KAKEK itu melangkah maju lagi penasaran. “Apakah salahnya kalau aku menyentuhmu, memelukmu? Apakah dulu ketika kau masih kecil tidak kugendong-gendong, kuciumi dan kupeluk? Lian Hong, janganlah kau bersikap seaneh ini. Ibumukah yang mengajarmu bersikap sekurang ajar ini terhadap ayahmu sendiri?”
Sambil berkata demikian, ia me lompat maju dan memegang lengan tangan Lian Hong lalu hendak memeluknya. Sikap gadis yang luar biasa cantiknya ini telah merangsang hatinya dan membuatnya mata gelap saking besarnya nafsu jahat bergelora di dalam dadanya. Hartawan ini pernah belajar ilmu silat maka ia berhasil menangkap tangan Lian Hong, akan tetapi sekali gadis itu menggetakkan lengannya, ia dapat melepaskan tangan itu dan kini ia tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia berdiri dengan mata bersinar-sinar dan muka merah karena marah.
“Tua bangka! Kau masih tidak malu menyebut aku sebagai anakmu? Aku bukan anakmu! Kau kira aku tidak tahu akan hal ini? Aku adalah anak dari Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, seorang pendekar gagah perkasa, bukan seorang bandot tua gila perempuan macam kau!”
Bukan main kagetnya hartawan itu mendengar ucapan ini. Ia merasa kaget dan juga marah sekali karena ia amat terhina. Sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu, ia berkata, “Bagus, tentu ibumu yang telah berlancang mulut dan membuka rahasia kebusukkan ini! Sungguh tidak tahu malu! Bagus sekali kalau kau sudah tahu bahwa kau adalah anak dari seorang perampok, seorang liar hina dina, seorang petualang miskin. Kau tentu tidak mengira bahwa kau adalah hasil perjinaan dari bangsat perampok itu dengan ibumu yang tak tahu malu ”
“Plak!!” tiba-tiba tubuh hartawan itu terhuyung ke belakang dan dari mulutnya mengalir darah. Secepat kilat tangan Lian Hong tadi te lah menampar mulutnya, membuat bibirnya pecah dan mengeluarkan darah.
“Bangsat tua bangka!” Lian Hong memaki dengan marah sekali. “Kalau kau tidak lekas menarik kembali ucapanmu yang busuk dan minta ampun, aku akan membunuhmu!” Kembali kedua tangannya bertubi-tubi menyerang, membuat tubuh ayah tirinya itu terguling-guling dan kakek bandot tua itu berkuik-kuik menjerit kesakitan.
“Hayo lekas minta ampun!” seru Lian Hong sambil memukul lagi. Biarpun gadis ini baru berusia empat belas tahun namun ia telah mempelajari ilmu silat tinggi sehingga tenaganya sudah besar dan lihai sekali. Kalau ia mau, dengan sekali pukul ia dapat mengirim nyawa bandot tua itu ke neraka, akan tetapi Lian Hong masih teringat bahwa hal ini akan menimbulkan kegemparan.
Pada saat itu, muncullah Bwe Kim yang mendengar suara suaminya menjerit-jerit, seperti anjing dipukul. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa yang menghajar suaminya adalah Lian Hong.
“Lian Hong .... jangan ...!” teriaknya sambil menubruk dan merangkul anaknya.
Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Lian Hong berkata.
“Biarlah ibu ...... bangsat tua bangka ini te lah menghina ibu dan ayah biar kuhajar dia sampai mampus!”
“Jangan, Lian Hong, sabarlah .... amat memalukan kalau terdengar oleh orang lain ”
Sementara itu, hartawan yang tadinya bergulingan di atas lantai, ketika mendapat kesempatan, lalu bangun berdiri.
“Baik sekali!” katanya dengan marah sambil menuding ke arah isterinya. “Orang-orang tidak tahu diri, tidak kenal budi dan tidak tahu ma lu! Aku sudah menolongmu dari seorang janda hina dina yang mempunyai anak, aku telah mengangkatmu menjadi isteriku yang terhormat. Sekarang kau lakukan hal ini terhadapku, bagus! Aku akan ceraikan kau, dan kalian boleh mengikuti perampok hina dina itu ” Akan tetapi tiba-tiba Lian Hong memberontak dari pelukan ibunya dan sekali gadis ini mengirim pukulan ke arah iga ayah tirinya, robohlah bandot tua itu dengan mata mendelik dan pingsan. Bwe Kim menjerit, akan tetapi Lian Hong lalu menarik tangan ibunya.
