Tapi Lui Thung membetot kembali rantainya dan mengayun senjata itu secara memutar kearah pinggang lawan.
Kembali Lim San menangkis, kali ini dengan pinggir golok.
Dua senjata beradu dengan berbunyi nyaring dan mengeluarkan api.
Ternyata tenaga mereka seimbang.
Lim San bakas menyerang dan mereka segera serang mnyerang dengan sengit mengarah jiwa lawan.
Tiga puluh jurus lebih telah lewat namun masih belum dapt dipastikan seiapa diantara mereka yang lebih unggul.
Tiba-tiba dari tempat duduk para jago taua tampak seorang berdiri dari kursinya sambil tertawa nyaring.
Suara ketawanya bagaikan sura ketawa wanita dan dengan sekali mengenjot tubuhnya, orang itu melewati kepala semua tamu, langsung loncat keatas panggung.! Gerakan ini sungguh indah dan hebat, hingga mau tak mau para penonton yang melihatnya mengeluarkan seruan tertahan karena kagum.
Orang ini ternyata adalah pemuda sombong dan yang diberi tempat duduk diantara para Cianpwe tadi.
Sim Tek Hin, pemuda itu, mengeluarkan saputangannya yang panjang dan ketika rantai Lui Thung menyambar, ia kebut rantai itu dengan saputangannya hingga terlilit sambil berkata, "Lim lopek, mundurlah, biar aku mewakilimu." Melihat rantai lawan ditahan oleh saputangan pemuda itu, Lim San menarik kembali goloknya yang hendak dibacokkan, lalu mundur.
"Kenapa engkau ikut campur, Sim hiante? Biar aku menerima pengajaran tuan Lui ini," ia mencela.
"Ah, lopek sudah tua, tidak pantas melayani pertempuran dengan segala orang kasar.
Biar aku yang bereskan dia!" bantah Sim Tek Hin.
Terpaksa Lim San meloncat turun dan melihat dari bawah panggung.
"Nah, Lui Thung, majulah kalau engkau berani!" tantang pemuda itu.
Lui Thung tadinya merasa marah sekali melihat ada orang menghalang-halanginya, tapi ketika ia melihat orang yang menantangnya ini, tiba-tiba ia menjadi pucat.
"Sim kongcu, benar-benarkah kongcu hendak membela tuan rumah?" tanyanya merendah.
"Bodoh, siapa membela siapa? Ketahuilah, kau tidak pantas menjadi suami Lim siocia, tahu?" bentaknya.
Tiba-tiba Lui Thung tertawa, kemudian tersenyum sambil mengejap-ngejapkan matanya serta mulutnya mengoceh.
"siauwte tahu, siauwte maklum.
Nah, semoga kongcu berhasil!" kemudian ia menjuru sekali, lalu meloncat turun dari panggung, lenyap diantara gerombolan penonton.
Semua tamu dan penonton heran melihat Lui Thung yang kosen itu ternyata takut melawan pemuda itu.
Sipakah ia? Masih muda dan cakap, tapi sudah begitu besar pengaruhnya? Demikian bisikan-bisikan diantara penonton.
Sim Tek Hin dengan lagak jumawa sekali mengangkat tangan memberi hormat keempat penjuru, seakan-akan lakunya seorang jagoan tanpa tanding.
"Saudara-saudara sekalian,.
Perkenalkanlah aku adalah Siauw san coa Sim Tek Hin si Ular Gunung, ayahku adalah Sim Pangcu dari San coa pai.
Hari ini Lim loenghong mengadakan sayembara untuk memilih mantu.
Maka aku mewakilinya untuk menyambut setiap orang yang hendak mengikuti sayembara ini.
maka hayo majulah siapa yang ada kepandaian!." Nama Sim Pangcu dari San coa pai sangat terkenal dan ditakuti orang.
Jarang orang yang tidak pernah dengar nama ini dan mereka tahu betapa lihainya keluarga Sim ini.
maka beberapa orang yang tadinya ada hasrat hendak mencoba ikut dalam sayembara itu, dengan sendirinya mundur teratur karena segan dan takut.
Tapim diantara mereka yang takut, terdapat seorang pemuda she Thio yang sangat rindu untuk dapat memiliki Lim siocia.
