Kisah Sepasang Naga Chapter 17

NIC

Pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki keistimewaan dan kepandaian tinggi, ditambah dengan tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Suma Cianbu dan Siauw-san Ngo-sinto, kedua anak muda itu terdesak mundur.

"Ha, ha, anak-anak kecil yang masih bau pupuk, kalian hendak lari kemana?" Sum cianbu tertawa menyindir.

Tapi pada saat itu dari atas menyambar turun seorang tua dengan pedang di tangan sambil membentak keras, "Anjing-anjing penjilat jangan jual lagak!" Pedangnya lalu diputar cepat dan segerakan saja seorang pengeroyok kena dirobohkan! Suma cianbu mundur dengan kaget karena ilmu silat orang tua ini lihai sekali.

Melihat kedatangan Kwie Cu Ek si Harimau Terbang, pertapa berjubah merah yang semenjak tadi duduk saja, lalu berdiri dan sekali gebrakan tubuh, maka ia telah melayang memapaki Kwie Cu Ek, "Tidak tahunya Hui-houw Kwie Cu Ek yang mempeloporinya, pantas saja, anak-anak itu demikian lihai," katanya dengan tersenyum menyindir.

Kwie Cu Ek menjura.

"Bukankah siauwte berhadapan dengan Cin Cin Hoatsu dari Tibet?" tegurnya hormat.

"Ha, ha, kau juga bermata awas dan dapat mengenal pinto.

Aku pernah kenal dengan gurumu dan dari gerakanmu tadi tahulah aku bahwa kau tentu si Harimau Terbang.

Bukankah kau memiliki kepandaian ilmu silat Rajawali Sakti? Hayo keluarkanlah, pinto ingin melihatnya!" "Locianpwe apakah sengaja menggabung kepada mereka yang tersesat ini?" tanya Kwie Cu Ek.

"Bukan urusanmu untuk mengetahui hal ini.

Kalau aku menggabung, kau mau apa?" tantang Cin Cin Hoatsu, bekas pendeta Lama itu.

"Kalau begitu percuma saja kau mengenakan jubah pendeta!" kata Kwie Cu Ek dengan berani.

"Ah,orang tak tahu diri! Kematian sudah didepan mata masih berani membuka mulut besar." Dengan memandang rendah sekali Cin Cin Hoatsu maju dan mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah Kwie Cu Ek yang terpaksa berkelit mundur dengan cepat karena dari ujung baju itu menyambar keluar angin pukulan yang berbahaya.

"Ha, ha, ha, tak berapa hebat kepandaianmu!" Cin Cin Hoatsu menyindir dan terus maju menyerang.

Kwie Cu Ek terpaksa melayani dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Ia mengeluarkan pula Sin-tiauwkiam-sut yakni ilmu pedang Rajawali Sakti, sambil menyerang ia bersuit nyaring bagaikan seekor burung rajawali.

Tapi kini ia berhadapan dengan seorang tokoh besar dari Tibet yang tidak saja tinggi ilmu silatnya, juga memiliki macam-macam ilmu gaib dan ilmu sihir.

Pertapa ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang dan tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan.

Baru beberapa puluh jurus saja Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh pukulan-pukulan ujung lengan baju yang mantap dan luar biasa.

Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan berada dalam keadaan berbahaya sekali karena lawan mereka yang berjumlah banyak tidak mau memberi kelonggaran dan terus merangsek hebat.

Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku semberono hingga membahayakan jiwa Sin Wan dan Giok Ciu.

Ia menjadi bingung karena pasti mereka bertiga akan segera dirobohkan.

Tiba-tiba ia berteriak keras, "Sin Wan dan Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!" Mendengar perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut.

Segera pedang mereka diputar hebat dalam gerakan ilmu pedang Sin-tiauwkiam-sut hingga mereka dapat menahan desakan senjata-senjata pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka melayang ke atas genteng! Tapi pada saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru keras dengan marah bagaikan seekor harimau terluka dan ketika kedua anak muda itu memandang ke bawah, tak terasa pula mereka menjerit karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh ujung lengan baju Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu! Kwie Cu Ek terlempar beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih terpegang erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah.

Ia menggerakkan tangannya dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah tenggorokan Cin Cin Hoatsu! Inilah gerakan yang dinamai Rajawali Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari Sin-tiauw-kiam-sut yang hebat luar biasa itu.

Kalau saja yang diserang bukan Cin Cin Hoatsu, orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya.

Tapi Cin Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan ujung lengan bajunya.

"Sret!" Putuslah ujung len ngan baju itu, tapi pedang Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus menancap sampai menembus dada pengeroyok yang tidak ada kesempatan berkeliat lagi.

