Tiga sinar putih menyambar ke arah tubuh Tek Hoat. Pemuda ini cepat mengelak dari serangan piauw (senjata runcing yang dilontarkan), akan tetapi tiba-tiba kaki-nya tersandung bangku dan dia terguling roboh! Tentu saja Sin-houw Lo-kai menjadi girang sekali. Cepat dia menubruk ke depan dan tongkatnya dihantamkan sekuat tenaganya ke arah kepala lawannya.
"Siuuuuttt.... plakkk!"
Tongkat menyambar turun dan cepat bagaikan kilat Tek Hoat sudah meloncat ke atas. Kiranya dia tadi hanya pura-pura jatuh untuk memancing perhatian lawan.
Ketika melihat lawannya menghantamkan tongkat ke atas kepalanya, Tek Hoat meloncat dan menangkap tongkat itu di tengah-tengah dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah tangan lawan yang masih memegang tongkat. Kakek itu mengeluh dan terpaksa membiarkan tongkatnya terampas oleh Tek Hoat yang telah membetotnya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja kakek itu tidak dapat mempertahankan tamparan Tek Hoat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang yang amat panas, sin-kang yang dilatihnya di bawah bimbingan Sai-cu Lo-mo. Kini Tek Hoat berdiri tegak setelah tadi meloncat ke belakang sambil membawa tongkat rampasannya. Adapun kakek itu telah bersiap untuk bertanding mati-matian, matanya menjadi merah dan mulutnya seolah-olah mengeluarkan uap panas.
"Ha-ha, tongkatmu ini tidak ada gunanya, Sin-houw Lo-kai."
Sambil berkata demikian, pemuda itu menekuk-nekuk tongkat baja yang kuat itu dengan kedua tangannya dan tongkat itu tertekuk sampai bengkok-bengkok seperti ular! Dengan senyum mengejek pemuda itu melemparkan tongkat itu ke atas lantai kemudian melangkah maju menghampiri lawannya. Pucatlah wajah kakek itu. Dia maklum bahwa biarpun lawannya masih muda sekali, namun ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Dia tahu bahwa dia bukanlah tandingan pemuda ini, akan tetapi setelah pemuda itu membunuh semua muridnya, setelah pemuda itu begitu menghina dan memandang rendah kepadanya, tentu saja dia merasa lebih baik mati daripada mundur! Dia mengeluarkan pekik melengking penuh kemarahan, tubuhnya meloncat ke atas dan menubruk seperti seekor harimau.
Memang kakek ini terkenal lihai dengan Ilmu Silat Harimau sehingga julukannya Harimau Sakti, bahkan ketujuh orang muridnya yang tewas itupun terkenal dengan julukan Tujuh Harimau Terbang. Lawan yang ditubruk oleh jurus paling ampuh dari ilmu silatnya ini tentu akan menjadi panik, dan gerakan menubruk ini banyak sekali perkembangannya. Akan tetapi Tek Hoat yang kini sudah merasa yakin bahwa tenaganya masih lebih kuat daripada kakek itu, memandang rendah serangan ini dan dia bahkan menyambut serangan lawan dan siap mengadu tenaga! Maka ketika kakek itu menubruk, dengan kedua tangan dikembangkan dan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, Tek Hoat juga mengembangkan kedua lengannya dan menerima kedua tangan lawan itu dengan tangannya sendiri.
"Plak! Plak!"
