"Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,! jawab Cin Liong.
"Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).!
"Tapi.... bagaianana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!!
"Tapi, bibi....! Cin Liong hendak mencegah. Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?
Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat ketika ia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.
"Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang akan berani mencegah aku keluar!!
Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.
"Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggungjawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.! Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.
"Tapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!! Suma Ciang Bun mencela.
"Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!!
"Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkau lah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!! Suma Ceng Liong juga mencela.Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu.
Dia sendiripun tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu. Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena diapun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimanapun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.
"Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,! kata Cin Liong dan tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.
Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang mada itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikitpun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorangpun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.
Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali daripada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.
"Mari kita cari di dalam!! Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali. Setelah kini berada di luar, ialah yang menjadi pemimpin. Bagaimanapun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.
Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan iapun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi. Keadaan dalam ruangan itu begitu sunyi, kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.
"Nenek Nirahai....!! Tiba-tiba Suma Hui menjerit dan dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis. Melihat encinya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tidak dapat menahan tangisnya. Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar.
Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras. Cin Liong hanya menundukkan mukanya, diam-diam diapun merasa terharu dan menyesal mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.
Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.
"Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku? Di mana kegagahan kong-kong....?!
Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerakpun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih. Ciang Bun merangkul encinya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.
"Enci.... jangan menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....! keluhnya.
Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata.
"Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!!
Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong.
"Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!! Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.
"Enci....!! Ciang Bun menegur.
"Enci Hui....!! Ceng Liong juga menegur.
Akan tetapi Cin Liong yang tadinya mengangkat muka memandang gadis itu, kini menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu. Biarpun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membencinya, namun dia tahu bahwa semua itu timbul karena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua orang neneknya.
"Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiripun merasa menyesal harus meninggalkan medan perkelahian, akan tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?! katanya perlahan.
"Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami, akan tetapi perintah itu membuat kita semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu, kenapa engkau mentaatinya secara membuta saja?! Suma Hui membentak.
"Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang mengandung kebenaran dan kecerdasan.!
"Melarikan diri dari musuh kau anggap benar dan cerdas? Cin Liong, katanya engkau ini seorang jenderal perang, kenapa berpendapat demikian? Pendapat macam apakah itu?!
"Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nirahai adalah seorang panglima besar dan aku sendiri sedikit banyak pernah mempelajari ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak pengecut.