Tadinya Yap Cin masih memandang rendah, akan tetapi ketika pedang itu menyambar bagaikan kilat ke arah lehernya sedangkan selendang itu bagaikan seekor ular menotok ke arah ulu hatinya, ia menjadi terkejut juga. Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang dengan gerak lompat Naga Hitam Memutar Tubuh sambil mencabut keluar senjatanya yang lihai, yakni sebatang ruyung lemas yang berduri. Tanpa banyak cakap iapun lalu membalas dengan serangan hebat, akan tetapi dengan amat lincahnya gadis itu mengelak.
Serang menyerang terjadi dan dalam beberapa gebrakan saja diam-diam Yap Cin mengeluh. Gadis ini gerakannya amat cepat, ginkangnya sudah amat tinggi dan ilmu silat yang dima inkan oleh kedua tangannya benar-benar aneh dan lihai sekali.
Pedang tipis itu menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, sedangkan selendang merah itupun tak boleh dipandang ringan, oleh karena angin sambarannya saja sudah terasa pada kulitnya. Maka ia tidak berani untuk mencoba-coba dan menyambut totokan selendang itu. Terpaksa Yap Cin mengerahkan se luruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus saja, ia terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja.
“Bangsat terkutuk mampuslah kau!” berkali-kali Lian Hong berseru dengan gemas tiap kali senjatanya menyerang. Gadis ini merasa gemas dan benci sekali sehingga set iap serangannya merupakan pukulan maut yang amat berbahaya. Hanya berkat tenaganya yang besar serta pengalamannya bertempur yang banyak sajalah maka Yap Cin masih kuasa mempertahankan diri.
Akan tetapi pada suatu saat, selendang di tangan kiri Lian Hong bergerak sedemikian rupa menotok ke arah jalan darah di pundaknya. Ketika Yap Cin mengelak ke kiri, bagaikan bermata dan hidup se lendang merah itu mengejar ke kiri dan tahu-tahu telah melibat lehernya.
“Mampuslah jahanam!” kembali Lian Hong berseru keras dan ia menarik selendangnya kuat-kuat untuk mencekik leher musuh besarnya itu. Yap Cin merasa seakan-akan lehernya dicekik oleh tangan manusia yang amat kuat sehingga lidahnya menjulur keluar dan matanya mendelik.
Untung baginya bahwa pada saat itu, kelima orang kawannya lalu menyerbu dan mengeroyok Lian Hong. Terpaksa gadis ini melepaskan selendang merahnya dari libatan pada leher musuhnya sehingga Yap Cin dapat bernapas lagi sambil meraba-raba lehernya. Kemudian enam laki-kai itu lalu mengeroyok Lian Hong.
Lima orang kawan Yap Cin itu bukanlah ahli-ahli silat biasa saja dan rata-rata mereka telah memiliki ilmu silat tinggi. Karena mereka semua mempergunakan pedang dan mengurung dengan secara teratur pula, dikepalai oleh Yap Cin yang merasa sakit hati dan marah, agak sibuk jugalah Lian Hong menghadapi mereka.
Namun dara perkasa ini sedikitpun tidak menjadi gentar. Ia tidak mau mundur setapakpun dan melakukan perlawanan dengan sengit, bahkan membalas dengan serangan-serangan ke berbagai jurusan.
Yang paling berbahaya dan terhebat serangannya di antara enam orang pengeroyoknya itu adalah Yap Cin sendiri. Si Lutung Sakti ini selain maklum bahwa ia harus membinasakan puteri Ong Han Cu yang telah ditewaskannya bersama-sama kawan-kawannya itu, juga ia merasa amat penasaran dan marah sekali.
Ia adalah seorang kang-ouw yang tenar dan telah terkenal memiliki ilmu silat yang tidak rendah apakah sekarang ia benar-benar harus jatuh dan kalah oleh seorang dara remaja? Apa lagi kalau sampai terdengar orang lain bahwa ia, Si Lutung Sakti, bersama lima orang ahli silat lain mengeroyok seorang nona berusia belasan tahun.
