Jago Pedang Tak Bernama Chapter 15

NIC

Telah lama perkumpulannya menanam bibit permusuhan dengan perkumpulan Hong bu pang yang berada di kota itu juga.

Permusuhan itu sebenarnya dibangkitkan oleh soal yang kecil saja.

Mula-mula terjadi perkelahian pribadi antara seorang anggota perkupulan Cung lim pang dan seorang anggota Hong bu pang.

Tentu saja rasa setia kawan dari masing-masing pihak mudah saja terbakar oleh perkelahian ini dan rasa permusuhan menjalar begitu dalam hingga Lui Im sendiri dan ketua Hong bu pang yang bernama Tan tek Seng seorang jagoan cabang atas, ikut-ikut terseret.

Kedua jago tua ini sebenarnya memiliki kepandaian tinggi dan mempunyai kesabaran yang besar, tapi desakan api permusuhan yang dikobarkan oleh anak buah masing-masing demikian besar hingga pada suatu hari kedua jago-jago tua itu bertemu untuk mengadu tenaga.! Dalam perkelahian yang hebat itu Tan Tek Seng dapat dikalahkan oleh Lui Im.

Tentu saja kekalahan ini tidak ditelan mentah-menatah oleh Pangcu dari Hong bu pang itu.

Ia menaruh dendam hati yang ditahan-tahan.

Beberapa bulan kemudian.

Lui Im menerima surat tantangan dari Tan Tek Seng untuk mengadu tenaga di hutan Hek san lim di luar kota.

Dalam surat itu disebutkan bahwa masing-masing tidak boleh membawa teman.

Lui Im adalah seorang jagoan tua yang gagah berani.

Menerima surat itu, walaupun dalam hatinya terbit curiga, namun ia merasa malu jika ia tidak berani datang ke hutan itu seorang diri.

Demikianlah, pada hari itu ia pergi seorang diri ke hutan tersebut.

Di tengah hutan telah menanti Tan Tek Seng, tapi Pangcu yang licik itu ternyata tidak datang seorang diri.

Ia mempunyai seorang kawan yang disembunyikan.

Maka, ketiak mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba daja muncul seorang pendeta memelihara rambut panjang memisahkan mereka dan pura-pura menanya persoalan mereka.

Sebenarnya imam itu adalah orang bawaan Tan Tek Seng.

Untuk membuktikan bahwa Tan Tek Seng datang seorang diri, maka imam itu diminta datang belakangan.

Dalam keputusan dan pengadilan yang berat sebelah Lui Im menjadi marah dan akhirnya ia bertarung dengan imam itu yang mengaku bernama Ang Hwat Tojin.

Ternyata imam itu hebat sekali hingga akhirnya Lui Im kena totok roboh dan tak berdaya.

Tahu-tahu ia telah dibawa oleh lawannya kedalam pondok itu, sedangkan kedua lawannya makan minum hidangan yang telah disediakan dalam pondok.

Dalam keadaan tidak berdaya inilah Lui Im dapat menangkap pembicaraan mereka dan tahu bahwa Ang Hwat Tojin memang sengaja diundang oleh Tan Tek Seng untuk menjatuhkannya.

Sehabis bercerita.

Lui Im menghela napas lagi.

"Bu Beng hiante, mereka sangat menghinaku.

Ketika hendak pergi, imam itu berkata bahwa jika aku hendak menuntut balas aku boleh datang ke rumah Tan Tek Seng Pangcu karena ia akan berdiam disana selama satu bulan.

Sungguh sakit sekali hatiku.

Biarpun aku harus mengakui bahwa ia lebih unggul dariku, tapi aku lebih baik mati daripada menerima hinaan ini.

sekarang juag aku harus pergi kesana mengadu tenaga!" Sambil mengucapkan kata-kata ini, Lui Im berdiri dan dengan tangan mengepal ia kertakan gigi, kedua matanya bersinar menyala-nyala.

Bu Beng juga merasa panas akan kecurangan Tan Pangcu.

Lebih-lebih jika diingat bahwa Lui Im adalah sahabat baik suhengnya, Kim Kong Tianglo.

Sebelum ia berkata sesuatu, Lui Im berkata lagi dengan suara sedih.

"Ah sayang sekali, kalau saja sahabatku Kim Kong Tianglo berada disini, belum tentu aku yang tua ini sampai terhina demikian rupa!" Bu Beng merasa akan sindiran ini, ia maklum bahwa bagaimanapun juga, Lui Im tidak percaya bahwa ia cukup kuat untuk membelanya.

