengenakan kedok hitam, dan begitu Sin Hong tiba dekat, dia sudah menyambutnya dengan serangan totokan pada ulu hati Sin Hong. Gerakannya demikian cepat dan mengandung hawa pukulan dahsyat yang mengejutkan Sin Hong. Pemuda ini cepat menangkis sambil memutar telapak tangan untuk menangkap lengan orang.

"Plakkk.... brettt!"

Bayangan itu tertangkap lengannya, akan tetapi lengan itu dibetot dan lengan bajunya saja yang robek dan tertinggal di tangan Sin Hong. Orang berkedok itu meloncat dari atas wuwungan, melayang masuk ke dalam malam gelap diantara pohon dan rumah tetangga dan lenyap.

Sin Hong tidak mengejar karena dia belum tahu siapa orang itu dan apa maksudnya malam-malam datang ke rumahnya. Karena tidak tahu, maka tadi pun dia tidak turun tangan secara keras, hanya berusaha menangkap saja namun gagal dan hal itu saja sudah membuktikan bahwa bayangan hitam itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena khawatir mendengar suara rintihan tadi, Sin Hong cepat meloncat turun kembali ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar Tang-piauwsu karena di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua. Daun pintu kamar itu terbuka lebar dan suara rintihan lemah masih terdengar dari sebelah dalam kamar. Cepat Sin Hong meloncat masuk. Kamar itu remangremang, diterangi sebatang lilin di atas meja di sudut. Sin Hong melihat sesosok tubuh menggeletak di atas lantai, berlumuran darah dan orang itu bukan lain adalah Tang-piauwsu!

"Paman....!"

Seru Sin Hong sambil menghampiri dan berlutut, cepat memeriksa keadaan orang itu. Luka di dadanya amat parah dan tahulah dia bahwa tidak ada harapan lagi bagi Tang Lun.

"Paman, siapa yang melakukan ini?"

Dengan napas terengah Tang Lun menjawab,

"tidak.... tahu.... amat cepat.... berkedok.... Sin Hong...."

Sin Hong cepat menotok beberapa jalan darah di dada dan pundak. Totokan ini menolong mengurangi rasa nyeri, sesak, dan Tang Lun melanjutkan kata-katanya, agak lancar.

"Sin Hong dahulu sebelum dilamar ayahmu ibumu pernah saling mencinta dengan Kwee Tay Seng...."

"Paman, siapa yang melakukan ini terhadap Paman? Siapa yang menyerang tadi? Seorang berkedok, akan tetapi siapa kiranya dia, Paman?"

"Entahlah". luar biasa lihainya...."

Tang Lun tidak kuat lagi, lehernya terkulai dan nyawanya melayang. Sin Hong mengepal tinju. Tang Lun tidak mengenal pembunuh itu! Dia merasa yakin bahwa tentu pembunuh itu ada hubungannya dengan mereka yang membasmi keluarganya. Dia merasa menyesal sekali mengapa tadi tidak dikejarnya orang berkedok itu dan menawannya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa orang berkedok ini telah membunuh Tang Lun. Dan Tang Lun hanya memberi tahu bahwa ibunya pernah saling cinta dengan Kwee Tay Seng, atau Kwee-piauwsu, orang yang dicurigai oleh Tang Lun dan Ciu Hok Kwi sebagai pembasmi keluarganya.

Agaknya itulah yang hendak diceritakan kepadanya namun ditahannya, sore tadi di depan Ciu-piauwsu. Hemmm, apakah karena cintanya terhadap ibunya gagal oleh karena ibunya menikah dengan ayahnya lalu orang she Kwee itu menjadi marah dan menaruh dendam kepada ayahnya? Jadi ibunya mencinta laki-laki itu, akan tetapi kakeknya dahulu menolak pinangan keluarga Kwee! Pada keesokan harinya, ketika mendengar akan peristiwa itu, Ciu Hok Kwi datang dan dia pun berlutut dan menangisi jenazah Tang Lun. Kemudian ketika jenazah itu dimasukkan peti oleh para piauwsu lainnya yang datang berlayat, bersama para tetangga, setelah diperiksa oleh pembesar yang berwenang untuk itu, Ciu Hok Kwi ber-sembahyang dengan suara cukup nyaring,

"Tang-toako! Kita yakin bahwa yang melakukan ini tentulah pembunuh Tan-toako pula, yaitu anjing she Kwee. Tenangkanlah rohmu, Toako, karena sekarang juga aku, Ciu Hok Kwi, akan menuntut balas kepada anjing she Kwee itu!"

Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar Ciu Hok Kwi lalu pergi meninggalkan rumah itu. Semua orang memandang dengan gelisah, dan Sin Hong lalu melangkah keluar pula dari rumah itu, diam-diam membayangi Ciu Hok Kwi yang pergi dengan muka merah dan sikap marah. Dia ingin sekali melihat apa yang hendak dilakukan oleh piauwsu itu. Dan seperti yang sudah diduga dan dikhawatirkannya, Ciu Hok Kwi langsung saja menuju ke rumah Kwee Tay Seng, pemimpin Ban-goan Piauwkiok. Beberapa orang piauwsu segera keluar dari kantor perusahaan itu menyambut kedatangan Ciu Hok Kwi dengan sikap heran.

"Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kwee Tay Seng!"

Demikian Ciu Hok Kwi berkata lantang, dengan sikap marah. Selagi para piauwsu memperlihatkan sikap kurang senang, tiba-tiba dari dalam muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dari belakang batang pohon tak jauh dari situ, Sin Hong menonton dan kehadirannya tidak menarik perhatian karena di tempat itu sudah berkumpul beberapa orang yang tertarik melihat ribut-ribut itu. Sin Hong masih dapat mengenal Kwee-piauwsu. Masih nampak gagah dan tampan, bertubuh tinggi besar dan berdada bidang. Seorang laki-laki yang jantan dan gagah, dan kini dia memandang dengan penilaian lain karena teringat bahwa laki-laki ini pernah saling mencinta dengan ibunya di waktu masih muda. Seorang pria yang ganteng, dan tidak heran kalau ibunya pernah saling mencinta dengannya.

"Kiranya Ciu Piauwsu yang datang berkunjung,"

Kata Kwee-piauwsu dengan sikap ramah dan pandang matanya tajam penuh selidik.

"Silakan masuk dan mari kita bicara di dalam."

"Tidak perlu masuk, di sini pun cukup."

Ciu Piauwsu berkata dengan suara membentak marah.

"Kwee Tay Seng, aku datang untuk menuntut balas atas kematian saudara-saudaraku Tan Hok dan Tang Lun! Majulah dan mari kita membuat perhitungan dengan senjata!"

Tangan kanannya bergerak dan Ciu piauwsu telah menghunus pedang yang bergantung di punggungnya. Sin Hong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak setuju melihat sikap Ciu Hok Kwi walaupun orang itu menyatakan hendak membalas dendam atas kematian ayahnya dan Tang-piauwsu. Ciu Hok Kwi dianggapnya terlalu kasar dan sembrono, padahal sama sekali belum ada bukti nyata bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh Kwee Piauwsu. Dia pun hanya menonton saja, akan tetapi diam-diam dia pun siap untuk melindungi keselamatan Ciu Hok Kwi kalau sampai terancam bahaya maut. Akan tetapi Kwee Piauwsu kelihatan heran mendengar tantangan dan melihat sikap Ciu Hok Kwi.

"Hemmm, Ciu Hok Kwi, sungguh sikapmu ini membuat kami merasa bingung dan tidak mengerti. Saudara Tan Hok telah tewas dalam tugasnya, beberapa tahun yang lalu, dan kini yang melanjutkan perusahaan Peng An Piauwkiok adalah saudara Tang Lun. Bagaimana engkau kini mengata-kan hendak membalaskan kematian saudara Tang Lun? Dan mengapa pula kepadaku?"

"Orang she Kwee, tidak perlu lagi berpura-pura! Orang lain boleh jadi tidak tahu, akan tetapi aku yakin bahwa yang membunuh Tang-toako malam tadi adalah engkau! Dan dahulu pun yang melakukan pencegatan, merampas barang kiriman dan membunuh Tan-toako adalah engkau pula dan anak buahmu. Nah, sekarang aku membuat perhitungan, hadapi pedangku kalau memang engkau laki-laki sejati! Jangan bertindak dalam rahasia, memakai kedok segala!"

Melihat sikap ini, para piauwsu anak buah Kwee Piauwsu menjadi marah dan beberapa orang sudah mencabut senjata hendak menyerangnya. Melihat ini, Kwee Piauwsu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur.

"Jangan kalian mencampuri urusan ini, biar aku sendiri yang menghadapi Ciu-piauwsu."

Kemudian dia melangkah maju menghadapi Ciu Hok Kwi dengan sikap tenang, akan tetapi mukanya menjadi merah karena marah.

"Ciu-piauwsu, semua tuduhanmu tadi merupakan fitnah yang amat keji! Aku sama sekali tidak tahu bahwa Tang-piauwsu semalam dibunuh orang, dan aku pun sama sekali tidak tahu-menahu tentang kematian Tan-piauwsu beberapa tahun yang lalu. Apa buktinya bahwa aku melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Jangan engkau melempar fitnah seenak perutmu sendiri tanpa bukti!"

"Buktinya? Engkau adalah saingan paling besar dari perusahaan kami, dan engkau pun saingan mendiang Tan-toako dalam merebut hati wanita. Engkau mendendam padanya dan karena itu sudah jelas engkau yang melakukan semua pembunuhan itu!"

"Keparat!"

Kwee-piauwsu menjadi marah karena urusan pribadi tentang cintanya terhadap mendiang isteri Tan-piauwsu diungkit-ungkit oleh orang itu.

"Aku tidak melakukan pembunuhan itu, akan tetapi jangan dikira aku takut menghadapi tantanganmu yang ngawur dan tak berdasar!"

Berkata demikian, piauwsu yang tinggi besar itu melolos sabuknya dan sabuk itu ternyata sebuah sabuk rantai baja yang tebal dan panjangnya hampir satu setengah meter. Melihat lawannya sudah mengeluarkan senjatanya, Ciu Hok Kwi segera menerjang dengan pedangnya sambil membentak.

Posting Komentar