Iblis dan Bidadari Chapter 16

NIC

Kedatangan Lian Hong di rumah Ciok-taijin, disambut oleh kegembiraan dan juga teguran keras, terutama sekali dari Ciok-taijin. Akan tetapi dengan muka girang Lian Hong menuturkan betapa ia telah berhasil membalas dendam ayahnya kepada seorang di antara ke lima orang musuh besar itu.

“Lian Hong, dengarkan kata-kataku dengan baik, cucuku,” kata Ciok-taijin sambil memandang tajam.

“Sungguhpun sudah menjadi kewajibanmu untuk membalas sakit hati ayahmu, akan tetapi tidak se layaknya kalau kau sebagai seorang gadis bangsawan, tunangan putera Pangeran Sim, sampai melakukan perjalanan seorang diri mencari musuh-musuhmu dan membiarkan dirimu berada di dalam bahaya maut. Bagaimana kalau sampai kau dirobohkan oleh orang-orang jahat itu? Dan bagaimana pula kalau sampai ada yang mengetahui bahwa tunangan putera Pangeran Sim melakukan perjalanan seorang diri di dunia? Kau hanya membikin kami orang-orang tua merasa susah dan gelisah, cucuku. Pembalasan sakit hati ini bukankah sedang diusahakan oleh suhumu? Kalau perlu, aku dapat mengerahkan perwira-perwira untuk mencari penjahat- penjahat itu dan menghukumnya. Tidak perlu kau pergi sendiri seperti yang telah kau lakukan itu.”

Akan tetapi, kembali watak ayahnya nampak jelas kepadanya ketika gadis itu menyahut,

“Kong-kong, gadis bangsawan maupun gadis biasa, tidak ada salahnya melakukan perjalanan seorang diri asa lkan ia dapat menjaga dirinya. Dengan kepandaian yang telah kupelajari, apakah yang kutakuti? Membalas dendam ayah, harus dilakukan oleh aku sendiri. Kong-kong sendiri menyatakan bahwa itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, maka bagaimana aku dapat membiarkan suhu sendiri yang pergi membalas dendam? Tidak, kong-kong. Harus aku sendiri yang melakukan pembalasan ini sebagai darma baktiku kepada mendiang ayah yang semenjak kecil belum pernah kubalas kebaikannya. Adapun tentang pertunanganku dengan pemuda putera pangeran itu, aku t idak perduli apakah ia atau orang tuanya akan suka atau tidak melihat aku pergi melakukan pembalasan terhadap para penjahat itu. Kalau mereka suka, syukurlah. Kalau tidak, juga tidak apa karena aku sudah mengambil keputusan tidak akan menikah sebelum dapat membereskan tugas pembalasan sakit hati ini!”

“Lian Hong !” jerit ibunya.

“Ibu, apakah ibu juga akan suka melihat ayah terbunuh tanpa dapat membalas dendam? Dan pula, orang-orang kang- ouw tentu sudah maklum bahwa ayah adalah mantu dari Ciok- taijin, dan seandainya para pembunuh ayah itu tidak terhukum, bukankah itu berarti merendahkan nama kong-kong pula?”

Kemudian ketika melihat betapa kong-kongnya mendengarkan dengan penuh perhatian, ia lalu maju dan memegang tangan kong-kongnya yang amat menyayanginya itu sambil berkata,

“Kong-kong, janganlah kau khawatir. Aku dapat menjaga diri, dan apabila kong-kong tidak menghalangi, tak lama lagi ke empat orang jahat itu akan dapat kutewaskan semua. Selain itu, harap kong-kong jangan gelisah. Selain suhu yang ikut mengusahakan pembalasan dendam ini, juga seorang murid dari ayah, yang bernama Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, telah pula turun gunung dan mencari para penjahat itu!”

Dengan alasan-alasan ini, akhirnya Lian Hong mendapat kemenangan dan kong-kongnya sambil menarik napas panjang berkata,

“Sudahlah, lakukan apa yang kau kehendaki. Akan tetapi kau berlakulah hati-hati sekali dan jaga dirimu baik-baik. Pula, ada satu hal yang kuminta kau memperhatikan baik-baik, yakni jangan sekali-kali ada orang luar mengetahui bahwa kau adalah tunangan dari pada putera Pangeran Sim. Lakukanlah hal ini untuk menjhaga nama baikku, maukah kau, Lian Hong?” Gadis ini dengan manja lalu memeluk kakek ini dan menyatakan kesanggupannya.

Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, sebulan kemudian, dengan menyamar sebagai seorang penari, Lian Hong berhasil membunuh Liok Kong di rumahnya sendiridi waktu Toat-beng-sin-to Liok Kong sedang mengadakan pesta. Kemudian setelah mengajak Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan berlumba untuk sebanyak-banyaknya menewaskan musuh besar mereka, Lian Hong lalu kembali ke kota raja, pulang ke rumah kong-kongnya untuk menceritakan hasil usaha pembalasan dendam itu dengan girang.

Ketika Ciok-taijin mendengar bahwa kini jumlah musuh yang harus dibalas tinggal dua orang lagi dan bahwa Hwe- thian Moli juga ikut mencari musuh-musuh itu, hatinya menjadi agak lega. Ia bahkan membantu usaha cucunya dengan jalan menyuruh beberapa orang perwira sebagai penyelidik untuk mencari jejak dua orang musuh besar cucunya itu, yakni Leng Kok Hosiang dan Kim-gan-liong Cin Lu Ek.

Tentu saja Lian Hong merasa girang sekali mendapat bantuan kakeknya ini dan ia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam kakeknya juga memerintahkan kepada para penyelidik itu apabila telah bertemu dengan orang-orang yang dicari, supaya ditangkap atau dibunuh, dan kalau perlu boleh minta bantuan pembesar setempat. Untuk ini ia te lah memberi sebuah surat perintah kepada mereka.

(Oo-dwkz-oO)

Kita ikuti lagi perjalanan Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, gadis gagah perkasa yang secara berani sekali telah mengacau di dalam pesta Liok Kong dan ilmu pedangnya bahkan berhasil menundukkan Lian Hong.

Semenjak berpisah dari Lian Hong, gadis ini masih saja merasa kagum dan heran kalau ia teringat akan gadis penari yang cantik jelita itu. Bagaimanakah suhunya dapat mempunyai seorang puteri yang sebaya dengan dia tanpa pernah menceritakannya kepadanya? Siapakah isteri suhunya dan di mana tinggalnya?

Ia merasa kecewa karena Lian Hong tidak mau menceritakan keadaannya dan sebetulnya ingin sekali berkenalan dengan sumoinya itu. Ia merasa amat kagum akan kepandaian Lian Hong dan melihat gerakan ilmu pedangnya, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Lian Hong pernah mempelajari ilmu pedang Liong-cu kiam-hwat secara baik, hanya masih kurang matang dan tercampur dengan ilmu pedang lain. Akan tetapi ilmu silat se lendang yang dimainkan oleh gadis penari itu sungguh-sungguh hebat.

Ia tersenyum sendiri kalau teringat akan kelincahan dan kejenakaan Lian Hong, dan ia dapat menduga bahwa gadis penari itu membohong dan sengaja mempermainkannya ketika mengaku bahwa iapun mempunyai julukan Hwe-thian Sianli.

Semenjak turun gunung untuk mencari musuh yang membunuh suhunya, ia telah mengalami banyak peristiwa hebat. Setelah ia turun gunung, pertama-tama yang ia dapat ketemukan jejaknya adalah Santung taihiap Siong Tat, Pendekar Besar dari Santung.

Ia mendengar berita bahwa Siong Tat telah pergi pindah ke kota Kang-leng sebelah selatan Ibukota Cin-an. Dengan cepat ia lalu menyusul ke Kang-leng dan mudah saja ia mendapatkan alamat Santung taihiap Siong Tat karena orang she Siong inipun telah menjadi seorang hartawan besar yang membuka rumah gadai terbesar di kota Kang-leng.

Ketika ia hendak memasuki kota itu dan berada di jalan yang sunyi tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tua memanjat pohon sambil menangis. Tangan orang itu membawa sehelai tali. Gerakan orang ini amat mencurigakan hati Hwe-thian Moli, maka diam-diam sambil bersembunyi, gadis ini lalu mengintai.

Ternyata bahwa orang tua itu lalu menalikan tali yang dibawanya pada cabang pohon dan hendak menggantung diri. Melihat ini, tentu saja Siang Lan menjadi terkejut sekali. Ia merasa heran mengapa ada orang yang demikan putus asa sehingga mengambil keputusan pendek.