Ah, alangkah akan ma lunya! Karena ini Si Lutung Sakti Yap Cin lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang dengan mati-matian. Ruyungnya menyambar-nyambar mendatangkan angin sehingga Lian Hong harus berlaku waspada dan hati- hati sekali. Sekali saja terkena hantaman ruyung di tangan Yap Cin, akan celakalah dia.
Pertempuran telah dilakukan lima puluh jurus, namun belum juga enam orang laki-laki itu dapat merobohkan Lian Hong. Mereka merasa amat penasaran dan mengurung makin rapat, menyerang dengan bertubi-tubi sehingga keadaan Lian Hong amat terdesak.
Gadis inipun tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan enam orang lawannya karena senjata enam orang lawannya menyerang bagaikan hujan datangnya. Kalau ia mau, dengan menggunakan ginkangnya, ia akan dapat melarikan diri dari kepungan enam orang ini, akan tetapi gadis ini memiliki ketabahan dan kenekatan besar.
Biarpun ia mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran yang berat sebelah ini, ia takkan dapat menang, namun untuk meninggalkan musuh besarnya begitu saja, iapun merasa berat. Maka sambil mengerahkan tenaga dan mengumpulkan semangat, Lian Hong terus melakukan perlawanan.
Pada saat keadaan Lian Hong sudah terdesak sekali, tiba- tiba terdengar seruan keras, “Yap Cin bangsat tak tahu malu! Kau mengandalkan keroyokan enam orang untuk mengepung seorang gadis muda! Hah, orang macam kau ini tak patut hidup lagi!” Dan berbareng dengan kata-kata itu, muncullah seorang tosu tua dengan tangan kanan memegang kebutan dan tangan kiri memegang kipas.
“Suhu ....!” seru Lian Hong dengan girang sekali, akan tetapi ia segera berkata kepada suhunya. “Suhu, biarkan teecu membalas dendam ayah kepada jahanam she Yap ini dan tolong suhu usir saja lima orang anjing yang tak tahu malu ini!”
Ouwyang Sianjin tertawa bergelak dan begitu kebutannya bergerak, buyarlah kepungan itu. Seorang pembantu Yap Cin roboh terguling-guling terkena sambaran ujung kebutan dan empat orang yang lain segera mengeroyoknya, meninggalkan Yap Cin menghadapi gadis itu sendiri.
Pertempuran terbagi dua bagian dan kini keadaan menjadi terbalik. Empat orang kawan Yap Cin itu mana dapat menandingi Ouwyang Sianjin? Dengan enak dan mudahnya Ouwyang Sianjin mainkan kebutannya tanpa mempergunakan kipasnya untuk menyerang karena kipas itu bahkan digunakan untuk mengipasi tubuhnya sendiri seakan-akan pertempuran itu membuat ia merasa gerah.
Sementara itu, ketika mendengar dari Lian Hong bahwa tosu tua itu adalah suhu dari gadis perkasa ini, Yap Cin terkejut sekali. Iapun pernah mendengar dari sahabatnya, yakni Leng Kok Hosiang bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang saudara seperguruan yang bernama Ouwyang Sianjin, seorang tosu yang lihai dan bersenjata kebutan dan kipas, maka melihat tosu ini, tahulah dia bahwa yang datang ini tentulah Ouwyang Sianjin. Untuk melarikan diri, tak mungkin lagi karena Lian Hong mengurungnya dengan pedang dan selendangnya yang lihai, maka ia lalu me lakukan perlawanan mati-matian. Namun, karena ia memang kalah gesit dan kalah lihai ilmu silatnya, ditambah pula hatinya telah gentar dan ketakutan sehingga permainan senjatanya agak kacau. Baru saja bertempur belasan jurus, selendang ditangan kiri Lian Hong berhasil melibat lengan kanannya yang memegang ruyung.
