"Tahan, Sin Wan"!" Kakek ini memang suka melihat orang yang gagah dan berani mati.
Selama ia merantau di dunia kang-ouw, jika menemukan lawan yang sifatnya penakut dan jika terluka merintih-rintih, ia segera bunuh lawan itu.
Tapi jika lawannya seorang pemberani, ia bahkan selalu memberi ampun! Kini mendengar si kate berkata demikian, ia larang cucunya membunuh orang itu.
"Kau pergilah!" Kata Kang-lam Ciuhiap kepada si kate gemuk itu, "Dan bawa pergi semua kawan-kawanmu itu." Tangan kirinya dilambaikan ke arah orang-orang yang merintih-rintih di atas tanah.
Pemimpin rombongan tentara itu berkata,"Baik, bagimu sama saja, bunuh aku atau tidak, akhirnya kau juga bakal tertangkap.
Ketahuilah, kami diperintahkan menangkapmu oleh Suma cianbu, dan sebentar lagi dia dan juga Siauw-san Ngo sinto tentu datang kesini!" Sehabis berkata demikian dengan mata mengandung penuh ancaman, si kate itu lalu bantu anak buahnya yang terluka untuk naiki kuda mereka dan perlahanlahan tinggalkan kampung itu, disoraki oleh penduduk kampung.
Tapi Sin Wan yang memperhatikan kakeknya betapa Kang-lam Ciuhiap tiba-tiba menjadi pucat dan tampak gelisah.
Ia segera menghampiri dan memegang lengan kakeknya, "Engkong, kau kenapakah?" Kakeknya geleng-geleng kepala dan tanpa banyak cakap ia mengajak cucunya pulang.
Kemudian, di depan anak perempuannya dan Sin Wan, Kang-lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh.
"Sin Wan, kau ajak ibumu pergi, sekarang juga! Aku harus menghadapi hal ini sendiri, jangan sampai kalian juga tertimpa bencana!" "Ayah, mengapa kau kata begitu? Apakah yang terjadi?" Ibu Sin Wan bertanya cemas.
"Ketahuilah, dulu aku telah membasmi habis orang-orang yang memfitnah suamimu.
Tidak kurang dari enam jiwa melayang di tanganku.
Karena yang kubunuh adalah orang-orang berpangkat, maka sejak saat itu pemerintah telah mencari-cariku.
Agaknya kini mereka berhasil dan dapat mengetahui tempat sembunyiku disini." Kakek itu menghela napas.
"Tapi, ngkong.
Kalau baru orang-orang macam si kate saja yang datang hendak mengganggumu, jangankan baru satu dua orang, biar ada puluhan, kau dan aku masih sanggup mengusirnya!" kata Sin Wan dengan gagah.
Kang-lam Ciuhiap tersenyum girang melihat sikap Sin Wan, tapi ia lalu menggeleng kepala perlaha.
"Kau tidak tahu, Sin Wan.
Tidakkah kau dengar tadi bahwa ada seorang cianbu she Suma dan Siauw Ngo-sinto akan segera datang kesini?" Sin Wan merasa penasaran, "Takut apa, ngkong? Macam apakah orang she Suma itu? Aku ingin sekali mengukur kepandaiannya." "Kapten she Suma itu sendiri sudah merupakah lawan berat," kata Kang-lam Ciu-hiap perlahan seakan-akan tak mendengar kejumawaan Sin Wan, "tapi lima saudara dari Siauw-san yang dijuluki Ngo-sinto atau Lima Golok Malaikat benar-benar berat dilawan." "Siapakah mereka itu dan mengapa mereka ikut datang membikin susah kau?" tanya ibu Sin Wan yang merasa khawatir.
"Suma cian-bu adalah seorang kapten yang sangat terkenal karena kegagahannya.
Selain pandai mengatur tentara, iapun tinggi sekali ilmu pedangnya.
Kedatangannya itu tentu dengan tugas menangkapku karena kaisar pun tahu orang macam apakah aku, maka kapten yang konsen itulah yang diutus.
Tapi agaknya Sum cian-bu sendiri jerih untuk datang seorang diri, maka ia ajak kelima setan itu.
