Iblis dan Bidadari Chapter 09

NIC

Pada waktu itu, Ciok-taijin telah menerima lamaran seorang hartawan untuk Bwe K im, nyonya janda yang masih muda dan yang kecantikannya tidak kalah oleh gadis-gadis cantik lainnya. Bwe Kim menolak keras, akan tetapi terpaksa ia tunduk terhadap ayahnya pula. Nyonya ini merasa berduka sekali, terutama sekali ia merasa kasihan kepada Lian Hong. Akan tetapi calon suaminya menyatakan suka menerima Lian Hong sebagai anak sendiri, sehingga hati nyonya janda ini menjadi lega juga.

Akan tetapi, setelah perkawinan dilangsungkan dan Bwe Kim menjadi nyonya hartawan itu, ternyata bahwa suaminya ini adalah seorang bandot tua yang mata keranjang sekali. Baru menikah beberapa bulan saja, sikap suaminya ini menjadi dingin, bahkan suam inya berani menunjukkan sikap kurang ajar dan kurang sopan kepada Lian Hong yang baru berusia hampir tujuh tahun itu.

Tentu saja Bwe Kim menjadi marah sekali dan baiknya ia adalah puteri dari seorang pembesar tinggi sehingga ia dapat mengancam suaminya. Kalau saja suaminya tidak takut kepada Ciok-taijin, tentu hidup Bwe Kim akan menjadi makin sengsara saja.

Akan tetapi Bwe Kim dapat menekan penderitaan hatinya, bahkan ia merasa terhibur melihat sikap dingin dari suaminya yang dibencinya itu. Ia malahan menganjurkan agar supaya suaminya ini memelihara isteri muda sebanyak mungkin sehingga ia terhindar dari pada gangguan suami hartawan ini. Memang, pada waktu itu, lebih baik menjadi isteri seseorang yang kurang bijaksana dari pada menjadi janda muda karena hal ini akan merendahkan namanya. Menjadi isteri orang berarti mendapat tempat perlindungan yang aman sentausa, sungguhpun suaminya itu merupakan seorang suami yang tidak baik.

Kini Bwe Kim mengundang seorang guru silat yang pandai untuk mendidik Lian Hong dalam ilmu silat. Ternyata gadis kecil ini berbakat sekali sehingga gurunya merasa kagum dan juga bangga. Sayangnya, guru silat ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja.

Ketika Lian Hong berusia sembilan tahun, pada suatu hari di dalam kebun bunga di mana ia berlatih silat di bawah bimbingan guru silat itu, ia sedang berlatih ilmu silat pedang dengan sebatang pedang kayu. Ilmu pedang yang dimainkan adalah ilmu pedang asal dari cabang Bu-tong-pai yang indah gerakannya, akan tetapi bagi mata seorang ahli, yang dima inkan oleh guru silat yang mengajar gadis cilik itu hanyalah ilmu pedang kembangannya saja yang indah dilihat akan tetapi kurang berguna dalam pertempuran.

“Nah, sekarang cobalah kau meniru gerakan-gerakanku tadi!” kata guru silat itu kepada Lian Hong yang semenjak tadi memandang dengan kagum.

Pada saat gadis cilik ini hendak berlatih, tiba-tiba dari atas pagar tembok kebun bunga itu melayang turun seorang laki- laki yang pakaiannya tidak karuan akan tetapi wajahnya tampan dan gagah sekali. Dengan ringan kedua kakinya turun menginjak tanah di depan guru s ilat she Liong itu.

“Eh, siapakah kau dan apa maksudmu datang ke sini?” bentak guru silat she Liong itu kepada orang ini.

Orang ini tersenyum mengejek dan berkata, “Orang macam kau ini hendak mengajar silat kepadanya? Gila! Dengarlah, mulai sekarang, setiap kali waktu latihan, kau berdiri saja di sini dan akulah yang akan mengajarnya! Mengerti?”

“Eh .... kurang ajar ... siapakah kau ?”

“Kau boleh menyebutku seperti orang lain, yakni Pat-jiu Kiam-ong!”

Guru silat she Liong ini memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap dan mukanya pucat sekali seakan-akan ia melihat setan di siang hari.