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan mulailah terjadi adu tenaga sin-kang yang dilakukan tanpa bergerak namun yang kehebatannya tidak kalah dengan adu kecepatan kaki tangan tadi. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang, mukanya beringas seperti muka harimau marah, tubuhnya agak merendah, dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tek Hoat berdiri biasa saja, senyumnya masih menghias mulutnya, matanya tajam bersinar-sinar, wajahnya berseri dan diam-diam dia mengerahkan Yang-kang yang mengandung hawa panas itu. Dua pasang lengan itu sampai tergetar hebat dalam adu tenaga itu,
Akan tetapi lambat laun kakek jembel itu sukar dapat mempertahankan diri lagi karena hawa panas itu makin mendesak dan makin membakar seolah-olah hendak membakar seluruh tubuhnya. Dia dapat mempertahankan dorongan tenaga sin-kang lawan, akan tetapi menghadapi hawa panas yang meresap ke dalam tubuhnya itu dan membuat dadanya seperti akan meledak, dia merasa tersiksa sekali. Tek Hoat makin memperkuat dorongannya makin mengerahkan sin-kangnya sehingga dari telapak tangannya mengepul uap panas. Kakek itu meringis, makin menderita dan akhirnya kedua kakinya gemetaran, perlahan-lahan lututnya tertekuk, makin lama makin rendah dan akhirnya dia jatuh berlutut dan tubuhnya gemetar semua. Untuk kesekian kalinya Tek Hoat mengerahkan tenaganya, terutama pada tangan kanannya yang sudah menekan tangan kiri lawan.
"Krekkk....! Aughh....!"
Sin-houw Lo-kai memekik kesakitan, akan tetapi pekiknya menjadi memanjang, menjadi lengking mengerikan ketika tangan kanan Tek Hoat secepat kilat sudah melepaskan tangan kiri lawan dan menyambar ke arah kepala lawan. Jari tangannya, telunjuk dan jari tengah, menusuk dan masuk semua ke dalam kepala kakek itu. Tubuh kakek itu berkelejotan dan terlempar keluar ketika Tek Hoat menendangnya, tak lama kemudian tubuhnya tak bergerak lagi, mati seperti empat orang muridnya.
Kakek Kam Siok dan para tamu yang menyaksikan pertandingan itu dan melihat betapa lima orang pengacau itu telah tewas semua, segera menghampiri Tek Hoat dan mertua yang merasa amat girang dan lega ini merangkul mantunya dengan penuh kebanggaan. Mayat lima orang itu cepat diurus dan kakek Kam Siok membereskannya persoalan itu dengan pembesar setempat. Banyak sekali saksinya bahwa lima orang itulah yang datang mengacau, maka Tek Hoat tidak dituntut, apalagi karena Kam Siok berani mengeluarkan banyak hadiah untuk para petugas yang mengurus persoalan itu. Pesta perkawinan dilanjutkan dengan meriah dan kegagahan Tek Hoat menjadi bahan percakapan para tamu. Nama "Gak Bun Beng"
Terkenal sekali dan semua orang merasa kagum akan kegagahan pemuda yang masih muda sekali itu dan menyatakan betapa untungnya Kam Siok memperoleh seorang mantu seperti itu.
Akan tetapi hanya orang luar saja yang menganggap bahwa keluarga Kam berbahagia dengan munculnya pemuda tampan dan gagah itu, karena orang luar tidak tahu keadaan sebenarnya. Adapun kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li, menderita tekanan batin hebat ketika beberapa hari saja setelah pesta pernikahan itu berlangsung, secara terang-terangan pemuda itu bermain gila dengan si ibu tiri! Tek Hoat yang masih hijau dalam soal asmara, tentu saja tidak dapat melawan godaan Liok Si yang selain cantik sekali, juga pandai merayu dan bergaya itu. Dengan mudah Tek Hoat dapat ditundukkan dan terjatuh ke dalam pelukan ibu tiri ini. Mungkin karena mengandalkan kelihaian Tek Hoat, Liok Si berani melakukan perjinaan dengan mantu tirinya ini secara berterang! Dia seolah-olah menantang suaminya dan anak tirinya! Merayu, merangkul dan mencium mantunya da depan suami dan anak tirinya bukan merupakan hal yang aneh baginya! Adapun Tek Hoat yang masih hijau, menurut saja karena dia mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dalam hubungannya dengan Liok Si, kenikmatan yang tak dapat dia rasakan bersama isterinya yang juga sama-sama belum berpengalaman dan masih hijau seperti dia dalam bercumbu rayu. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siu Li dan betapa marah dan malu rasa hati Kam Siok. Akan tetapi apa yang dapat mereka lakukan? Mereka berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada "Gak Bun Beng", dan mereka takut sekali kepada pemuda ini. Ayah dan anak ini hanya dapat bertangis-tangisan jika mereka berdua saja, menyesali nasib mereka yang sangat buruk.
