Dan akibatnya memang hebat sekali. Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan dihantamkan, melainkan ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih duduk bersila dengan tenang.
Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.
"Trakkkk....!! Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti mengusir kepeningan. Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya terengah-engah. Dia merasa penasaran sekali.
Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang, tentu ada yang melebihinya. Akan tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak seperti meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran. Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini?
Demikian rendahkah tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadahinya seperti itu? Dia tidak percaya! Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalahpun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mudah!
Akan tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggiman tenaga lemas saja. Siapa yang takkan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.
"Siuuuutttt.... darrrr....!! Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar!
Pendekar Super Sakti nampak tubuhnya bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya lirih.
"Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....!
Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sin-kang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.
Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa serem akan tetapi karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.
"Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihat mereka muncul!! Dan kipasnya mengebut-ngebut makin keras lagi. Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam bermunculan, bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.
"Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!! terdengar Suma Han menjawab halus dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap. Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walaupun kakinya hanya sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar suara-suara aneh seperti orang membaca mantram dalam bahasa asing. Dan bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu. Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.
Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang berbentuk Suma Han itu "bersilat! atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan lengan-lengan berbulu, seperti anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.
Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan mantramnya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu makin mengecil dan akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!
"Krekkk....!! Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.
"Hek-i Mo-ong, pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa semua kawanmu yang tewas maupun terluka,! terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.
Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri. Sejenak Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan sikap angkuh dan menghardik.
"Mari kita pergi!!
Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali, cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para teman mereka dan akhirnya, mereka pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita kekalahan besar.
Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat nemang tenaga Hek-I Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah! Dia memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik.
"Tak kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu....! Dan diapun kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening....
Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang dilakukan Cin Liong tadi. Begitu simnan, ia mengeluh lirih dan mengejap-ngejapkan mata. Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lantai dalam ruangan yang remang-remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan Ceng Liong duduk bersila di sebelah kirinya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah kanannya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali bergerak, dara ini telah bangkit berdiri.
"Apa yang telah terjadi....? Ah.... engkau .... engkau telah menotokku dengan curang!! Suma Hui teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan. Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.
"Plak! Plak! Plak! Plak!! Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tidak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.
"Enci, jangan....!! Ciang Bun memegang lengan kanan encinya.
"Enci Hui, jangan pukul dia!! Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.
"Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!!
"Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,! kata Ciang Bun.
"Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!! Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu. Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andaikata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut.
Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebatnya! Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, melainkan hanya sebagai peluapan amarahnya saja. Kalau dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapapun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak maupun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sin-kang.
Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi dan melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.
"Baiklah....! akhirnya Suma Hui berkata.
"aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?! Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.