“Ibu, mari kita pulang ke rumah kong-kong (kakek),” kata Lian Hong.
“Ayah tidak akan mau menerima kita ...!”
“Biarlah,” kata Lian Hong gemas, “Kalau tidak mau menerima, kita pergi berdua mencari ayah!”
Demikianlah dengan setengah memaksa, Lian Hong membawa ibunya keluar dari rumah ayah tirinya dan pergi ke rumah Ciok-taijin.
Pembesar ini bersama isterinya menerima kedatangan mereka dengan terheran-heran. Bwe Kim tak dapat berkata sesuatu hanya menjatuhkan diri berlutut di depan ayah bundanya sambil menangis sedih.
Sebaliknya, dengan sikap gagah dan menantang seperti ayahnya dulu, Lian Hong berkata kepada Ciok-taijin suami isteri yang amat sayang kepadanya.
“Kong-kong telah menjerumuskan ibu ke dalam jurang kehinaan dan penderitaan!” Dengan lancar ia lalu menceritakan betapa ayah tirinya telah memelihara banyak sekali gundik tanpa memperdulikan ibunya, dan juga terus terang ia ceritakan betapa ayah tirinya selalu berlaku kurang ajar dan tidak sopan terhadap dia sehingga ia menceritakan pula tentang peristiwa yang baru saja terjadi.
“Sekarang terserah kepada kong-kong. Kalau kong-kong mau menerima ibu dan aku untuk kembali tinggal di sini, baiklah, ibu dan aku akan tinggal di sini, merawat kong-kong berdua dan akan menurut segala kata-kata kong-kong. Akan tetapi kalau tidak mau menerima kita, juga tidak apa. Kami berdua akan pergi mencari ayah!”
Ciok-taijin dan isterinya saling pandang. Nyonya Ciok tak terasa lagi mencucurkan airmata sambil merangkul cucunya, sedangkan Ciok-taijin lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,
“Bwe Kim, sungguh tidak kunyana sekali bahwa kau puteri kami satu-satunya selalu mendatangkan kepusingan dan kekecewaan kepada orang tuamu ”
Bwe Kim memeluk kaki ayahnya dan berkata lirih memilukan.
“Ampun, ayah .... ampunkan anak yang puthauw (tidak berbakti atau durhaka).”
Akan tetapi Lian Hong lalu melepaskan diri dari pelukan neneknya dan sambil menghadapi kakeknya dengan mata bernyala ia berkata membela ibunya. “Kong-kong! Mengapa kong-kong menyalahkan ibu? Dalam hal ini ibulah yang menderita, padahal ibu selalu hanya menurut perintah kong- kong! Ibu menikah dengan ayah atas perintah kong-kong, kemudian ibu menikah dengan jahanam itupun atas perintah kong-kong. Kalau pernikahan itu gagal dan ibu menderita karenannya, apakah itupun harus disa lahkan kepada ibu? Sungguh tidak adil!”
Tertegun kedua suami isteri bangsawan itu mendengar ucapan dan melihat sikap cucu mereka ini. Mereka saling pandang dan Ciok-taijin lalu memeluk cucunya sambil berkata,
“Kau keras kepala dan berani seperti ayahmu, dan kau jauh lebih uhauw (berbakti) daripada ibumu. Baiklah, kami menerima kalian, akan tetapi semenjak saat ini, kalian harus mentaati segala kata-kataku.”
Dengan girang sekali Bwe Kim menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedan. Ia merasa amat girang bahwa akhirnya ia dapat kembali ke rumah orang tuanya di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kembali ke rumah orang tuanya berarti bahwa ia terlepas dari pada kesengsaraan batin dan penderitaan.
Demikianlah, semenjak hari itu, Lian Hong bersama ibunya tinggal di rumah gedung Ciok-taijin. Bwe Kim memesan kepada puterinya agar supaya mentaati segala nasehat kong- kongnya. Tentu saja Lian Hong menurut akan pesan ibunya ini dan ia mulai belajar ilmu surat sebagaimana yang dikehendaki oleh Ciok-taijin. Bahkan, ketika Ciok-taijin memuji-muji kepandaian menari dari seorang selir kaisar, gadis remaja inipun lalu belajar menari. Ternyata ia berbakat baik sekali dalam tari-tarian dan gerakannya amat indah sehingga guru tarinya, seorang guru tari kerajaan, amat memujinya.
