"Eh, kenapa mereka menutup pintu? Takutkah mereka?" Tanya Bu Beng.
"Tidak mungkin mereka demikian pengecut!" seru Lui Im keras-keras dengan sengaja agar dapat terdengar dari balik tembok.
Tiba-tiba Bu Beng memperingatkan.
"Awas senjata gelap!" tapi Lui Im dapat mendengar juga suara angin menyambar kearah mereka.
Ia meloncat dan tiga batang piauw menyambar lewat.
Bu Beng mengulurkan kedua tangannya menangkap dua batang pelor yang menyambar kearahnya.
"Ha, ha, ha! Lui Im! kau berani datang mencari mampus! Masuklah kalau kau dapat dan berani." Terdengar suara Tan Tek Seng menertawakan mereka dari atas tembok.
"Orang she Tan pengecut! Biar kukejar sampai dimana juga!" teriak Lui Im dengan marah dan ia siap meloncat keatas, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Bu Beng.
Lui Im merasakan pegangan itu kuat sekali hingga tak mungkin baginya untuk melepaskan diri dan meloncat.
"Sabar, Lui Lo-Enghiong biarlah siauwte yang naik dulu untuk melihat suasana.
Aku khawatir mereka memasang jebakan diatas, sebagaimana yang telah mereka lakukan dengan mengirim senjata gelap tadi." Sebelum Lui Im dapat menjawab, anak muda itu mengayunkan tubuhnya dan melayang keatas tembok.
Bagi orang lain, biarpun ia mempunyai kepandaian tinggi, jika meloncat tembok itu tentu sesampainya diatas akan berpegangan kepada besi runcing.
Tapi Bu Beng mempunyai ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang sempurna dan gerakannya gesit sekali.
Maka dengan sengaja ia perkeras loncatannya hingga tubuhnya melayang keatas besi-besi itu dan menginjakkan kedua kakinya diujung besi! Tubuhnya dengan tetap dan ringan bagaikan seekor burung berdiri diatas besi itu sambil memandang kebawah dengan tajam.
Benar saja, dari bawah menyambar beberapa belas piauw dan pelor besi kearahnya.
Secepat kilat Bu Beng mencabut pedang pendek wee liong kiam dari punggungnya dan memutarnya untuk melindungi tubuh.
Semua senjata rahasia itu terpental kembali dengan suara berderincingan.
Maka pemuda yang tajam itu melihat beberapa bayangan tubuh di bawah tembok.
Ia segera mengayunkan tangannya dan melepaskan dua buah pelor yang tadi disautnya ketika ia mula-mula mendapat serangan.
Terdengar suara teriakan orang kesakitan dibawah tembok.
"Tan Pangcu! Ang Hwat Tojin! Tidakkah sambutan ini sangat memalukan dan bukan perbuatan orang-orang gagah? Atau kalian takut kepada Lui Pangcu?" seru Bu Beng dari atas.
"Orang gagah Dari mana yang datang ini.
turunlah dan bawa orang she Mui itu masuk.
Kami ingin memandang mukamu dan mempersilakan kamu masuk," terdengar suara Tan Tek Seng.
Bu Beng segera memberi isyarat kepada Lui Im yang masih berdiri dibawah.
Lui Im menggerakkan kakinya dan meloncat keatas.
Ia tidak berani meniru perbuatan dan gerakan Bu Beng tadi, tapi menggunakan tangan kirinya memegang sebuah besi untuk menahan tubuhnya.
Kemudian dengan Bu Beng mendahuluinya, mereka turun ke dalam.
Mereka disambut oleh tiga orang yang berdiri di tengah-tengah lapangan.
Di sekitarlapangan itu ditaruh obor yang membuat tempat itu terang sekali bagaikan siang.
Di belakang obor-obor itu berdiri berpuluh orang dengan pakaian ringkas dan senjata di pinggang merupakan barisan.
Keadaan mereka kelihatan perkasa sekali dan rupa-rupanya mereka telah melakukan persiapan sejak tadi.
