Kisah Pendekar Bongkok Chapter 31

NIC

"Apa?"

Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak.

"Bukan takut kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orangpun tidak akan habis, hanya ingat akan mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut.... aku takut mati...."

"Hemm, engkau takut mati, kek?"

Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah Bi Sian.

"Apa kau tidak takut mati?"

Anak perempuan itu menggeleng kepala, pandang matanya jujur terbuka tidak pura-pura.

"Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau kematian, kita kan tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Kenapa takut kepada sesuatu yang tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!"

Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian.

"Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...."

Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek jembel yang memiliki ilmu kesaktian ini agaknya memang benar-benar sinting!

"Wah, jangan gitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sepatutnya aku yang berlutut? Bangkitlah dan biarkan aku yang berlutut memberi hormat kepadamu."

"Tidak! Tidak!"

Koay Tojin bersikeras.

"Sebelum engkau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!"

Bi Sian seorang anak berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Ia seorang anak yang masih belum dewasa, masih bocah. Akan tetapi justeru kepolosannya itulah yang membuat ia berpemandangan polos dan sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.

"Gampang saja, kek. Jangan pikirkan tentang mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau tidak akan pusing, tidak akan takut!"

Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan, akan tetapi dasar kakek itu sinting, dia menerimanya dan "mengolahnya"

Di dalam benaknya.

"Jangan pikirkan.... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja, apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsanpun tidak pernah takut, apalagi orang mati, sudah tidak bisa takut lagi! Jangan pikirkan....!"

"Ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!"

Dan diapun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh turun, ditangkap dan dilemparkan lagi, makin lama semakin tinggi. Mula-mula Bi Sian agak merasa ngeri juga, akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya disambut dengan cekatan dan lunak, iapun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini. Kalau tubuhnya dilempar ke atas, ia merasa seperti menjadi seekor burung yang terbang tinggi, maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya agar kalau dilempar ke atas, kepalanya berada di atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di bawah.

"Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!"

Berkali-kali ia berteriak dengan gembira dan kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut, bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi!

Benar-benar muridnya itu tidak berbohong dan tidak takut mati! Maka diapun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi. Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Makin tinggi lemparan itu, membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan. Akan tetapi, betatapun saktinya, Koay Tojin adalah seorang kakek tua renta yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, maka permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat dia merasa lelah. Tiba-tiba dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke bawah.

"Heiii....!"

Bi Sian berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk! Koay Tojin yang sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.

"Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?"

"Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?"

Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya.

"Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!"

Kakek itu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.

"Suhu nakal."

"Suhu....? Siapa suhu (guru)?"

Bi Sian memandang wajah kakek itu.

"Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?"

"O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku nakal?"

"Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon."

Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu.

"Ah, tidak apa-ana. Engkau harus biasa hidup di atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau."

Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri.

"Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?"

"Wah, sudah sering!"

"Bagaimana rasanya, suhu?"

"Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, di depan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!"

"Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?"

"Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguan itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!"

Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu.

"Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!"

Tentu saja Bi Sian menjadi bingung.

"Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!"

Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.

"Pertahankan keadaan begini sekuatmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata."

"Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?"

"Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!"

Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan presis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.

"Nah, sekarang katakan siapa namamu!"

"Namaku Yaw Bi Sian, suhu."

"Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu."

"Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya."

"Benar, hayo lekas berlutut di depanku!"

"Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?"

"Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!"

Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi. Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.

"Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!"

Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit.

"Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!"

Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh.

"Heh-heh-heh, engkau ini presis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?"

"Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru murid kalau bukan gurunya?"

"Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?"

"Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut...."

"....sampai dunia kiamat!"

Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhunya sudah menular padanya?

"Katakan apa tuntutanmu!"

"Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku."

"Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku."

"Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku."

Posting Komentar