Setahun kemudian, pada suatu hari, di luar gedung Ciok- taijin datang seorang hwes io tua yang bertubuh gemuk sekali. Hwesio ini adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pernah dirobohkan oleh Pat-jiu kiam-ong Ong Han Cu lima tahun yang lalu. Dengan amat sakit hati penjahat yang berpura-pura menjadi pendeta ini lalu melatih diri di puncak gunung dan mempelajari ilmu silat yang disebut Hek- coa Tok-jiu (Pukulan Tangan Racun Ular Hitam), semacam ilmu pukulan yang luar biasa jahat dan lihainya. Jangankan sampai terkena pukulan tangan yang telah diisi bisa ular hitam ini, baru terkena sambaran anginnya saja sudah merupakan bahaya maut yang sukar sekali dihindarkan. Selama lima tahun hwes io ini melatih diri dengan amat giatnya dan setelah mempelajari dengan sempurna, ia lalu turun gunung untuk membalas dendam kepada Ong Han Cu.
Ia mendengar bahwa Ong Han Cu adalah mantu dari Ciok- taijin, maka langsung ia mendatangi rumah gedung bangsawan itu. Kepada penjaga pintu ia berkata kasar.
“Katakan kepada Ong Han Cu bahwa aku Jai-hwa-sian Leng Kok Hosiang hendak bertemu.” Penjaga itu menjadi mendongkol melihat sikap kasar ini dan menjawab dengan kasar pula. “Di sini tidak ada orang bernama Ong Han Cu dan kalau kau mau minta derma, pergilah ke rumah orang lain. Jangan kau mengganggu, karena ini adalah rumah Ciok-taijin yang tentu takkan mengampuni kalau kau berani berlaku kurang ajar!”
Hwesio itu tertawa bergelak. “Hm, kau bohong! Kalau dia tidak ada, suruhlah pembesar she Ciok itu keluar untuk membayar hutang mantunya!”
“Eh, hwes io kurang ajar dari manakah kau berani mengacau di s ini? Hayo pergi sebelum kupukul!” kata penjaga itu. Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, tubuhnya telah terlempar jauh padahal hwes io itu hanya mengebutkan ujung lengan bajunya saja.
Penjaga itu berteriak-teriak kesakitan dan minta tolong, maka dari dalam pekarangan gedung itu berserabutan keluar sepuluh orang penjaga yang setiap hari secara bergiliran menjaga keselamatan bangsawan she Ciok itu. Dengan marah para penjaga itu lalu mencabut golok dan mengurung hwesio gemuk itu yang tertawa bergelak sambil memandang dengan mata mengejek.
“Ha, ha, anjing-anjing penjaga yang menjemukan! Kalau kalian tidak ingin digebuk, lekas beritahukan kepada Ong Han Cu atau mertuanya she Ciok itu agar keluar bertemu dengan pinceng!”
Akan tetapi tentu saja para penjaga tidak meladeni omongan hwesio yang dianggap kurang ajar ini dan mereka segera menyerang dengan golok mereka. Hwesio itu kembali tertawa bergelak dan bagaikan kitiran angin, kedua tangannya diputar dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar- nyambar ke arah sepuluh orang penjaga itu. Kalau dilihat sungguh mengherankan sekali oleh karena begitu senjata- senjata tajam para penjaga bertemu dengan ujung lengan baju, para penjaga itu berteriak kaget dan senjata mereka terlepas dari pegangan. Hiruk pikuk suara senjata-senjata itu terlempar dan jatuh di atas tanah, berbareng dengan robohnya tubuh para penjaga dan teriakan-teriakan kesakitan dari mereka.
Peristiwa ini te lah dilihat oleh seorang pelayan yang segera memberi laporan ke dalam. Kebetulan sekali Ciok-taijin sedang duduk bersama isterinya, Bwe Kim, dan Lian Hong. Mendengar laporan pelayan bahwa di luar ada seorang hwesio hendak bertemu dengan Ong Han Cu atau bangsawan Ciok, dan betapa hwesio itu mengamuk, Lian Hong menjadi marah sekali dan gadis cilik ini segera berlari keluar membawa sebatang pedang.