Bu Beng adlah seorang pemuda yang penuh keinginan meluaskan pengalaman, maka tidak akan puas hatinya kalau belum mencoba sesuatu yang telah didengarnya.
Telah lama ia mendengar akan kehebatan lengan tangan Pok Thian Beng yang dijuluki si Tangan besi, maka kini melihat tangan kanan lawan menyambar kearah ulu hatinya, ia segera kumpulkan tenga mengepul tangan dan gunakan tangannya itu memukul kedepan dan memapaki datangnya pukulan lawan.
Si Tangan Besi terkejut melihat kecerobohan lawan yang msih muda ini.
ia tidak mau membikin anak muda itu celaka dan ia yakin bahwa jika mereka beradu tangan, pasti anak muda itu sedikitnya akan terpatah lengnnya.
Tapi, karena untuk menarik kembali kepalannya sudah tak sempat lagi, maka ia hanya dapat mengurangi tanaganya dan hanya gunakan setengah saja.
Dua kepalan tangan bertemu dan "DUK!" kedua-duanya merasa betapa sebuah tangan besar bertemu dengan tangan masing-masing.
Karena si Tangan Besi hanya gunakan setengah tenaganya dan berbareng itu Bu Beng sendiri yang sangat percaya akan tenaga sendiri juga kurangi tenaga pukulannya, maka si Tangan Besi lah yang kalah tenaga dan terhuyung-huyung mundur sampai lima tindak, sedangkan Bu Beng hanya mundur dua tindak.
Pok Thian Beng memandang kagum dan penasaran.
Ia si Tangan Besi yang terkenal dan jarang terlawan kekuatannya kini terpukul mundur oleh anak muda ini? ia menyesal mengapa tadi tidak kerahkan semua tenaganya! Dan masih menganggap bahwa kekalahannya itu karena ia tadi hanya menggunakan setengah tenaga.
Maka ia merangsek kembali karena belum puas.
Bu Beng tidak mau dianggap tidak pandang sebelah mata kepada musuh yang dihormati itu, maka iapun balas menyerang.ketika Bu Beng dengan pukulan Kim liong tam jiauw atau Naga mas mengulur kuku memukul kearah lambung, tibalah giliran si Tangan Besi untuk mengukur tenaga lawan.
Ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.
Kembali dua telapak tangan beradu, kini lebih hebat karena Pok Thian Beng gunakan semua tenaga sedangkan Bu Beng juga pusatkan tenaganya di lengan.
Akibat tumbukan tenaga itu, Pok Thian Beng rasakan lengannya kesemutan dan Bu Beng juga rasakan kulit tangannya panas.
Anak muda itu segera barengi meloncat mundur sambil berkata.
"Pok Lo-Enghiong sungguh tidak percuma bergelar Tangan Besi.
Siauwte mengaku kalah." Katanya sambil memberi hormat.
Pok Thian Beng makin kagum melihat kesopanan pemuda itu.
Ia tertawa dengan gembira.
"Ha ha.
Tidak kecewa aku datang kesini dan dapat mengagumi orang muda seperti kau.
Tidak malu aku mengaku bahwa kalau kau mau, mudah saja bagimu untuk menjatuhkan aku.
Kalau aku mempunyai tangan besi, maka kau mempunyai tangan baja, Bu Beng Kiam Hiap!" kemudian kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin ia menjuru.
"Terima kasih atas undangan jiwi.
Tapi aku yang bodoh dan tidak berguna ternyata tak dapat membantu apa-apa.
Terserah kepadamu, jiwi, tapi menurut pendapatku yang bodoh, lebih baik persolan kecil ini dihabiskan saja." "Ah, Pok Cianpwe mengapa merendahkan nama kita sendiri? Terang sekali Pok Cianpwe berlaku mengalah terhadap pemuda sombongini, tapi mengapa berkata demikian.
Pula Lui Im losuhu juga berada disini apakah orang tidak pandang mata kepadanya," berkata Sim Tek Hin.
Mendengar teguran ini, Pok Thian Beng memandangmarah.
"Hm, bagus, Sim hiante.
Jadi undanganmu kepada kamidulu itu hanya untuk mengadu kami dengan orang-orang lain? Jadi hanya untuk memperalat kami.
Terimakasih dan sampai jumpa pula." Sambil berkata begitu, Pok Thian Beng balikkan tubuh hendak meninggalkan empat ini.
tapi sekali loncat, Lui Im telah berada di sebelahnya dan pegang lengannya.
