Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu dari leher burung yang ditungganginya. Burung itu menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh perbuatan temannya dan terbang pula!
"Yahuuuuu....!"
Suma Kian Bu bersorak kegirangan.
"Lee-ko! Kita terbang seperti dewa....!"
Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
"Hati-hati, Bu-te, lihat kita dikejar....!"
Kian Bu menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula ke atas dan di punggung burung besar itu duduk.... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya, dan dua ekor rajawali putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali hitam!
"Heiii, dua bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali ini aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!"
Rajawali hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan.... menerjang rajawali hitam dengan ganasnya!
"Eh-eh, heiiitttt.... kurang ajar!"
Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya. Akan tetapi dari belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang menyerbu dengan ganas!
Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu menyerang temannya sendiri? Kiranya Suma Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam kegelisahannya, timbul akalnya dan dia lalu mencabuti bulu di leher, bahkan mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya. Rajawali itu kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya sehingga dia mengamuk membabi buta, karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam! Adapun Kian Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya,
"Rajawali yang baik, kau tolonglah kami berdua...."
Tentu saja rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, diapun membantu dan menyerangnya dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik, menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa dan sekali saja mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk! Hek-tiauw Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut mem-bantu rajawalinya memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali yang ditungganginya membuat diapun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.
"Bedebah! Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!"
Bentaknya berkali-kali akan tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kwalahan dan beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya! Dia merasa menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya.
Tadinya dia sedang makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya! Setelah terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam menjadi panik dan jerih, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan pergi. Betapapun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat. Akan tetapi makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.
"Aduhh.... indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning.... dan pepohonan itu demikian kecil!"
Jarak antara kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biarpun mereka harus berteriak agar dapat terdengar.
"Bu-te, kita harus kembali ke Pulau Es!"
Kian Lee berteriak.
"Benar, Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas."
Rajawali yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal daripada yang ditunggangi Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan. Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan. Demikian pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang rasa hati Kian Bu dan mulailah dia "menyetir"
Burungnya mencari Pulau Es. Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.
"Ah, di sana itu, Bu-te...!"
Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna putih dan berkilau seperti itu.
"Benar, mari kita pulang, Lee-ko!"
Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar burungnya menuju ke sana. Tak lama kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!
"Ayaaaaaaahhhhh....! Ibuuuuu....!"
Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas. Tak lama kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.
"Kian Lee! Kian Bu!"
Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring.
"Lekas kalian turun....!"
Dua ekor burung itu tetap terbang berputaran dan betapapun kedua orang muda itu berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.
"Ayah! Kami tidak dapat menyuruh mereka turun....!"
Kian Lee berseru keras ke bawah.
"Kalian totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke bawah!"
Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru.
Dua orang pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah. Pada saat itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang rajawali.
"Kian Lee....!"
"Kian Bu....!"
Dan dua orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.
"Hemm, kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?"
Suara Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa dan menyembunyikan kemarahan. Hal ini terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu berkata,
"Aku telah bersalah, ayah."
"Hayo ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa,"
Kata pula Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan hati khawatir. Merekapun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biarpun kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal daripada kakaknya, namun menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguhpun jantungnya dicekam rasa jerih. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan "petualangan"
Kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan sampai tiba di Pulau Neraka. Mendengar disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka.
"Kalian ke Pulau Neraka?"
Serunya dengan alis berkerut.
"Apa yang terjadi di sana?"
"Kami berdua tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka."
Kian Lee melanjutkan.
"dan di sana, kami dijadikan tawanan oleh ketuanya."
"Hemmm, siapa ketua Pulau Neraka?"
Suma Han bertanya. Kian Lee lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
"Ah, agaknya pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!"
Nirahai berseru heran. Mendengar suara ibunya, Kian Bu berani membuka mulut.