Berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannva yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, kemudian bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.
"Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingat, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat buruk bagi dirimu sendiri."
Yo Han menghentikan ucapannya karena. tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerang-nya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap. Ang I Moli terkekeh genit.
"Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Dan engkau sudah mulai mengantuk. Tidurlah sayang, tidurlah....!"
Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan merebah-kan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu, dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap. Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga.
Ia tidak tahu bahwa tak lama kemudian api unggun padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya. Karena kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya itu, sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu. Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu.
Namun gerak-geriknya halus walaupun ringan dan cekatan. Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil dan tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bata itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Ia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam. Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab.
Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala, kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan: Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali. Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tidak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, dan ia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu.
Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila. Biarpun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ, hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit. Entah apa yang menyebabkan nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum. Wanita itu duduk bersila dan memejamkan mata setelah mulutnya mengomel lirih.
"Omitohud.... tega benar menodai tempat suci ini, sungguhpun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...."
Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam samadhi yang mendalam.
Siapakah wanita ini? Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walaupun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat, rambut itu digelung secara aneh, tidak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walaupun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa. Di antara kedua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil di sebelah selatan Tibet.
Tubuhnya masih padat ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih. Kalau ada orang Bhutan melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat kepadanya. Hiasan rambutnya berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu sebetulnya menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan. Memang sesungguhnyalah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, dan ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.
Gangga Dewi dilahirkan di Bhutan. Ia dilahirkan setelah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya. Ia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil ia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai ia dewasa kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa. Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, ketika dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena sakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia. Seperti orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya,
Seolah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio. Kemudian dia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia dia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup berbahagia dengan suaminya, seorang Bhutan aseli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir dan meninggal di sana bersama saudaranya se-ayah, berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca dalam cerita SI BANGAU PUTIH.
Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi masih hidup dalam keadaan bahagia dan tenteram. Bahkan dua orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja. Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadi perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan tetangganya yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan dan berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas. Biarpun di waktu masih hidup, suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, namun ketika suaminya tewas,
Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam. Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak dapat menghibur hatinya. Setelah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun, akhirnya ia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula. Biarpun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah yang sunyi penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok,
Namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya. Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, pernah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang. Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita ia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita maupun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi. Demikianlah, pada malam hari itu, Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua,
Ia pun memasukinya, sama sekali tidak mengira akan melihat pemandangan yang membuat ia merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walaupun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, manusia terikat oleh hukum adat, umum, sopan santun dan tata-susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari mahluk lainnya. Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biarpun di sana terdapat berbagai agama,
Di antaranya Agama Kristen, Islam, Buddhis dan lain-lainnya, namun diantara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian. Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Kalau pun ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimanapun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa. Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap telah memudar dan cuaca menjadi remang-remang, ketika burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan. Ang I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, lalu bangkit duduk, memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. ia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.
"Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku...."
Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Seperti orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri, mukanya berubah merah sekali, matanya terbelalak dan cepat kedua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.