Tan Tek Seng yang bertubuh gemuk pendek melangkah maju, dan menjuru kepada Lui Im.
"Lui Pangcu.
Sungguh beruntung hari ini aku dapat bertemu kembali dengan kau dalam keadaan sehat." "Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau, Tan Pangcu.
Bukankah kau adalah pecundangku? Aku datang menagih janji dan memenuhi undangan Ang Hwat Tojin." Ia melirik kearah orang pendeta kurus tinggi yang memegang kebutan putih berdiri tenang sambil memandang kearah tamu-tamu itu dengan acuh tak acuh.
"Siancai, siancai!" pendeta itu berkata dengan lagak seorang alim.
"Rupanya Lui Pangcu mendapat bantuan orang pandai hingga berani berlagak setelah pinto ampuni jiwanya." "Hm, pendeta jahat! Selama hidupku belum pernah bermusuhan dengan orang seperti kau.
Tapi mengapa kau berani-berani mencampuri urusan kami tanpa mengetahui duduk perkaranya? Apakah ini pantas disebut perbuatan seorang yang mencucikan diri dan telah memakai jubah pendeta? Kau bilang aku membawa teman, memang betul, tapi siapakah yang melanggar perjanjian lebih dahulu? Aku datang seorang diri di hutan malam tadi, tapi ternyata Tan Pangcu diam-diam mengundang kau.
Sekarang aku datang membawa seorang kawanku, bukankah ini cukup adil?" "Orang she Lui! Jangan kau lancing mulut menyebut-nyebut tentang kedudukanku.
Kau sudah nyata bukan tandinganku, apakah kau mencari mampus? Tentang kawanmu, janganlah hanya seorang, biar kau bawa beberapa orang lagi, aku tidak ambil pusing.
Jangan kira kami takaut padamu dan pada kawan-kawanmu," jawab Ang Hwat Tojin sambil menuding-nudingkan kebutannya.
"Lui Lo-Enghiong," kata Bu Beng dengan suara mengandung ejekan, "Mereka bilang tidak takut kepada kita yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi lihatlah dia itu, bukankah dia itu agaknya orang yang siang tadi mereka cari untuk diminta bantuannya?" Lui Im memandang kearah orang yang dituding pemuda itu dan melihat seorang kate yang berpakaian seperti pengemis sambil memegang tongkat.
Oran itu duduk diatas tanah dengan tak acuh sama sekali tentang pembicaraan mereka, tapi hanya menggunakan tongkatnya menggaris-garis tanah.
Bu Beng tertarik sekali oleh goresan tongkat itu karena biarpun hanya ditekan lemah tapi goresannya dalam sekali menunjukkan adanya tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Ia jadi memperhatikan apa yang dituliskan oleh si kate itu.
Ternyata dibaris pertama adalah ujar-ujar nabi Khong Hu Cu yang berbunyi
"Su Hai Lwee Kai Heng Tee Ya" yang artinya, "Di empat penjuru lautan semua orang adalah saudara," lalu dibawah kedua disambung ujar-ujar lain yang berbunyi.
"Janganlah kau lakukan kepada orang lain sesuatu yang kau sendiri tidak mau dilakukan oleh orang lain kepadamu." Orang kate itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya terdapat banyak uban dan awut-awutan tak terurus.
Mukanya kotor penuh daki dan wajahnya menunjukkan watak sembarangan dan tidak pedulian, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam berpengaruh yang tertutup oleh pelupuk mata yang selalu tampak seperti orang mengantuk.
Bu Beng diam-diam herean dan menduga-duga siapakah pengemis tua yang luar biasa ini.
Sementara itu, mendengar ejekan Bu Beng, ANg Hwat Tojin menjadi malu dan mukanya berubah merah.
Ia kibas-kibaskan kebutannya dan berkata.
"Sudahlah jangan banyak mengobrol kata-kata busuk yang tak berharga.
