Istana Pulau Es Chapter 75

NIC

Mulailah hwesio itu tertarik.

"Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?"

"Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung."

Dengan singkat namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu. Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suhengnya di pusat, yaitu Ceng San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian bangkit berdiri dan menjura kepada tamunya.

"Banyak terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat begitu jahat terhadap kuil ini, dan andaikata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu."

Im-yang Seng-cu membelalakkan mata,

"Losuhu, aku akan membantumu!"

"Tidak baik kalau pihak luar mencampuri, kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang luar sehingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!"

Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel,

"Dasar si bodoh yang ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! Selamat tinggal, Losuhu!"

Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.

"Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira, kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka sehingga perdamaian dapat dijaga dan dipertahankan."

Akan tetapi, Im-yang Seng-cu mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biarpun penawarannya untuk membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya namun juga amat keras kepalanya itu.

Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya terang karena para hwesio menyalakan lampu penerangan atas perintah Gin Sim Hwesio. Biarpun hatinya keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku hati-hati. Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa kedudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melakukan samadhi di tengah ruangan depan. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata,

"Siap....!"

Dan perintah ini segera disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung. Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang ditugaskan menjaga di dalam, segera keluar membawa obor sehingga sinar penerangan di ruangan depan itu makin cemerlang menerangi wajah enam orang itu. Gin Sim Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan, memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan seorang lagi yang membuatnya terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi, orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang lebih empat puluh tahun.

"Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?"

Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu, tertawa sambil mencabut pedang panjang dari pinggangnya,

"Kami adalah dua orang perwira tinggi, Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan berontak!"

"Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!"

Kata Si Tosu sambil mengejek.

"Omitohud! harap Cu-wi tidak membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah, perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang mengganggu? Cu-wi sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi siapapun juga, dan kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw-lim-pai dan memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!"

Lima orang itu saling pandang dengan mata terbelalak,

"Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang membocorkan....!"

Teriak Si Perwira Kurus. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan berkata,

"Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah ketagihan lalat lagi dan datang ke sini hendak mencari makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!"

"Engkau.... Im-yang Seng-cu!"

Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah maju dan menegur. Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk.

"Hemm, hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir! Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!?"

"Setan kau!"

Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kang-ouw, sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya. Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya dan sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat mundur mencari tempat luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si,

"Bagaimana, Losuhu? Berhasilkah engkau menghadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan tongkat penggebuk anjing!"

"Omitohud...., terpaksa pinceng melanggar pantangan berkelahi!"

Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan tongkat hwesionya dan melanjutkan.

"Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!"

Akan tetapi, biarpun mulutnya berkata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua orang lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya di tangan kanan telah membuat senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh terjengkang dan muntah darah!

"Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!"

Posting Komentar