Maka dengan tenang ia berkata.

"Lo-Enghiong, aku sebagai sute dari Kim Kong Tianglo, mana dapat berpeluk tangan melihat saja semua kejadian ini? maka jika kau sudi menerimanya, aku tawarkan tenagaku yang tak beranti ini untuk mewakili suhengku membantumu dalam persoalan ini." Lui Im berdiri dengan wajah girang.

"Terima kasih hiante, terima kasih.

Kalau kau suka membantu, pasti sakit hatiku ini dapat dicuci bersih." "Jangan terlalu berbesar harap, Lo-Enghiong, tapi aku akan bekerja sekuat tenaga.

Bilakah kita akan kesana?" "Mari kita makan dulu, hiante.

Bangsat-bangsat itu sengaja meninggalkan makanan diatas meja agar aku merasa sengsara dan menderita.

Mari kita beristirahat dulu semalam ini.

besok pagi=pagi kita berangkat." Keduanya lalu makan dan Bu Beng yang telah merasa lapar sekali makan dengan lahapnya.

Kemudian mereka mengaso dalam kamar itu dimana terdapat sebuah tempat tidur bata.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka berangkat dan langsung manuju ke kampung Hong bu pang.

Perkampungan itu terdiri dari beberapa petak rumah yang semuanya milik anggota-anggota perkumpulan itu.

Kampung itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang dipasang besi-besi runcing diatasnya.

Empat pintu besar di tiap penjuru dibuka lebar-lebar dan beberapa gerobak hilir mudik melaluinya.

Pintu itu masing-masing dijaga oleh enam orang bersenjata tombak dan golok.

Sikap mereka galak dan angkuh.

Lui Im dan Bu Beng menghampiri pintu selatan.

Mereka dihentikan oleh penjaga-penjaga disitu dan ditanya keperluan mereka.

"Kami berdua hendak menjumpai Tan pangsu." Ketika penjaga-penjaga itu mendengar bahwa yang datang adalah Pangcu dari Cung lim pang, berubahlah wajah mereka dan dua orang diantaranya segera lari masuk memberi laporan.

Tak lama kemudian, dari dalam perkampungan kecil itu keluar orang setengah tua yang bertubuh tegap dengan tindakan kaki tetap, menandakan bahwa ia adalah seorang ahli silat.

Ketika melihat Lui Im, ia menjuru dengan hormat.

"Maafkan, Lui Pangcu, Pangcu kami kebetulan sedang keluar kampung.

Tapi ia tadi memberi pesan padaku, bahwa jika ada orang datang mencarinya, diminta agar kembali lagi malam nanti." Lui Im kenal bahwa yang datang itu adalah seorang jagoan di Hong bu pang yang bernama A Liat si Angin Ribut.

Maka ia balas menjuru dan berkata kecewa.

"Ah, sayang sekali.

Sebenarnya aku datang memenuhi undangan Ang Hwat Tojin." "Ang Hwat Tojin juga keluar bersama-sama Pangcu.

Sebaiknya Lui Im Pangcu kembali saja malam nanti." Ketika berkata demikian A Liat mengerling kearah Bu Beng sambil mengamat-amati, seakan-akan sedang mengukur-ukur kekuatan orang itu.

Ketika itu Lui Im duduk diatas sebuah bangku yang terdapat ditempat jaga itu dan melihat Bu Beng berdiri saja, si Angin Ribut segera menghampiri bangku batu di sudut dan dengan sekali congkel dengan kaki bangku itu melayang keatas dan diterima olehnya seakan-akan bangku batu yang beratnya ada seratus kati itu hanya merupakan bangku bamboo saja.

Kemudian ia membawa bangku itu kepada Bu Beng dan berkata.

"Silakan duduk, tuan muda," ucapan "tuan muda" ini mengandung sindiran, karena Bu Beng yang ketika itu belum mengganti pakaian kuning penuh tambalan sesungguhnya sebutan "tuan muda" itu tidak pantas dan menggelikan.

Bu Beng maklum bahwa orang itu sedang menunjukkan kekuatan tenaganya.

Maka ia pura-pura kaget dan termangu.

"Ah, tenaga tuan sungguh mengkagumkan! Terima kasih!" kemudian ia duduk di bangku batu yang tebal itu, tapi diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya dan "krak!" kaki bangku itu patah menjadi empat.