Yap Cin mencoba untuk melepaskan tangannya akan tetapi sia-sia saja dan sebelum ia dapat mengelak, pedang di tangan kanan Lian Hong telah menusuk dadanya dengan gerak tipu Benang Mas Masuk Lubang jarum, sebuah gerak tipu serangan yang amat cepat dan tepat sekali datangnya. Yap Cin menjerit ngeri dan tubuhnya terjengkang ke belakang dengan dada menyemburkan darah dan ruyungnya terlepas dari pegangan.
Setelah berhasil menewaskan musuh besarnya, Lian Hong menengok ke arah suhunya yang tadi dikeroyok oleh empat orang kaki tangan Yap Cin, akan tetapi ternyata suhunya telah berdiri menganggur karena semua lawannya telah roboh sambil merintih-rintih tak dapat bangun lagi.
Lian Hong lalu maju dan berlutut di depan suhunya sambil menangis sedih karena ia teringat akan ayahnya.
Ouwyang Sianjin mengelus-elus kepala muridnya dan berkata.
“Anak baik, sudahlah jangan kau bersedih. Ayahmu telah tewas dan karena kematiannya t idak sewajarnya, maka sudah menjadi tugas kewajibanmu untuk membalas dendam agar roh ayahmu tidak menjadi penasaran. Kau telah berhasil menewaskan Yap Cin, dan kini masih ada empat orang lagi yang harus dibalas. Akan tetapi, kau tidak boleh bertindak terburu nafsu, muridku, karena ketahuilah bahwa musuh- musuhmu bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Apalagi Leng Kok Hosiang yang memiliki ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu dan Cin Lu Ek yang berjuluk Naga bermata Emas. Kau harus menggunakan kecerdikan dan jangan sampai gagal menghadapi mereka. Ketahuilah bahwa murid ayahmu, yakni sucimu yang bernama Nyo Siang Lan dan yang telah dijuluki Hwe-thian Moli, juga telah mencari musuh-musuhmu ini. Kalau kau bertemu dengan dia, boleh kau bersama-sama dia melakukan tugas berbahaya ini.”
“Teecu hanya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari suhu,” jawab Lian Hong, setelah ia disuruh berdiri oleh suhunya itu. “Hanya seorang saja yang sudah kuketahui tempat tinggalnya, yakni Liok Kong yang berjuluk Toat-beng Sin-to. Ia tinggal di Kan-cou Propinsi Kiangsi dan kebetulan sekali pada bulan depan ia akan mengadakan pesta ulang tahunnya. Kau datanglah ke sana, akan tetapi sungguhpun permainan golok dari orang she Liok ini tak perlu kau takuti, namun di sana tentu terdapat kawan-kawannya yang menjadi tamu. Maka kau harus berlaku cerdik dan mengingat bahwa kau pandai menari, ada baiknya kalau kau menyamar sebagai seorang penari, pura-pura menjadi utusan seorang hartawan besar dan menari di depannya. Kemudian pada saat yang baik sete lah kau dapat berhadapan dengan dia, kau turun tangan!”
Demikianlah, setelah mendapat pesan dan banyak nasihat dari gurunya, Lian Hong lalu di suruh pulang ke kota raja sedangkan tosu tua itu lalu melanjutkan perjalanannya. Memang sungguh kebetulan sekali bahwa orang tua itu datang pada saat Lian Hong berada di dalam bahaya.
Sesungguhnya ketika orang tua itu mencari Yap Cin di Kam-ciu, sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Yap Cin tidak berada di kota dan sedang berpesta dan berpelesir di kota lain selama setengah bulan. Tosu itu menanti di Kam-ciu sampai setengah bulan sehingga akhirnya ia menjadi kesal dan hendak menyusul orang she Yap itu. Kebetulan sekali pada hari itu, Yap Cin juga pulang dari tempat pelesir dan bertemu dengan Lian Hong.