Memang telah kudengar desas-desus bahwa Ngo-sinto itu telah mengkhianati dunia kang-ouw dan rela menjadi anjing penjilat kaisar asing! Mereka adalah lima orang pertapa atau tosu dari Gunung Siaw-san.
Agaknya mereka itupun runtuh iman mereka dan melihat sogokan berupa harta benda dan emas, seperti yang banyak dialami orang-orang gagah yang akhirnya menjadi kaki tangan kaisar lalim.
Sin Wan jangan sia-siakan waktu, kau bawalah ibumu pergi ke rumah Kwie Cu Ek di balik gunung.
Beri tahukan padanya tentang keadaan kita dan titipkan ibumu di sana untuk sementara waktu.
Disini berbahaya sekali." "Tapi, ayah! Rasa takutku sudah lenyap dan segala kengerian telah pergi semenjak ayah Sin Wan terfitnah oleh bangsat-bangsat itu.
Biarlah merekia datang.
Biarkan mereka membunuhku.
Aku tidak takut!" Nyonya muda yang lemah dan berpenyakitan itu angkat dada dengan beraninya hingga Sin Wan kagum sekali serta bangga akan ibunya.
"Kau benar, ibu.
Akupun tidak takut, dan akulah yang akan membelamu mati-matian ibu!" Kang-lam Ciuhiap jengkel sekali melihat anak dan cucunya itu.
Ia membanting-banting kakinya, lalu bertindak keluar sambil mengomel, "Kau ibu dan anak sama-sama kepala batu!" Kakek itu yang merasa bingung dan mengkhawatirkan keselamatan anak dan cucunya, lalu pergi kerumah seorang temannya dikampung itu dan bersama temannya menenggak arak sampai habis beberapa guci.
Kemudian ia menyuruh seorang teman untuk keluar dan pergi menyelidiki keadaan musuh yang hendak datang.
Ia sendiri putar otak mencari akal untuk menyingkirkan anak dan cucunya.
Terutama Sin Wan harus pergi dari kampung itu.
Untuk dirinya sendiri, Kang-lam Ciuhiap tidak khawatir.
Ia sudah cukup kenyang mengalami pertempuran, sudah cukup lama hidup di dunia yang penuh derita ini, dan mati baginya hanya berarti pulang ke kampung halaman.
Tapi bagaimana nasib Sin Wan dan ibunya? Yah, tentang anak perempuannya ia telah tahu isi hatinya.
Anak perempuannya yang bernasib malang itupun hanya hidup untuk Sin Wan saja, dan boleh dikata sebagian besar dari dirinya telah ikut mati dengan suaminya.
Tentu saja soal mati bagi anak perempuannya yang malang itu bukan soal apa-apa.
Tapi Sin Wan masih muda, pengharapannya masih banyak dan luas.
Anak itu tidak boleh menjadi korban begitu saja, dan jika Suma cian-bu datang, ia tidak dapat tanggung tentang keselamatan Sin Wan.
Walaupun ia tahu bahwa anak itu telah memiliki kepandaian yang lumayan juga, namun keenam lawan yang mendatangi itu terlampau lihai.
Kemudian Kang-lam Ciu-hiap dengan diam-diam mengadakan perundingan dengan anaknya.
Setelah dijelaskan tentang bahaya yang dapat mengancam jiwa Sin Wan, nyonya muda itu menjadi gugup.
"Ketahuilah, anakku.
Kalau kaki tangan Kaisar mengetahui bahwa Sin Wan adalah putera tunggal suamimu, maka jangan harap jiwa puteramu akan tertolong.
Mereka itu tentu berebut membuat pahala dan sedapat mungkin hendak menawan Sin Wan pula, hidup atau mati!" Maka lalu diambil keputusan oleh kedua orang itu untuk menyuruh Sin Wan pergi dari situ untuk sementara waktu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibunya memanggilnya dan ketika Sin Wan menghadap, ternyata di situ sudah tampak engkongnya sedang minum arak.
Sepagi itu sudah minum arak, sungguh kuat sekali engkongnya itu, demikian Sin Wan berpikir menghampiri.
"Sin Wan, kau masih ingat kepada keluarga Kwie di balik gunung itu?" tanya Kang-lam Ciuhiap kepadanya.