Sedangkan Tek Hoat hampir selalu berada di dalam kamar Liok Si, bermain-main dan bersendau-gurau sebebas-bebasnya, siang malam! Barulah terjadi geger bagi orang-orang di luar rumah makan itu ketika sebulan kemudian setelah pesta pernikahan yang menghebohkan itu, terjadi ribut-ribut di rumah makan dan semua orang terkejut ketika mendengar bahwa kakek Kam Siok dan puterinya, Kam Siu Li si pengantin baru, tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamarnya dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Pada malam itu, si pengantin pria yang gagah perkasa itu kebetulan sedang pergi ke luar kota. Ketika Tek Hoat pada pagi harinya datang dan menyaksikan isterinya dan ayah mertuanya sudah tewas dan dirubung para tetangga, dia marah sekali, memakimaki dan menantang-nantang.
"Jahanam keparat!"
Teriaknya nyaring.
"Ini tentu perbuatan teman-teman Jit-hui-houw! Pengecut benar! Mengapa membunuh orang yang tak bersalah dan lemah? Kalau memang berani, hayo datang dan lawanlah aku!"
Semua orang membenarkan dugaan pemuda ini bahwa pembunuhnya tentulah kawan-kawan dari Jit-hui-houw yang membalas dendam,
Maka mereka diam-diam merasa kasihan kepada pemuda yang mengagumkan hati mereka itu. Demikianlah pendapat orang luar. Akan tetapi di sebelah dalam rumah itu, Tek Hoat dan Liok Si tertawa-tawa merayakan kemenangan mereka dan Tek Hoat membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kekasihnya yang pandai merayu. Pembunuhan itu tentu saja dilakukan oleh Tek Hoat sendiri atas bujukan Liok Si dan semua harta benda peninggalan Kam Siok tentu jatuh ke tangan mereka. Akan tetapi, kemesraan di antara mereka berdua tidak dapat bertahan lama. Tek Hoat suka kepada Liok Si yang cantik genit itu hanya karena dorongan nafsu yang dibangkitkan oleh Liok Si yang pandai merayu. Setelah nafsu berahi terlampiaskan, yang muncul hanya kebosanan dan kemuakan.
Demikian pula dengan Tek Hoat, pemuda hijau yang salah didik ini. Dia mulai merasa bosan dan sebulan kemudian, sering kali dia keluar rumah, bahkan bermalam di kota lain. Jiwa perantauannya timbul kembali dan dia mulai tidak kerasan berada di rumah makan itu. Hal ini tentu saja mengecewakan hati Liok Si, juga membuatnya sengsara. Wanita yang haus cinta ini mana mungkin disuruh melewatkan malam-malam sunyi dan sendirian saja? Mulailah dia mengerlingkan matanya yang bagus itu kepada seorang pemuda tetangga, yang biarpun tidak setampan Tek Hoat, namun memiliki tubuh tinggi besar sehingga cukup membangkitkan gairahnya. Akhirnya, apabila Tek Hoat tidak bermalam di rumah, Liok Si berhasil memikat pemuda itu memasuki kamarnya di mana dia memuaskan semua kehausannya.
Pada suatu malam, tidak seperti biasanya, Tek Hoat pulang dan pemuda ini memasuki rumah melalui genteng. Ketika dia mendorong daun pintu kamar Liok Si, dia melihat Liok Si dan pemuda tinggi besar itu di atas pembaringan! Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengeluarkan suara, dua kali tangannya menyambar dan dua tubuh yang telanjang itu berkelojotan sebentar, kemudian diam dan mati dengan kepala berlubang bekas tusukan jari tangan! Diam-diam Tek Hoat mengumpulkan semua perhiasan Liok Si dan semua uang emas dan perak peninggalan kakek Kam, dibuntal dengan bungkusnya, kemudian menjelang pagi dia melompat ke atas genteng sambil mengerahkan khi-kangnya berteriak keras,
"Pembunuh! Hendak lari ke mana kau?"