Kisah Sepasang Rajawali Chapter 21

NIC

Tangan kirinya bergerak dan sinar emas menyambar ke arah harimau, tercium bau harum ketika senjata jarum-jarum halus itu menyambar. Harimau meraung dan berloncat-loncatan aneh ke atas, kemudian roboh dan berkelojotan.

"Bunuh dia!"

Wanita itu berkata dan empat orang pengawal melompat maju, lalu menggunakan tombak mereka untuk membunuh harimau yang sudah sekarat itu. Tek Hoat kini maklum bahwa dia bertemu dengan orang-orang pandai, terutama sekali wanita cantik dan panglima ini. Maka dia lalu merenggutkan lengannya terlepas dan berjalan pergi dari tempat itu. Sesosok bayangan yang berkelebat cepat mengejutkannya dan ketika dia melihat bahwa wanita cantik itu seperti terbang saja sudah berada di depannya, dia mengira bahwa dia tentu akan ditegur atau mendapatkan marah. Maka dia mendahului wanita itu dan memukul!

"Heiiii....!"

Wanita itu berseru, menggunakan tangan kirinya menyampok pukulan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang karena dia maklum akan kelihaian wanita itu.

"Plakkk....!"

Tek Hoat terpelanting dan dia hampir menjerit. Lengannya yang ditangkis oleh telapak tangan halus itu terasa sakit bukan main! Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan wanita itu, maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat itu dengan hati kecewa dan terpukul hebat. Dia mengagulkan kepan-daiannya dan ternyata menghadapi seorang wanita saja dia tidak mampu menang! Dengan kepandaiannya serendah itu dia hendak mencari dan menantang Pendekar Siluman! Betapa memalukan!

"Hei, bocah lancang! Tunggu....!"

Terdengar panglima itu berseru.

"Biarlah, anak-anak yang mempunyai sedikit kepandaian, memang biasanya keras kepala dan sombong!"

Terdengar wanita itu mencegah. Tek Hoat berlari makin kencang. Hatinya panas sekali, panas dan kecewa. Dia kelihatan seperti seorang yang lemah menghadapi panglima dan wanita cantik ini. Dia dikatakan kanak-kanak yang mempunyai sedikit kepandaian. Anak-anak yang sombong dan keras kepala! Dia mengepal tinjunya. Dia harus belajar lagi. Dia harus mengumpulkan ilmu-ilmu yang tinggi. Dia harus menjadi jago nomor satu di dunia agar tidak akan ada yang memandang rendah lagi! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang puteri dari Pendekar Siluman!

Puteri itu adalah Puteri Milana yang sedang berburu binatang di hutan itu, bersama suaminya, Panglima Han Wi Kong dan empat orang pengawal mereka. Ilmu kepandaian Panglima Han Wi Kong memang tinggi, maka tentu saja Tek Hoat bukan tandingannya, apalagi kepandaian Puteri Milana! Seperti telah diceritakan, Puteri Milana telah menikah dengan Panglima Han Wi Kong. Mereka hidup rukun, sungguhpun tak dapat dikatakan bahwa Milana mencintai suaminya. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai anak, seandainya ada, agaknya Milana perlahan-lahan akan dapat mencinta suaminya itu. Betapapun juga, mereka kelihatan rukun dan tak pernah terjadi ribut di antara mereka. Melihat seorang anak laki-laki yang memiliki kepandaian tinggi dan bersikap aneh itu, Milana dan suaminya terheran-heran. Apalagi ketika suaminya menceritakan betapa anak itu tadi tidak mau minggir sehingga terpaksa dia lemparkan dari jalan.

"Hemm, jelas dia bukan bocah biasa,"

Kata Milana.

"Benar, dia tentu murid seorang pandai. Akan tetapi sikapnya sungguh mencurigakan."

"Dia bersikap aneh, tentu murid orang aneh pula. Dan gerakannya ketika memukul tadi, bukankah mirip sekali dengan Pat-sian-kun? Heran sekali....!"

Mereka lalu kembali ke kota raja.

Empat orang pengawal membawa bangkai harimau. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah menyangka anak laki-laki remaja tadi bukan lain adalah keturunan Wan Keng In! Dia mengenal Ang Siok Bi, bahkan dia bersama Ang Siok Bi pernah mengeroyok Gak Bun Beng yang dianggapnya memperkosa para wanita itu (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), akan tetapi kemudian dia tahu bahwa yang melakukan berbuatan terkutuk itu adalah Wan Keng In yang menggunakan nama Gak Bun Beng. Juga dia tidak tahu bahwa anak itu telah dilatih ilmu silat tinggi sampai dua tahun lamanya oleh Sai-cu Lo-mo, bekas orang kepercayaan ibunya. Sai-cu Lo-mo yang tadinya menemaninya di istana, akan tetapi yang pergi semenjak dia menikah. Tek Hoat mengambil buntalannya yang tadi disembunyikan di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan wajah murung.