Sin Wan pandang kakeknya dengan tajam dan heran, dan ia mencoba membaca isi hati kakeknya itu.
"Tentu saja aku masih ingat, engkong." "Mereka itu ramah tamah dan baik hati sekali, ya?" Sin Wan mengangguk.
"Katanya ada juga seorang anak gadisnya yang cantik, benarkah Sin Wan?" tanya ibunya.
Sin Wan makin heran dan dadanya berdebar, tapi dengan menindas perasaannya ia menjawab.
"Setahuku Kwie-pekhu hanya mempunyai seorang anak perempuan namanya Giok Ciu." "Bagaimana pendapatmu tentang anak perempuan itu, Sin Wan?" dengan cepat ibunya bertanya hingga anak muda itu cepat memandang ibunya.
"Apakah maksudmu, ibu? Ia pandai silat, berwatak baik, dan pandai masak." Ibunya tersenyum dan Ciu-hiap tertawa bergelak.
"Sin Wan, karena mereka itu baik sekali dan masih tetangga dengan kita, yakni karena kita masih tinggal di satu gunung, maka untuk menyambut hari raya ini kita harus mengantar apa-apa kepada mereka.
Aku sudah sediakan sedikit kue-kue dan sutera simpananku di dalam bungkusan itu, kau antarlah bungkusan ini kepada mereka sekarang juga." Sin Wan memandang ke atas meja di depan kakeknya dimana memang terdapat sebuah bungkusan besar.
Kemudian ia memandang kakeknya dan berkata dengan sangsi, "Tapi, ngkong.
Perlu sekalikah itu? Apakah tenagaku tidak diperlukan disini? Aku harus menjaga keselamatan ibu." "Aku cukup kuat untuk menjaganya, Sin Wan." "Dan kalau musuh-musuh itu datang aku dapat membantumu, ngkong." "Aah, musuh-musuh macam itu saja? Tak perlu, Sin Wan." "Tapi, ngkong, kalau Suma cian-bu dan Ngo-sinto ikut datang?" "Ha, ha ! Mereka boleh datang, dengan batang suling dan kepalan akan kuhancurkan kepala mereka seorang demi seorang!" "Tapi, bukankah kemarin kau katakan bahwa mereka itu tangguh sekali?" "Aku kemarin hanya membohong." "Tapi..
tapi.
Aku khawatir, ngkong." Kakeknya berdiri serentak dan membentaknya," Sin Wan! Tidak percayakah kau kepada Kang-lam Ciuhiap? Tidak taatkah kau kepada engkong dan gurumu?" Melihat sikap kakeknya Sin Wan tak berani membantah lagi.
Ia mengambil bungkusan kain itu dari atas meja, lalu menghampiri ibunya dan memegang tangan ibunya dengan rasa sayang, "Ibu, jaga baik-baik dirimu, ya? Aku akan segera kembali, kalau mungkin sore nanti juga aku sudah kembali." "Sin Wan, sampaikan salamku kepada Kwie Cu Ek, dan engkau jangan sampai memalukan kami dengan berlaku kurang sopan.
Jika mereka minta kau bermalam disana, biarpun hanya untuk semalam, kau harus menerima dan jangan kukuh menampik hingga mereka akan menyangka bahwa kau sombong dan tidak ramah tamah." Setelah sekali lagi memandang ibunya dengan mesra, pemuda itu lalu berangkat meninggalkan rumahnya dengan lari secepat mungkin agar ia segera sampai di tempat tujuan dan segera kembali.
Dulu ketika ia dan kakeknya pulang dari rumah keluarga Kwie, mereka gunakan waktu hampir sehari penuh.
Tapi sekarang ilmu larinya telah maju berlipat ganda hingga ketika matahari telah naik sampai tepat di atas kepalanya ia telah sampai di rumah Giok Ciu.
Hati Sin Wan berdebar keras ketika ia melihat seorang gadis berbaju merah muda dan bercelanaa biru berdiri di depan rumah sambil mengambil baju yang dijemur disitu.
Ia segera mengenal gadis itu yang bukan lain ialah Giok Ciu adanya! Biarpun gadis itu sedang berdiri membelakanginya, tapi ia tidak lupa melihat potongan badan gadis itu.