Sekarang kalian sebagai tamu yang sudah datang maka kami sebagai tuan rumah hendak bertanya apakah kehendak kalian? Apakah kau masih sakit hati dan hendak mengadu tenaga dengan pinto, orang she Lui?" ia menantang sikapnya sombong dan memandang rendah.
Bu Beng mewakili Lui Im menjawab, "Ang Hwat Tojin maafkan aku yang muda ikut bicara.
Kalau dipikir dalam dalam kau sebenarnya tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Lui Im.
Maka, jika kiranya Tan Pangcu masih belum puas, ia boleh ada tenaga dengan Lui Pangcu.
Tetapi sebenarnya menurut pikiranku yang bodoh, tak perlu permusuhan ini dilanjutkan berlarut-larut, mengingat bahwa kedua-duanya adalah ketua dari perkumpulan besar yang seharusnya dapat memberi teladan baik bagi semua anggotanya dan mejauhi pertikaian yang tiada guna.
Adapun kau sendiri karena kau menjadi orang undangan Tan Pangcu, jika kau hendak main-main, sudah terang bahwa Lui Pangcu bukan tandinganmu.
Bukannya aku yang muda mau berlaku sombong, tapi kasihan kalau Lui Pangcu yan sudah tua itu harus menjadi korban totokanmu lagi, biarlah ia kuwakili denan tubuhku yang lebih muda." "Sudah kusangka, sudah kusangka.
Lui Im takkan berani datang kesini kalau tidak ada orang yang diandalkan.
Tentu kau mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada orang she Lui itu.
Nah, majulah, majulah anak muda biar kita main-main sebentar." Bu Beng maju dua langkah dan setelah menjuru kepada lawannya, ia mencabut pedang pendeknya dari punggung.
Ang Hwat Tojin melihat pedang itu menjadi kaget dan berseru, "Tahan dulu! siapakah namamu?" "Orang sebut aku Bu Beng." "Bu Beng Kiam Hiap? Kau kah ini? ha, ha, ha! ini namanya ular dicari-cari kemana-mana tidak terdapat, tahu-tahu ular itu merayap kearah kaki! Hm, jadi kau kah yang telah membinasakan suteku dan merampas pedangnya? Hayo kembalikan Hwe hong kiam itu padaku!" Bu Beng memutar-mutar pedang pendeknya dan tersenyum.
"Gampang saja kau mau minta pedang ini.
jadi kau ini suheng dari Kong Bouw? sungguh heran, seorang pendeta mempunyai sute kepala penjahat yang kejam dan ganas! Ketahuilah, Ang Hwat Tojin, sutemu biarpun mati di tanganku tapi sebenarnya ia mati karena kejahatan dan dosanya sendiri.
Kalau ia tidak jahat dan penuh dosa, masakan dia dapat bertempur dengan aku? Dan kalau tidak bertempur dengan aku, masakan dia dapat tewas? Tenang Hwe hong kiam ini, aku dapatkan setelah bertempur mati-matian dikeroyok oleh Kong Bouw dan komplotannya.
Maka sekarang, kalau kau hendak memilikinya, ambillah dari tanganku.
Pedang ini tidak pantas dimiliki untuk melakukan kejahatan.
Sudah cukup pedang ini menderita karena siraman darah orang-orang yang tidak berdosa, kini aku harus mencuci segala noda itu dengan darah orang-orang jahat yang layak menjadi korbannya." Bukan main marahnya Ang Hwat Tojin mendengar uraian itu.
Ia menggerakkan tangan kanan mencabut pedang yang terselip di punggungnya.
Kemudian sambil menggeram keras ia maju menyerang.
Bu Beng berlaku hati-hati karena dulu ia telah bertanding dengan Kong Bouw yang ternyata ilmu silatnya hebat juga.
Kini berhadapan dengan suheng kepala penjahat itu, ia harus berhati-hati kareena tentu saja suhengnya lebih hebat daripada sutenya.