Kenyataan pahit betapa kepandaiannya tidak sehebat seperti yang dianggapnya selama ini, membuat dia kecewa sekali dan diam-diam mengutuk Sai-cu Lo-mo mengapa tidak mewariskan seluruh ilmunya! Dan dia memaki-maki Bu-tong-pai pula yang tidak mau menerimanya sebagai murid. Kini tahulah dia bahwa jelas sekali dia tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh Bu-tong-pai. Dia harus belajar lagi. Akan tetapi belajar dari siapa? Dengan bersungut-sungut Tek Hoat memasuki sebuah dusun dan melihat sebuah rumah makan di dusun itu, dia masuk. Dia tidak lagi pergi ke kota raja. Panglima dan wanita itu tentulah orang-orang kota raja dan tahulah dia betapa berbahayanya kota raja yang memiliki demikian banyaknya orang pandai. Sebelum dia memiliki kepandaian yang tiada lawannya, perlu apa dia pergi ke kota raja hanya untuk dihina orang? Sekali masuk kota raja, dia harus mampu menggegerkan kota raja!

"Brukkk!"

Meja itu bergoyang-goyang dan tentu ambruk kalau tidak dipegang cepat-cepat oleh Tek Hoat. Buntalannya memang berat karena perak dan emas itu. Didengarnya suara orang berbisik-bisik. Ketika dia mengerling ke kiri, ternyata di meja sebelah kiri duduk pula empat orang laki-laki yang melihat pakaian dan gerak-geriknya, tentulah sebangsa jagoan silat yang kasar. Mereka memperhatikan Tek Hoat, terutama sekali pandang mata mereka ditujukan kepada buntalan di atas meja di depan pemuda itu.

"Ha-ha-ha, twako. Kalau sekali ini kita tidak bisa mendapatkan kakap, benar-benar sialan kita ini,"

Kata seorang di antara mereka.

"Aihhh, mana bisa memperoleh kakap di air keruh? Tunggu di air tenang, barulah mudah menangkap kakap gemuk,"

Kata orang yang kumisnya melintang sampai ke telinga.

"Twako, air di sinipun cukup tenang. Pula siapa sih yang berani membikin keruh? Kakap tinggal tangkap saja, apa sukarnya?"

"Kau benar juga, baik kita melihat gelagat, ha-ha-ha!"

Kata si kumis panjang sambil tertawa dan minum araknya. Tek Hoat diam saja karena memang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak tahu bahwa mereka itu membicarakan dia yang dianggap kakap karena memiliki buntalan berat. Mata empat orang itu amat tajam, dapat menduga dengan tepat bahwa isi buntalan itu tentu emas! Dengan tenang Tek Hoat minta kwaci dari pelayan dan memesan makanan. Sambil menanti masakan, dia makan kwaci tanpa mempedulikan sedikit pun kepada empat orang itu. Hatinya sedang kesal, wajahnya murung.

"Haii, orang muda. Mengapa engkau duduk sendirian saja? Marilah duduk bersama kami!"

Tiba-tiba seorang di antara mereka menegur Tek Hoat. Karena di rumah makan tidak ada orang lain, tahulah Tek Hoat bahwa dia yang ditegur, akan tetapi dia hanya melirik dan tidak menjawab, senyumnya amat mengejek.

"Hei, orang muda. Lihatlah permainan kami ini, kalau mau menjadi sahabat kami, engkau akan kami ajari ilmu!"

Kata pula orang ke dua. Tek Hoat menoleh dan dia melihat si cambang melintang itu menggerakkan kedua tangannya. Terdengar angin bersiutan dan tampak sinar hitam meluncur ke atas dan lima batang senjata rahasia berbentuk paku telah menancap berturut-turut di atas balok melintang, berjajar seperti diatur saja!

"Bagaimana? Bagus, bukan? Kalau ditujukan kepada lawan, sekarang juga sudah lima orang lawan roboh binasa. Ha-ha-ha!"

Pemimpin rombongan empat orang kasar itu tertawa dengan lagak sombong.

"Huh!"

Tek Hoat mendengus dan membuang muka dengan hati jemu menyaksikan kesombongan orang. Kepandaian seperti itu saja disombongkan, pikirnya. Betapa banyak manusia yang mengagulkan kepandaian sendiri, tidak tahu bahwa kepandaiannya itu sebetulnya bukan apa-apa, seperti yang pernah dia sendiri lakukan pula. Melihat sikap Tek Hoat, si kumis panjang menjadi marah. Tangan kirinya bergerak dan sebatang paku meluncur ke arah buntalan di atas meja Tek Hoat.

"Wirrrr.... trakkk!"

Paku itu menembus buntalan dan mengenai potongan emas yang berada di sebelah dalam. Tek Hoat terkejut dan ketika dia menoleh, empat orang itu tertawa-tawa.

Posting Komentar