Kakek tua itu telah membuat ujung tali menjadi penjerat leher, mengalungkannya kepada lehernya dan hendak melompat turun. Akan tetapi alangkah herannya ketika tiba- tiba tali yang tergantung pada cabang itu menjadi putus dan tanpa diketahui sebabnya.

Ia memandang ke sekeliling dan melihat keadaan di situ sunyi saja. Ia berkata keras-keras. “setan penjaga tempat ini mengapa masih mau mengganggu seorang yang sengsara seperti aku? Awas, jangan mengganggu dan menghalangi maksudku, kalau aku sudah mampus dan menjadi setan penasaran pula, akan kucari kau dan kubalas perbuatanmu ini!”

Setelah berkata demikian, ia lalu menalikan talinya itu kembali pada cabang lain. Akan tetapi pada saat itu muncullah seorang gadis cantik yang tahu-tahu telah berada di bawah pohon. Orang tua ini memandang dengan mata terbelalak. Ia merasa pasti bahwa gadis cantik ini tentulah setan yang menjaga di situ, maka katanya.

“Mungkin kau adalah setan dari seorang gadis yang juga mati dalam penasaran. Maka biarlah aku mengakhiri penderitaanku di dunia ini!”

Akan tetapi gadis yang bukan lain adalah Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan, tanpa menjawab segera melompat ke atas, menggunakan kedua tangannya menangkap tubuh kakek itu dan membawanya lompat turun kembali ke bawah pohon. “Lopek (uwak), mengapa kau begitu lemah dan bersikap seperti seorang pengecut?”

Marahlah kakek itu. “Siapa bilang aku pengecut? Aku tidak takut mati dan hendak menghabiskan nyawaku dengan tak gentar sedikitpun, dan kau masih menyebutku pengecut? Siapakah kau nona yang cantik jelita dan kasar ini?”

“Hm, menghabiskan nyawa sendiri dengan cara demikian adalah perbuatan rendah yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pengecut! Kau bilang berani mati, bukankah itu berarti bahwa kau takut untuk hidup? Lopek, bukan demikianlah cara untuk memecahkan kesulitan hidup! Kalau ada sesuatu hal yang menyulitkan keadaanmu, kau harus berusaha memecahkannya, bukan dengan cara menghabiskan nyawa dan lari dari pada kesulitan yang kau hadapi!”

Kakek yang tadinya menundukkan mukanya yang sedih itu kini memandang dengan penuh keheranan.

“Siapakah kau, nona? Siapakah kau yang semuda ini telah dapat mengeluarkan ucapan seperti itu?”

“Orang menyebutku Hwe-thian Moli, namaku Nyo Siang Lan. Sekarang lekaslah kau ceritakan kepadaku mengapa kau berlaku nekad seperti ini. Kalau kau sendiri tidak dapat memecahkan kesulitan yang kau hadapi, mungkin aku dapat menolongmu.”

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. “Sulit, sulit

....”Kemudian atas desakan Hwe-thian Moli ia lalu menuturkan keadaannya.

Kakek itu bernama Lim Bun dan hidup berdua dengan anak perempuannya di kota Kang-leng dalam keadaan miskin sebagai seorang petani yang memiliki sebidang kecil sawah. Anak perempuannya telah menjadi janda yang ditinggal mati suaminya dengan peninggalam lima orang anak yang kesemuanya lalu tinggal bersama kakek mereka, yakni Lim Bun itu. Semenjak anak perempuan dan cucu-cucunya tinggal bersamanya dan hidup mereka menjadi tanggungannya, mulai sukarlah keadaan kakek ini. Biasanya ia hanya mencari nafkah untuk dirinya sendiri oleh karena anaknya telah mendapat perlidungan dari suam inya, akan tetapi sekarang ia harus dapat mencari makan untuk tujuh mulut. Tentu saja tenaganya yang sudah tua itu tidak kuat untuk mencari nafkah sebesar ini.

Cucu-cucunya masih kecil dan yang sulung adalah seorang perempuan pula sehingga tenaga bantuannya tak banyak dapat diharapkan. Cucunya yang sulung itu telah berusia lima belas tahun dan dapat dibilang cantik juga.

Posting Komentar