Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta adan kagum kepada Cin Eng.
Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar-benar sebatang kara di dunia ini.
Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabikan mata perkabungannya atas kematian ayahnya.
Pesta kecil itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamar masing-masing.
Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa persta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidusr bersama suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri membawa sulingnya.
Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng.
Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu.
"Nona, kalau suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari hawa sejuk di hutan." Cin Eng hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang bersedih.
Setelah tiba di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati sedih.
"Aku tak dapat kawin, tak mungkin..." keluhnya.
Tapi tiada seorangpun mendengar keluhan itu, hanya angin malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya itu.
"Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara.
Kalau Cin Eng menjadi isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku? Ah, tidak, kasihan kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini.
pula, aku belum tahu siapa orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati mereka.
Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini? tidak tidak." Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum simpul diantara gulungan awan.
Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang menjadi basah karena ruput.
Setelah duduk melamun beberapa lama, ia mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta perlindungan dan pembelaan Tuhan.
Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya, "Koko..." Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan hatinya, tak mndengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya.
Lambat laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti.
Kedua lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar.
"Koko..." suara ini terdengar halus dibarengi isak.
Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya.
Ia berdiri dan menengok ke belakang.
Di depannya berdiri Cin Eng yang dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari kayangan.
Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju.
"Moi-moi...
" katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala.
Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut "adik" pada gadis itu, tapi karena mendengar gadis itu menyebutnya "kanda", ia jadi berani merobah sebutan "nona" menjadi "dinda." "Adik Eng...
mengapa kaupun berada disini?" tanyanya halus.
"Aku...
aku...
mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?" Bu Beng menghela napas.
"Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?" "Tidak, koko.
Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa tak enak hati lalu menyusul disini..." "Duduklah adik Eng," kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang merupakan permadani indah dimalam terang bulan ini.
"Sebenarnya aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng," katanya dan ia lalu menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan.
Cin Eng mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri.! "Jadi itukah yang membuatmu sedih? Kukira..." "Kau kira apa, adikku?" "Kukira bahwa kau...
tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini..." Bu Beng menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng.
Gadis itu terkejut tapi ia tidak menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang merasa betapa tangan itu bergemetar.
"Jangan sangka yang tidak-tidak, adik Eng.
Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa, aku...
aku ..
suka sekali kepadamu..." Cin Eng hanya tundukkan kepala.
"Dan kau bagaimana adikku? Sukakah kau akan pilihan ibumu ini?" Cin Eng mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan kepala sambil berkata lemah.
"Koko, semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh kesopananmu.
Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala kehendak ibu, dan pilihan ibu...
Tentu saja aku setuju sekali..." "Apakah kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan menurut? Tanya Bu Beng.
Cin Eng gelengkan kepala keras-keras.
"Tidak! dalam hal ini biarpun ibu sendiri akan kutentang." "Kalau begitu kau suka padaku? Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat.
Cin Eng hanya tunduk.
"Entahlah..." kemudian ia berkata.
"Cin Eng adiku, bilanglah terus terang.
Cintakah kau padaku? Jawab saja dengan geleng atau angguk." Cin Eng mengangkat mukanya dan mengangguk.
"Betul betul kau cinta padaku? Ingat, aku seorang miskin.
Lihat saja bajuku, penuh tambalan.
Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi istriku,maka kau akan hidup serba kekurangan dan sengsara." Cin Eng pandang wajah Bu Beng dengan tajam.
"Koko, jangan kau berkata begitu.
Kau anggap aku ini gadis apa? Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu aku akan berbahagia!" Saking girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu tersentak dan jatuh bersandar kedadanya.
"Adikku yang jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa brusan aku merasa sedih sekali dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena takut kalau-kalau kau akan menjadi sengsara? Kini hatiku puas.
Aku menjadi berani, karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan yang bagaimana hebatpun." Cin Eng meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati memukul penuh kebahagiaan.
Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk alunan mesra.
Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita bersandar ke dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan dengan berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh keindahan, tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun.
Ia berdiri memandang Bu Beng dengan mata dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak.
"Tidak...! tidak...! Tidak mungkin...!" kemudian sebelum Bu Beng sadar dari terkejutnya gadis itu lari cepat masuk hutan.
"Adik Eng...
adik Eng...!" Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja gadis itu telah berada dalam pelukannya.
"Adikku sayang...
ada apa? Mengapa kau lari? Apa yang kau susahkan?" Cin Eng menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila.
Ia berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya.
"Adik Eng, kalau ada kesukaran, beritahulah aku.
Mari kita pecahkan bersama-sama." Tapi Cin Eng hanya geleng-geleng kepala dengan sedih.
Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya.
"Hm, agaknya ternyata bahwa kau tidak cinta padaku, ya? Memang lebih baik begitu aku orang miskin tak berharga.
Nah, aku takkan mencegah dan menahanmu.
Kau bebas, biar aku cinta sepenuh hati dan jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki tak kan gunakan kekerasan untuk memilikimu." Mata Cin Eng terbelalak, ia lalu menangis makin sedih.
"Tidak, koko, bukan demikian, kau salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri...
karena...
karena..." Bu Beng pegang pundaknya.
"Karena apa? Siapa yang melarang? katakanlah...
katakanlah!" "Tidak adayang melarang, koko...
tapi...
tapi...
Kalau kita kawin, maka...
itu berarti aku akan menjadi pembunuh...!" Bu Beng terkejut dan tak mengerti.
"Apa katamu? Pembunuh? Siapa yang akan kau bunuh?" "Aku akan menjadi pembunuh...
anakku...
Anak kita...!" Bu Beng makin heran.
Ia mulai bersangsi.
Gilakah gadis ini? "Cin Eng tenanglah.
Apa maksudmu? Aku tidak mengerti sama sekali.
Jelaskanlah dan bicaralah dengan tenang.
Kau kan wanita gagah? Mengapa begini lemah?" "Begini koko" kata Cin Eng setelah susut air matanya, "Sebenarnya aku...
aku mempunyai semacam penyakit dalam tubuh...
kata ayah dulu, akibat penyakitku ini walaupun tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam kandungan.
Anak yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak bernyawa lagi..." Bu Beng terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak karuan rasa.
"Tak dapatkah diobati?" Cin Eng menahan isaknya.
"Inilah soalnya yang sukar.
Inilah mengapa ibu inginkan mantu yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri.
Obat penyakit ini sukar sekali dicarinya.
Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan mempunyai mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari obat ini!" Bu Beng benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan putus asa.
"Dimana...
dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu...?" Cin Eng melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka buru-buru ia menerangkan.
"Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke tempat dimana terdapat ular macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan hampir saja ayah dan ibu terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu bersembunyi adalah sangat berbahaya.
Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi, mereka tak berdaya.
Maka, akhirnya kami putuss asa dan aku hidup mengandung kedukaan dan kecemasan.
Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang diterima lamarannya terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan yang kiranya cukup kuat untuk dapat mencari obat itu.
Bu Beng mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali.
Ia yakin bahwa ia tentu akan dapat mencari obat itu.
Segera ia berkata.
"Adikku, tenangkan hatimu.
Aku pasti dapat mencari obat itu.
Katakanlah dimana tempat itu? Aku akan segera berangkat mencarinya." Cin Eng, pegang erat lengan Bu Beng, "Jangan, koko...
Jangan..." "Eh, mengapa jangan?" Tanya Bu Beng heran.