Kisah Sepasang Rajawali Chapter 25

NIC

"Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, fihak musuh tentu tidak berani sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah."

Tiga orang itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya,

"Bagaimana dengan sri baginda?"

"Sri baginda adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat pasukan kalian berada."

Ucapan ini mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih dulu daripada mereka?

"Sebelum kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kiam Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?"

Dua orang Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman menghela napas panjang, lalu berkata,

"Aku hanya minta apabila sewaktu-waktu Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada di sini agar suka membujuk mereka untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat."

"Tentu saja, taihiap!"

Tiba-tiba raja menjawab.

"Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik untuk mencari mereka."

"Terima kasih."

Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada Tan-ciangkun,

"Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di sepanjang perjalanan?"

"Sayang sekali tidak, taihiap."

Kembali pendekar itu menarik napas panjang.

"Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai. Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda."

Mereka berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang oleh nyala obor.

Tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu menimbulkan ketegangan juga di fihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang tadi dan betapapun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor, bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah itu jika semua obor sudah padam. Orang yang berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!

Tiga orang gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam tanah yang disabit-sabitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang dipesankan oleh Pendekar Siluman. Dua orang Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut-ribut di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan musuh. Suma Han Si Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata,

"Harap paduka suka duduk di punggung saya."

Tanpa ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.

Seperti juga tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas, melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai landasan untuk meloncat lagi. Gegerlah semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai "menghilang"

Ini, dan tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu malam berganti pagi. Tentu saja kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi raja sudah berseru keras,

"Cepat serbu ke sana! Dua orang panglima dan Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!"

Kemudian barisan segera membawa delapan ratus orang perajurit menyerbu, sedangkan yang dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja.

Dalam keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali! Setelah pagi tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit. Diam-diam dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan.

Selama dalam perjalanan kembali ke kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri! Tentu saja Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya. Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang pemuda tanggung itupun tidak mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.

"Kalau begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,"

Kata Pendekar Siluman kepada dua isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es, meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang sudah tenteram di pulau itu, jauh daripada segala keramaian dan keributan dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di mana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling membunuh antara sesama manusia.

"Mereka sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun. Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil."

"Akan tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan orang jahat, tentu mereka menghadapi malapetaka, sedangkan di daratan sana begitu banyaknya orang-orang jahat!"

Kata Nirahai.

"Dan banyak orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang."

Lulu menyambung.

"Hemm, kalau tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?"

Pendekar Super Sakti membantah. Nirahai dan Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut,

"Kalau tidak mau menyusul, biarlah aku yang pergi mencari!"

Suma Han menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai anak, dia menjadi "orang ke dua"!

"Dan pula, sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak kita itu di kota raja."

Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.

"Baiklah, aku akan mencari dua orang anak bengal itu!"

Katanya cepat-cepat. Berangkatlah Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya, Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil! Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan, hatinya dan sambil mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata,

"Milana, mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?"

Suaminya, Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab,

"Dia cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di Pulau Es."

"Hemm, seperti anak kecil saja kau, Milana."

Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka. Sudah lama sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan diapun rela kalau suaminya itu mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama, suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.

"Ayah, mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?"

Milana bertanya untuk mengalihkan percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu. Pendekar Super Sakti menarik napas panjang,

"Hemmm...., justeru karena mereka berdua, bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupannya yang tenang tenteram terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini men-carimu. Apakah mereka tidak ada datang ke sini?"

Posting Komentar