Ia adalah seorang siucai (sastrawan) yang mendapat pelajaran silat dari pamannya.
Jauh-jauh dari kota Patciu yang letaknya ratusan li dari situ, ia datang untuk ikut sayembara itu.
Maka ketika ia lihat Sim Tek Hin mewakili tuan rumah, walaupun ia sudah mendengar juga tentang kelihaian Sim kongcu ini, namun ia loncat juga naik ke panggung.
Sim Tek Hin menyambutnya dengan senyum sindir.
"Ha, ternyata masih ada juga orang gagah diantara kalian," tegurnya.
Thio Bun, pemuda yang baru naik itu, menjuru kepada penonton, lalu kepada Sim Tek Hin.
"Sim Enghiong, jangan tertawakan aku yang bodoh ini ingin mencoba-coba pengertianku yang masih rencah." "Majulah sobat," Sim Tek Hin mengejek.
Mereka lalu bergebrak dengan seru.
Ternyata Thio Bun memiliki kepandaian yang lumayan juga.gerakan-gerakannya jelas ternyata bahwa ia mewarisi ilmu silat Kun lun pai.
Kalau hanya mendapat lawan Lim Seng saja, tentu akan ramai sekali pertempuran mereka.
Tapi kali ini ia berhadapan dengan Sim Tek Hin yang mewarisi kepandaian tinggi dan lihai, ditambah pula adatnya yang keras dan kejam.
Serangan-serangan pemuda she Sim itu selalu ditujukan kearah tempat berbahaya, merupakan serangan maut, maka Thi Bun menjadi sibuk dan terdesak sekali.
Ketika Thio Bun menyerang dengan tendangan kaki kanan, tiba-tiba sambil berkelit Sim Tek Hin bergerak cepat kearah kiri lawan dan memukul dada kiri.
Thio Bun turunkan kaki dan jongkok untuk berkelit, tapi ia kalah cepat, pundaknya terpukul keras hingga ia terhuyung-huyung lalu jath tersungkur.
Sim Tek Hin dengan tertawa memburu sambil berkata, "Pergilah kamu" kaki kanannya diayunkan untuk menendang tubuh orang kebawah panggung.
Tendangan ini sebenarnya tendangan mematikan, karena yang diarah labung orang! Tapi ketika ujung sepatunya telah dekat dengan lambung Thio Bun, tiba-tiba ia tarik kembali kakinya dan giginya menggit bibir menahan sakit.
Tanpa terliaht oleh orang lain, sebutir batu kecil telah disambitkan orang kearah akakinya, hingga sepatunya berlubang dan kakinya terluka sedikit.
Sambitan ini menolong jiwa Thio Bun yang sudah sadar kembali dan segera loncat ke bawah dengan perasaan malu dan putus harapan.
Sim Tek Hin penasaran.
Siapakah yang begitu kurang ajar berani menyambit kakinya! Ia sangka pasti seorang diantara Cianpwe itu, karena siapa lagi yang mempunyai kepandaian tinggi? Maka ia segera menantanglagi, kini kearah para tamu dan pandangan matanya khusus ditujukan ke tempat duduk para jagi tua.
"Saudara-saudara.
Sipa lagi yang ingin coba-coba? Majulah! Apakah diantara para tamu yang terhormat ini tidak ada yang ingin memperlihatkan kepunsuan? Hayo maju, kita ramaikan pesta ini dan menambah pengajaran!" Tapi tak seorangpun menyambut, karena mereka segan melawan kongcu yang lihai dan berpengaruh ini.
Sim Tek Hin kurang puas, lalu berkata pula, dibarengi gaya yang jumawa.
"Eh, eh! Kalau begini, siapakah yang pantas menjadi suami Lim siocia??" kemabali tidak ada yang menyambut, hanya Lim San memandangnya dengan kwawatir dan marah.
Hendak berbuat apa anak setan itu? Pikirnya.
Sin Tek Hin lalu tujukan pandangan matanya kearah Cin Ouw Bu kauwsu dan ia berkata lagi.
"Kalau sudah tidak ada yang berani maju, bagaimana kalau kita minta para LoCianpwe yang berada disini memberi pengajaran barang sejurus? Hei, saudra-saudara yang menonton, setujukah kalau saya minta seorang jago tua untuk meperlihatkan keahliannya di atas panggung ini?" tentu saja semua penonton berteriak, "Setuju-setuju!" Sim Tek Hin kembali memandang kearah Cin Ouw Bu.