Orang itu berteriak ngeri dan terdengarlah suara Kwie Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya dan juga menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya.

Pertapa tua dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali.

Ia meloncat ke tempat Kwie Cu Ek dan dengan sekali tendang saja putuslah nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak lagi.

Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud hendak berkelahi dengan nekad dan mati-matian.

Tapi Sin Wan cepat menyambarnya dan menariknya kembali ke atas genteng.

"Koko, lepaskan! Lepaskan aku!!" Giok Ciu menjerit-jerit dengan air mata bercucuran, tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya.

Pada saat itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang cepat gerakannya dan terdengar suara orang berkata, "Jiwi enghiong, lekas lari, biar kami yang menahan mereka." Sin Wan melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain adalah orang-orang tua yang gagah.

Ia tahu itu tentu orang-orang gagah yang sering memusuhi para durna dankaki tangannya, maka ia segera betot tangan Giok Ciu.

"Moi-moi, hayo kita pergi.

Mudah lain kali kita datang membalas sakit hati." "Tidak! Tidak! Biarkan aku mati bersama ayah!" "Giok moi jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita." Tiba-tiba Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas daripegangan Sin Wan.

"Kau kau..

takut?? Kau hendak membiarkan dan meninggalkan ayah yang mengorban jiwanya untukmu??" Sin Wan mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar.

"Giok Ciu, kau anggap aku seorang macam apakah? Aku mengajak kau pergi bukan karena takut, tapi karena memenuhi kehendak dan maksud ayahmu.

Tadi kita telah berlaku sembrono sekali.

Musuh terlampau kuat, untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa kita mati kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya lain." "Tapi ayah" "Sudahlah! Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!" Akhirnya Sin Wan berlaku nekad juga dan hendak terjun.

Tapi kini datang lebih banyak orang gagah yang mencegah mereka.

"Lie enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat sekali, kita bukan lawan mereka.

Soal jenasah ayahmu itu, biarlah kami yang akan mengurusinya dan akan berusaha mengambilnya.

Karena sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit keras dan jatuh pingsan dalam pelukan Sin Wan.

Pada saat itu dari bawah melayang naik orang-orang dengan senjata di tangan dan sebentar lagi terjadi pertempuran seru di antara mereka dengan para ho-han yang menyerbu.

Tapi karena Cin Cin Hoatsu berada disana, para penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa serta jenasah Kwie Cu Ek.

Sin Wan yang memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari kota itu menuju ke Kam-hong-san kembali.

Setelah sadar, Giok Ciu menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan memanggilmanggil nama ayahnya.

Sin Wan hanya dapat menghiburnya, tapi tak terasa ia sendiri mengalirkan air mata.

Di samping merasa bersedih ia mengertakan giginya karena gemas dan marahnya.

Alangkah besarnya sakit hati ini.

Kematian ibu dan kakeknya belum juga terbalas, kini ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru dan juga calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang lagi, yaitu Cin Cin Hoatsu yang konsen dan sakti.

Bagaimana juga pada suatu waktu, aku harus dapat membasmi mereka itu, demikian Sin Wan mengambil keputusan.

"Moi-moi, sudahlah jagan kau terlalu bersedih.

Mari kita kembali ke tempat tinggal kita untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari jalan bagaimana kita dapat membalas dendam ini." Tapi Giok Ciu makin hebat tangisnya.

"Aku.

Aku kini sebatang kara.." Karena terharu,Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu dan menghibur."Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang kara, hidupku seorang diri di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia karena.

Ada engkau, Giok Ciu.

Bukankah kita masih bersama-sama.?" Dalam usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis itu dan Giok Ciu memandang wajah Sin Wan melalui air matanya, kemudian tak terasa lagi gadis itu perdengarkan sedu sedan dan menubruk Sin Wan.

Mereka dalam keharuan hati masing-masing lalu saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini hanya ada seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang yang dipeluknya.

Tapi setelah gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat bahwa ia sedang saling peluk dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh terjengkang! Dengan muka merah karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan dan ketika melihat pandang mata pemuda itu juga menatapnya.

Ia buru-buru tundukkan muka dengan rasa malu sekali.

Kemudian ia mengangkat kaki dan meloncat jauh sambil berkata,"Hayo kita melanjutkan perjalanan kita." Sin Wan maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau mengganggunya lagi, hanya meloncat mengejar dan mereka cepat sekali lari menuju Kam-hong-san.

Sin Wan mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk bersemahyang di depan maka ibu dan kakeknya.

Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk bersaha membelas dendam.

Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat kawannya yang cantik jelita dan bersikap gagah pula.

Posting Komentar