Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya, bangkai-bangkai lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnya Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga sin-kang yang kuat. Dengan tenang Suma Hoat melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak berikut bangkai lalat masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan ke situ. Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan berkata,
"Kalau orang gemar kuah deging lalat, silakan minum!"
Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.
"Setan....!"
Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!
"Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat, ha-ha-ha!"
Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan, diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.
"Makanlah!"
Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.
"Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!"
Katanya gembira. Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok masakan dan melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.
"Singggg....!"
Tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si Kaki Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga senjata rahasia itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima sambaran mangkok-mangkok terakhir.
"Ke sini....!"
Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan pengerahan sin-kangnya yang kuat dan...., piring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan melayang ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakannya ke atas meja.
Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang yang demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.
"Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata."
Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai. Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang. Mohon tanya,
"Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?"
Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat, bertanya.
"Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga,"
Kata Suma Hoat acuh.
"Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan tergolong lalat hijau,"
Kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
"Kalau begitu, sekali lagi maaf,"
Kata Si Perwira Kurus.
"Karena belum mengenal, kami telah bersikap lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami."
"Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?"
Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil berkata,
"Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!"
Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
"Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!"
Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai.
"Harap jangan mempermainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!"
"Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!"
Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan sekali.
"Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?"
Si Kaki Telanjang berkata membantah. Perwira gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk,
"Ini bayaran hidangan!"
Kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si Pelayan. Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
"Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?"
Si Kaki Telanjang menegur pelayan.
"Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!"
"Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan tetapi...."
Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di telapak tangannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu seperti dijepit jepitan baja yang amat kuat! Si Kaki Telanjang tertawa,
"Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!"
Pelayan ini pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apalagi dia!
"Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!"
Suma Hoat menjawab,
"Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!"
Si Kaki Telanjang terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk.
"Aihh...., dasar aku si tukang rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu."
Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang dianggap murtad, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi, wataknya aneh dan gila-gilaan akan tetapi selalu menindas kejahatan. Ia pun menjura dan berkata,
"Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!"
"Haiii!"
Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!"
"Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan...."
"Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku, makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!"
Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telanjang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
"Benarkah engkau Jai-hwa-sian?"
Tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
"Kalau benar mengapa?"
Suma Hoat balas bertanya. Im-yang Seng-cu tertawa.
"Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu."
"Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal."
"Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu tentang lima orang tadi?"
"Mereka lihai, akan tetapi sombong."
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk.
"Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sin-kangnya tinggi. Eh, apa yang hendak kau lakukan terhadap rencana mereka?"
"Rencana yang mana?"
"Tentang niat mereka menyerbu kelenteng?"
"Aku tidak mengerti dan tidak peduli,"
Jawab Suma Hoat.
"Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!"