"Nah, para LoCianpwe mendengar sendiri.
Masakan para LoCianpwe hendak berlaku begitu pelit untuk memperlihatkan sedikit kepandaian? Siauwte mohon kepada Cin Ouw Bu Kauwcu, sukalah meramaikan pesta ini dan memberi sedikit pelajaran kepadaku.
Kecuali kalau Cin Lo-Enghiong merasa takut kalau mndapat luka, biarlah lain Lo-Enghiong saja yang maju." Sindiran ini hebat sekali.
Cin Ouw Bu maklum bahwa anak muda itu ingin mencari perkara saja, karena diantara ia dan ayah pemuda itu, yakni Sim Pangcu memang ada sedikit permusuhan.
Ia segera berdiri dan setelah menjuru kepada tuan rumah, ia meloncat dengan tenang keatas panggung.
Kehadirannya disambut tepukan tangan riuh rendah dari penonton.
Para tamu yang merasa akan sindiran pemuda itu, merasa berdebar, karena mereka maklum bahwa "main-main" ini akan berbahaya sekali.
Lebih-lebih Lim San sebagai tuan rumah merasa kuatir dan cemas.
"Sim kongcu kau begini muda tadi sungguh gagah dan berani.
Biarlah aku mencoba tulangku yang tua ini." "Siauwte bersedia menerima pengajaran," jawab Sim Tek Hin menyindir.
"Mulailah," tantang Cin Ouw Bu.
"Tidak, kau yang lebih tua menyeranglah dulu." Jawab Tek Hin.
"Baik jagalah!" Cin Ouw Bu tanpa sungkan-sungkan lagi segera menyerang dengan menggunakan pukulan-pukulan dari ilmu silat Pat kwa ciang.
Sim Tek Hin menangkis dan balas menyerang dengan ilmu silat keluarganya, yakni ilmu silat San coa cianghoat.
Mereka berputar-putar dengan cepat hingga kedua-duanya merupakan dua bayangan yang berkelebat kesana sini dan sukar dilihat dengan tegas.
Seratus jurus telah lewat, tapi keadaan mereka masih berimbang.
Tiba-tiba Sim Tek Hin berseru.
"Tahan!" lalu keduanya meloncat mundur.
"Apa kehendakmu?" Tanya Cin Ouw Bu penasaran, karena sampai demikian jauh ia yang sudah kawakan belum juga dapat menjatuhkan seorang pemuda yang masih hijau.
"Ilmu silat Lo-Enghiong hebat sekali.
Tapi aku belum kalah.
Bagaimana kalau kita coba-coba ilmu mainkan senjata?" Tanya Tek Hin.
"Boleh, boleh!" jawab orang tua itu dan segera ia meloncat kearah tempat duduknya dan minta pinjam sebatang toya dari tuan rumah.
"Saudara Cin, perlu apakah pertempuran ini dilanjutkan?" tegur Lim San.
"Tak usah kau layani pemuda sombong itu." Cin Ouw Bu menghela napas.
"Ayah ular anaknyapun ular.
Ayahnya dulu pernah kuhalang-halangi ketika hendak merampok seorang gadis kampung, dan hal ini rupanya menjadikan dendamnya hingga puteranya tahu akan permusuhan ayahnya dengan aku.
Biarlah, sudah terlanjur, kalau aku mundur, maka akan hancurlah namaku karena mulutnya yang jahil itu," kemudian sambil membawa toya ia loncat pula keatas panggung dimana Sim Tek Hin telah berdiri menanti sambil memegang pedang.
Cin Ouw Bu adalah seorang ahli main toya, ilmu toyanya disegani semua ahli di kalangan kang ouw dan dikenal sebagai ilmu toya Gin liong pang hwat atau Ilmu Toya Naga Perak.
Di lain pihak Sim Tek Hin mewarisi ilmu pedang ayahnya, ialah ilmu pedang tunggal San coa kiamhwat yang ganas gerakan-gerakannya.
Maka ketika mereka mulai bertempur, merupakan pemandangan hebat luar biasa membuat mata semua penontong berkunang-kunang.