"Sayang bangkumu lapuk sekali, tuan," kata Bu Beng tersenyum dan berdiri tegak.

Bukan main kaget A Liat melihat hal ini.

diam-diam ia kagum sekali, maka ia menjuru dan berkata, "Maaf." "Nah, kalau begitu, biarlah kami kembali malam nanti pada kentungan sembilan kali.

Katakanlah kepada Pangcumu agar ia bersikap demikian pula kepada Ang Hwat Tojin," kata Lui Im yang segera mengajak Bu Beng pergi.

Mereka berdua lalu menuju ke kampung Lui Im.

Semua anggota perkumpulan Cung Lim pang yang tadinya telah merasa cemas dan khawatir karena Pangcu mereka semalam tidak pulang, kini menjadi girang melihat Pangcu mereka kembali dalam keadaaan sehat.

Istri Lui Im dan Kui hwa anak gadisnya menyambut kedatangan mereka dengan ramah tamah.

Lui Im membuat perjamuan untuk menghormati tamunya.

Ketika mendengar bahwa anak muda yang berpakaian kuning penuh tambalan itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo yang mereka kenal baik, nyonya Lui Im makin manis sikapnya dan lebih-lebih Kui hwa.

Lui Im merasa gembira sekali, karena ia yakin bahwa Bu Beng pasti dapat membersihkan namanya.

Maka ia makan minum sepuas-puasnya sampai mabuk.

Di tengah-tengah perjamuan ia berkata kepada tamunya.

"Bu Beng hiante, maafkan kalau aku berlaku lancing.

Berapakah usia hiante tahun ini dan apakah sudah mempunyai hujin?" Merah wajah Bu Beng mendengar pertanyaan ini.

karena pertanyaan dari seorang yang mempunyai anak gadis yang diajukan seperti ini bukannya tak mengandung arti.

Maka dengan malu-malu ia berkata.

"Siauwte berusia dua puluh enam tahun dan belum kawin, tapi..." Ia menyambung cepat, "siauwte sudah bertunangan." Biarpun ditahan-tahan, nampak juga kekecewaan menggores wajah Lui Im.

"Siapakah nona tunanganmu itum hiante?" "Ia adalah puteri dari mendiang Lui Pa San Lo-Enghiong." Katanya dan tiba-tiba ia teringat akan penyakit yang diderita Cin Eng hingga tak terasa menghela napas.

Demikianlah, hari itu mereka lewati dengan makan minum dan bercakap-cakap.

Lui Im suka sekali kepada pemuda yang bersikap sopan dan pandai membawa diri itu.

Bu Beng mendapat sebuah kamar istimewa dan ketika ia dipersilakan mengaso, ia buka bungkusan pemberian Cin Eng.

Ternyata bungkusan itu berisi dua stel pakaian warna kuning yang masih baru dan sehelai selimut.

Bu Beng kagum sekali betapa cepatnya gadis pujaannya itu mempersiapkan pakaian untuknya.

Ah, tentu sepulangnya dari hutan itu, tunangannya terus menjahit hingga pagi! Ia lepaskan pakaiannya yang lapuk dan mengenakan pakaian baru itu.

Ternyata pas benar! Ia makin kagum kepada kekasihnya.

Kemudian ia berbaring dan tidur.

Pada kira-kira pukul tujuh malam, ia jaga dari tidurnya dan terus duduk bersemedhi menentramkan semangat karena ia harus menghadapi kemungkinan bertempur melawan orang-orang lihai.

Beberapa jan kemudian terdengar panggilan Lui Im perlahan.

Bu Beng yang sudah siap lalu membuka pintu.

Orang tua itu telah berpakaian ringkas dan pinggangnya tergantung goloknya.

Ia nampak gagah dan sigap.

"Sudah siap, hiante?" tanyanya perlahan.

"Sudah, marilah." Ternyata Lui Im tidak memberitahukan persoalannya kepada anak istrinya agar mereka jangan merasa khawatir.

Maka diam-diam kedua orang itu meninggalkan kampung dan menuju kearah Hong bu pang.

Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang Hong bu pang, ternyata pintu itu tertutup rapat.

Bu Beng mencoba mendorongnya, tapi pintu itu terbuat daripada besi tebal dan terkunci dari dalam, kuat sekali.

Posting Komentar