"Eh, Pok twako, jangan pergi dulu.
tunggu aku ajar kenal dulu dengan Bu Beng Kiam Hiap." Si Tangan Besi memandang dan tersenyum lalu duduj di atas sebuah bangku dengan sikap tidak perduli kepada orang she Sim itu.
Lui Im yang bertubuh pendek kecil itu segera mendekati Bu Beng.
"Bu Beng Kiam Hiap, kau sebagai seorang hohan tentu suka berlaku adil.
Kami semua datang kesini dan sudah belajar kenal dengan kelihaianmu, hanya aku seorang yangbelum .
maka janganlah bikin aku penasaran dan berilah sedikit pengajaran padaku." Bu Beng memberi hormat, "Mana aku yang muda berani memberi pengajaran? Sebaliknya, siauwte masih mengharapkan petunjuk-petunjuk darimu." Lui Im cabut golok dari punggungnya dan kelebat-kelebatkan itu beberapa kali.
Melihat ini, Bu Beng terkejut.
"Bukankah Lo-Enghiong ini Pangcu dari Cung lim pang yang bernama Lui Im Lo-Enghiong?" tanyanya.
Lui Im terkejut juga.
Bagaimana pemuda yang tak dikenalnya ini dapat mengenlnya? "Eh, Dari mana kau tahu nama dan kedudukanku, anak muda?" Bu Beng memberi hormat.
"Maaf, karena siauwte tadi tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Tidak tahunya berhadapan dengan seorang sahabat baik dari suhengku." "Siapa suhengmu itu?" "Suhengku ialah Kim Kong Tianglo dari Liong san." Lui Im menggerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba goloknya menancap diatas tanah dan gagangnya bergerak-gerak menggetar.
"Kim Kong Tianglo? Kau...
sutenya? Aneh.
Sungguh aneh! Kemudian ia berdiri termangu-mangu karena sesungguhnya ia pernah mendengar dari Kim Kong Tianglo sendiri bahwa pendeta tua itu mempunyai seorang sute yang gagah, tapi masakan sute itu semuda ini? Bu Beng mengerti bahwa orang itu ragu-ragu, maka tiba-tiba ia mendapat pikiran untuk menklukkan orang ini tanpa mengadu kepandaian.
Ia berkata "Maaf" dan secepat kilat ia loncat menyambar dan tahu-tahu golok yan tertncap di tanah itu telah dicongkel dengn ujung kaki hingga terlempar keatas yang lalu diterima dengan tangan.
Kemudian ia mulai bersilat sambil berkata.
"Sebagai sahabat suhengku, tentu Lo-Enghiong kenal permainan ini," lalu diputar-putarnya golok itu dan ia mainkan ilmu golok dari Kim Liong Pai.
Golok itu berubah menjadi sinar putih yang lebar dan yang menyelimuti tubuh anak muda itu.
Lui Im berdiri ternganga dan tak disengaja mulutnya berkata memuji.
"Bagus, bagus." Setelah Bu Beng berhenti bersilat dan menancapkan kembali golok di tempat tadi, Lui Im menghampirinya dan menepuk-nepuk pundaknya dengan mesra.
"Tidak salah, tidak salah! Kau tentu sute dari Kim Kong, bahkan permainan golokmu lebih hebat dari padanya.
Sungguh hebat.
Sungguh beruntung kita belum bergebrak, kalau sudah ah tentu aku akan celaka.
Ha ha ha!" kemudian ia berpaling kepada Pok Thian Beng yang masih duduk.
"Saudara Pok, matamu sungguh awas dan mengenal barang baik.
Kau benar, kita berdua tak usah mencampuri persoalan tetek bengek ini.
saudara Sim, pandanglah muka kami berdua dan habiskan saja pertempuran ini.
mari, saudara Pok, sudah waktunya bagi kita untuk pergi." Kedua jagoan tua itu, setelah menjuru kearah Bu Beng dengan kata-kata.
"Sampai bertemu lagi," lalu berjalan cepat tinggalkan tempat itu.
Melihat bahwa ia sendiri berikut keempat kawannya yang diandalkan itu satu demi satu dibikin takluk oleh Bu Beng.
Sim Pangcu menjadi malu sekali.
