Jago Pedang Tak Bernama Chapter 12

NIC

Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap menghadapi lain lawan.

Tapi ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat menghampiri dan memberi hormat.

"Suheng!" katanya heran dan gembira.

"Eh, eh, kau sute? Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han, tak tahu kaulah orangnya!" "Bagaimana suheng dapat tahu?" Kim Kong Tianglo tertawa lebar.

"Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?" Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu.

Hun Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu berkata.

"Ha, ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri.

Jadi Bu Beng Taihiap ini sutemu sendiri? Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya." Kemudian nenek yang aneh itu setelah perinthkan Cin Eng keluarkan areak, meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu.

Setelah berada berdua saja.

Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suhengnya.

Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri.

Mereka berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah.

Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu.

Kim Kong Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh itu.

Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal dari Kilam.

Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal kejam.

Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda.

Diantaranya terdapat seorang pendkar yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara menjadi pencuri budiman.

Ia bernama Liu Pa San.

Rumah hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia curi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin.

Karena ia berkepandaian tinggi dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya.

Sebenarnya ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit.

Anak perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng.

Dengan Gwat Go.

Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan.

Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk, namun Gwat Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam.

Ia sayang Cin Eng seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu takut padanya.

Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang lihai juga.

Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San.

Beberapa bulan yang lalu, ketika Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, Pada suatu malam ia mendengar suara rebut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu.

Ia segera loncat keatas dan melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapa orang jagoan yang sengaja diundang oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya.

Ternyata diantara jagoan-jagoan terdapat Ngo Houw atau lima hariamau dari Tiang-San yang terkenal kosen.

Ketika Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran.

Liu Pa San telah terluka hebat tapi masih melakukan perlawanan dengan gigih.

Kim Kong Tianglo berhasil menologn dan membawanya pergi.

Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo.

Hwesio ini terharu sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa itu.

Sebelum mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat kepada anak-anaknya.

Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk memenuhi permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, Hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada diambang pintu kematiannya.

Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah Liu Pa San.

Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik.

Semenjak itu ia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya.

Rencananya, setelah mendidik Cin Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakilkan ia mendidik kedua adiknya.

"Sute", berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, "Umur berapakah kau sekarang?" tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang suhengnya dngan heran karena tidak mengerti maksudnya.

Tapi ia menjawab juga.

"Dua puluh enam tahun, suheng.

Ada apakah?" Kim Kong Tianglo tertawa.

"Tidakkah kau pikir usia sedemikian itu sudah cukup untuk menjadi seorang suami?" Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya menjadi merah.

Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu.

"Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute.

Tapi percayalah, aku adalah seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun mengenai ilmu silatnya.

Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku lancing menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?" Dengan masih tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata.

"Suheng, beribu terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini.

Memang, bagiku di dunia ini setelah suhu meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku.

Aku ini orang macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu? Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu? Kalau sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng.

Baiknya janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!" Kim Kong Tianglo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya.

"Jadi kau suka padanya? Baik, baik, sute.

Soal yang lain serahkan saja padaku.

Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatkan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mndapatkan seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun toanio mengundang kau mampir di rumahnya? Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu saja.

Tentu ada maksudnya.

Ha, ha!" Bu Beng hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong Tianglo pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini, ia hanya menanti di ruang tamu sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan hatinya yang bergoncang.

Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak lama kemudian suhengnya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang.

"Selamat, sute.

Kionghi, kionghi," kata Hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri.

Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu.

Setelah Hun wat Go duduk diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata.

"Eh, sue, tunggu apa lagi? Hayo beri hormat kepada gakbomu." Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan.

"Ah, tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu yang gagah melebihi ayahnya." Sampai disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedu-sedu dan air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya yang telah mati.

"Kau...

kau harus balaskan sakit hati ini..." katanya kepada Bu Beng yang hanya mengangguk sambil tundukkan kepala.

Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu Beng segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik.

Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo tampak berseri-seri gembira.

Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah keheranannya melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah menjalar keseluruh muka dan telinganya.

"Ada apa, ibu?" tanyanya.

"Eng, sediakan makanan lezat.

Ini hari kita harus berpesta sepuasnya.

Tambah lagi arak wangi kepada...

gurumu...

eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu," berkata demikian ini sambil menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak.

Cin Eng yang biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang.

Ia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka merah.

Tak lama kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja dan makan bersama.

Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda Cicinya, karena iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu.

Beberapa kali ia melirik kerah Cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding kearah Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya.

Cin Lan berteriak.

"Ah, ah, Cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!" semua orang tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan makanan.

Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu.

Sebenarnya didalam hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu.

Rasa bahagia dan rasa sedih.

Posting Komentar