Kisah Si Bangau Merah Chapter 21

NIC

"Locianpwe, aku adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!"

"Omitohud.... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun telah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?"

Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja,

"Juga banyak kitab Agama Buddha, kitab sejarah yang penuh kekerasan."

Setelah sejenak tak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya,

"Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?"

"Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apapun juga. Melihat kejahatan Ang I Moli yang sudah tidak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andaikata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan."

Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

"Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana!"

Yo Han menggeleng kepala.

"Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, lalu masuk Propinsi Se-cuan."

Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu ketika ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

"Anak baik, kalau boleh aku mengetahui. Engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan ada keperluan apakah?"

"Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung."

"Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?"

"Aku. telah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu hurufyang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri."

"Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?

"Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang."

Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Seratus tahun lebih yang lalu, dalam tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu, baru saja bangsa Mancu menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu. Raja-raja muda, penguasa-penguasa daerah, kehilangan pegangan dan karena melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak sedemikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, dibunuh-nya! Bahkan pernah dia memerintahkan para perajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya karena dia tidak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para perajuritnya diikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri! Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi seperti seorang raja, didukung oleh anak buahnya dan dia begitu takut kalau sampai kedudu-kannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya, dibunuh tanpa dosa!

"Omitohud.... mengapa engkau ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah, hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga sampai kini, lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si tinggal di Se-cuan, dibandingkan penduduk aselinya yang tinggal sedikit."

"Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti, rakyat. Dan setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat dibalikkan agar huruf itu tidak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia."

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan tersenyum.

"Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapapun baik maupun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu akan kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apalagi sekarang di Barat sudah mulai tidak aman, banyak bergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur."

"Locianpwe, aku tidak takut menghadapi kesukaran, tidak takut menghadapi pergolakan."

Gangga Dewi tersenyum.

Kalau ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti! Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi, kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis seperti Ang I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya!

"Yo Han, aku telah mendengar tentang riwayatmu, walau hanya sedikit. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan."

"Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu."

Gangga Dewi menghela napas panjang

"Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tidak pernah berkunjung ke timur. Akan tetapi aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat asing bagiku. Kalau saja engkau suka menolongku, Yo Han."

"Menolong Locianpwe? Aku....? Aih, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?"

Yo Han bertanya dengan heran, sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

"Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tidak tahu ke mana aku harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan namun sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemaniku dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya."

Dua pasang mata itu bertemu dan Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Dia merasa kasihan, dan juga baru saja dia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan. Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan nyawanya. Kalau sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana dia akan mampu menolaknya? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi. Dengan tegas dia mengangguk.

"Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya aku harus mengetahui siapa namanya dan bagaimana rupanya, berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain."

"Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik."

"Bukan menolong, Locianpwe, hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?"

"Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio...."

"Ahhhh.... Tiong Khi Hwesio....?"

Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

"Ya, kenapa, Yo Han?"

Tanya Gangga Dewi. Anak ini penuh kejutan memang.

"Apakah engkau mengenal nama itu?"

"Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhuku."

"Ehhh?"

Posting Komentar