Ia menjuru kearah Lim San yang sejak tadi melihat pertunjukan-pertunjukan itu dengan penuh kekaguman, sambil berkata, "Saudara Lim, biarlah kali ini aku mengaku kalah." Lim San balas menjuru.
"Sim Pangcu, kau tidak kalah dariku, maka sudahi sajalah urusan ini dan anggap saja bahwa kita tiada jodoh untuk berbesan.
Biarlah kita menjadi sahabat baik." Sim Pangcu menggoyang-goyang kepala.
"Bagaimana juga aku sekawan telah dijatuhkan orang, dan aku harus berusaha mencuci bersih noda memalukan ini." Tiba-tiba Bu Beng meloncat kedepannya dan berkata keras dengan suara penuh ejekan.
"Ha ha, Sim Pangcu ternyata bersikap seperti anak kecil.
Kalau sikapmu seperti ini, mana pantas kau menjadi seorang Pangcu? Ketahuilah, kau adalah seorang pengecut besar kalai urusan hari ini kau taruh dendam kepada Lim San Lo-Enghiong.
Kau hanya tujukan kepada orang yang kiranya tak dapat melawanmu agar kau dapat paksakan nafsu jahatmu.
Kalau kau memang seorang gagah, lenyapkan semua urusanmu dengan Lim San Lo-Enghiong.
Jika dalam hatimu masih ada dendam mak dendam itu tidak seharusnya ditujukan kepadanya, tapi seharusnya kepadaku, karena akulah orangnya yang telah menjatuhkan kalian." "Bu Beng! Jangan kau sombing," teriak Sim Pangcu sambil kertak giginya karena marah dan gemas.
"Siapa yang taruh hati dendam kepada Lim Enghiong? Puteraku ditampik adalah soal kecil.
Masih banyak gadis lain di dunia ini.
dendam hatiku memang ditujukan padamu.
Maka ingatlah pada suatu hari aku pasti akan mencarimu dan menagih hutang!" sehabis berkata demikian, Sim Pangcu segera mengambil langkah lebar dengan diikuti Sim Tek Hin yang berjalan dengan tunduk.
Lim San maklum bahwa ucapan sombong yang dikeluarkan oleh Bu Beng itu memang disengaja untuk memindahkan rasa dendam di hati Pangcu itu dari Lim San kepada Bu Beng.
Maka makin bertambahlah rasa terima kasihnya kepada pemda itu.
Namun Bu Beng tak memberi kesempatan kepda orang untuk menyatakan terima kasih, karena setelah menjuru ia ccepat berkelebat dan bayangannya tak tampak lagi.
Lim San sekeluarga hanya dapat menarik napas dalam dan geleng-geleng kepala.
Bu Beng secepat terbang kembali ke pondok diatas bukit dan setelah membungkus barang-barangnya yang tak berapa banyak itu di dalam sebuah kain kuning, ia meninggalkan tempat itu dengan bungkusan terikat di punggung untuk melanjutkan perjalanannya merantau setelah berdiam di tempat sunyi itu hampir sebulan lamanya.
Disepanjang jalan tak habis-habisnya Bu Beng melakukan kewajibannya sebagai seorang pendekar, menolong yang lemah tertindas dan membasmi yang kuat sewenang-wenang.
Tak heran nama Bu Beng Kiam Hiap makin terkenal, ditakuti lawan diindahkan kawan.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bu Beng telah berjalan kaki seorang diri dalam sebuah hutan di kaki bukit Lun ma san.
Di kaki bukit Lun ma san terdapat beberapa kampung kecil dengan penduduk terdiri dari kaum petani.
Tapi karena bukit itu mengandung tanah kapur, pertanian disitu tidak dapat subur.
Maka disamping bertani, penduduk disitu menambah enghasilan dengan menjual hasil hutan dan kapur yang memang banyak terdapat disitu.
Di beberapa hutan terdapat kayu besi yang hitam membaja dan banyak isukai oleh orang "orang kota untuk membuat bangunan karena kayu itu kerasnya bagaikan besi saja.
Ketika enak berjalan, tiba-tiba Bu Beng mendengar sura kanak-kanak yang tertawa-tawa dengan riangnya.
Suara tawa anak-anak yang wajar ini membuat Bu Beng sadar dari lamunannya, karena sesungguhnya semenjak tadi Bu Beng melamun walaupun kedua kakinya berjalan maju.