Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi de ngan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendiri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka mempermainkan cinta wanita. Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan Jai-hwa-slan (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama aselinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa ratus, dan begitu keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
Sudah lebih dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biarpun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam. Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu.
Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu, pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang golongan dunia hitam sungguhpun ia tidak dapat naeninggalkan kesukaannya merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan! Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun seringkali menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia di samping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa itu, terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yucen boleh dibilang tidak ada lagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.
Namun segera menjadi kenyatean pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang daripada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biarpun dahulu Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan kelemahan Sung, menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus dlberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup, hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang di perhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolah-olah tidak mem pedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang, melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakanoleh kaisar dan keluarganya setiap saat.
Di luar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan, masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasihat dianggap melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang. Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan data-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari,
Terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya tidak terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan pera selir. Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil maupun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati maupun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus, benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah Kerajaan Sung pusat. Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat.
Kebencian mereka memuncak ketika para pembesar daerah ini mendengar akan perbuatam Suma Kiat terhadap Menteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi tewas. Bukan hanya para pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu, menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam. Mulailah terjadi kesimpangsiuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah ini berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung. Kecuali Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Ho Siang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketika para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,
"Omitohud...., segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat."
"Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasihat Supek benar belaka,"
Kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling maju dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri.
"akan tetapi apabila badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binatang kecil seperti burung sekalipun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?"
Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, disamping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela. Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan. Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain.
"Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini."
Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersamadhi. Maka mereka pun bubaran. Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan ten teram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petu gas-petugas pembesar pusat untuk mena rik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwe sio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara kaki tangan masing-masing pihak dan di ma na-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan itu dan masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap. Di tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian.
Akan tetapi, hal ini amatlah mengherankan dan mengagumkan pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokan-bentrokan itu. Hal ini adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlumba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah, maka pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!
Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Ketika seorang pemuda tampan yang pakaiannya indah, dengan pedang bergantung di punggung, gagah sekali sikapnya, memasuki restoran, pelayan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat. Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri, dua hari yang lalu, dia belumi bertemu dengan wanita yang menggerakkan berahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu, juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya. Ia menanggalkan pedang buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan makanan dan minuman.
Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil bercakap-cakap bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai. Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun usianya,
Pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali! Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, senyumnya yang seolah-olah mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau, hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang petani yang bangkrut! Tidaklah mengherankan apabila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki telanjang. Laki-laki itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata,
"Bung Pelayan, engkau tidak melayani pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!"
Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk bungkusannya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak. Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu dan tidak jauh dari meja Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi, betapapun tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu. Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka merupakan pengabdian terhadap harta dunia!
Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan keuntungan bagi yang me nilai! Buktinya tersebar di mana-mana. Datanglah ke rumah seseorang ddengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah mang anggap bahwa engkau hanya akan menda tangkan kerugian dan ketidaksenangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau datang de ngan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan! Hal ini tak mungkin dapatdibantah lagi karena memang kenyataannya demikianlah.
Maka, biarpun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperlihatkan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya karena ada sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar dianggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain daripada yang lain! Si Pelayan yang sudah biasa melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu sebangsa pengemis yang merugikan, kini dapat menduga pula bahwa orang aneh itu tentulah seorang kang-ouw maka ia bertanya dengan sikap hormat.
"Sicu hendak memesan apakah?"
Akah tetapi orang itu tidak menjawab, hanya memandang ke arah pintu depan. Si Pelayan menoleh ke arah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyumnya melebar dan serta-merta ia meninggalkan orang itu dan lari terbungkuk-bungkuk menyambut datangnya serombongan tamu yang tiba.
Melihat ini, Suma Hoat memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka itu terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupakan penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayan yang menyambut segera berkata,
"Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang terhormat! Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!"
Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki.
Dengan sikap angkuh lima orang itu menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang. Suma Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan pelayan yang kini sibuk melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat banyak sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telinga dan menangkap percakapan mereka.
"Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!"
Kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.
"Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!"
Kata perwira kurus sambil tertawa.
"Kabarnya mereka lihai,"
Kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.
"Aahh, yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,"
Kata Si Tosu dengan suara rendah. Pinto akan mem perkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan....
"Sstt, harap Totiang hati-hati,"
Perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
"Takut apa?"
Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak mendengar.
"Semua sudah diatur baik. Memang Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin saja,"
Kata pula perwira kurus. Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,
"He, Bung Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orang-orang lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh menjemukan!"
"Sicu, harap bersabar....!"
Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia membungkuk-bungkuk kepada dua orang perwira sambil menggumam.
"Ciangkun, maafkan....!"
Melihat ini, Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata,
"Pelayan, tugasmu melayani tamu yang sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!"
Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu melototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata,
"Wah-wah, banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!"
Katanya dan menyambar kain lap dari pundak seorang pelayan, kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan.... belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan, runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!
Si Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah suara ketawa lima orang itu terbahak-bahak,
"Ha-ha-ha!"
Si Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaian nya itu tertawa.
"Kalau sudah amat ke laparan, lalat pun merupakan hidangan yang lumayan! Ha-ha-ha-ha!"
Lima orang itu tertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang yang menoleh sambil tertawa mangerling ke arah Si Kaki Telanjang.
"Ha-ha-ha-hauuup....!"
Tiba-tiba Si Perwira kurus menghentikan ketawanya, matanya mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar memasuki mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke tenggorokkannya.
"Haaak-agghh.... haaakk-huaaakkk!"
"Eh, kau kenapa?"
Temannya Si Per wira Gemuk, bertanya, juga tiga orang lainnya memandang heran, menghentikan ketawa mereka.
"Ughh-ughh...., lalat...., masuk mulut...., si bedebah!"
Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa masuk ke mulut teman mereka.
"Tiga ekor...., ihh, huakk, si keparat!"
Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor lalat itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran. Suma Hoat memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya. Ha-ha-ha, memang bagi yang kelaparan, tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan! Lima orang itu semua menengok ke pada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya setelah berkata,
"Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!"