“Pat ... pat jiu ... kiam-ong ..? Be.. benarkah?” tanyanya gagap dan masih tidak percaya.

“Sudah diamlah dan jangan banyak bergerak!” kata Pat-jiu Kiam-ong sambil menepuk pundak guru silat she Liong itu. Seketika itu juga orang she Liong ini berdiri kaku bagaikan patung batu karena ia telah terkena tiam-hwat (ilmu totok) yang lihai dari Pat-jiu Kiam-ong ini.

Orang ini, yakni Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) sebenarnya bukan lain adalah Ong Han Cu sendiri. Di dalam perantauannya, ia telah berhasil menemukan kitab ilmu pedang di puncak Gunung Liong-cu-san dan telah mempelajari ilmu pedang itu sampai sempurna betul. Bahkan ia telah mendapatkan seorang murid wanita, yakni Nyo Siang Lan yang dibawa ke atas Gunung Liong-cu-san dan dididik ilmu s ilat t inggi.

Pada hari itu, ia meninggalkan muridnya berlatih seorang diri di gunung itu dan turunlah ia ke kota raja mencari rumah mertuanya. Ia tidak mempunyai niatan untuk mengganggu, hanya karena ia merasa rindu sekali kepada isterinya, terutama sekali kepada puterinya, maka ia ingin melihat mereka.

Ia tidak menjadi marah ketika mendengar bahwa isterinya itu telah menikah lagi dengan seorang hartawan, karena ia maklum bahwa hal ini tentulah kehendak mertuanya. Ia maklum pula bahwa memang kedudukan seorang janda muda amat tidak baik, maka pernikahan itu hanya membuat ia menarik napas panjang beberapa kali saja.

Namun, rindunya terhadap puterinya makin membesar dan akhirnya ia lalu mencari rumah hartawan yang menjadi suami Bwe Kim itu. Dari hasil penyelidikannya ia memperoleh keterangan bahwa puteri keluarga kaya ini yang bernama Lian Hong setiap senja berlatih silat di kebun bunga yang berada di belakang rumah. Oleh karena memang niatnya hanya hendak bertemu dengan puterinya, maka pada hari itu ia sengaja melompati pagar tembok di belakang rumah dan kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat seorang gadis cilik yang amat cantik jelita tengah dilatih silat oleh seorang guru silat yang kepandaiannya biasa saja. Lian Hong yang menyaksikan perbuatan pendekar ini, menjadi terheran-heran, akan tetapi sedikitpun ia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan memandang dengan sepasang matanya yang bening seperti burung hong itu. Ingin sekali Ong Han Cu memeluk puterinya, akan tetapi ia menahan hasratnya ini dan tersenyum manis dan ramah kepada gadis cilik itu.

“Kau bernama Lian Hong, bukan?” akhirnya setelah dapat menekan keharuan hatinya ia bertanya lembut.

Lian Hong mengangguk heran dan bertanya, “Orang tua, kau apakan Liong-suhu ini? Mengapa ia menjadi kaku seperti patung?”

Pat-jiu Kiam-ong tertawa geli, “Tidak apa, jangan kau khawatir, anak baik. Orang she Liong ini hanya kutotok jalan darahnya agar tidak membikin ribut.”

“Sebetulnya, apakah maksudmu datang kesini dan membikin Liong-suhu tidak berdaya?” tanya pula Lian Hong.

“Anak yang manis, tiada gunanya kau belajar kepada orang macam ini. Apakah kau ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi?”

Lian Hong adalah seorang anak yang cerdik sekali. Melihat perbuatan orang itu terhadap suhunya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia mengangguk.

“Bagus,” kata Ong Han Cu. “Kalau begitu, mulai sekarang biarlah aku menggantikan orang ini mengajar ilmu silat kepadamu!” Ia berhenti sebentar, memandang tajam kepada gadis cilik itu lalu bertanya, “Sukakah kau menjadi muridku?”

Lian Hong ragu-ragu, “Aku aku ingin sekali mempelajari

ilmu silat tinggi, akan tetapi ... aku tidak tahu siapa lopek ini, dan baiknya aku bertanya dulu kepada ibuku!” Sambil berkata demikian, gadis itu hendak lari masuk, akan tetapi sekali melompat saja Pat-jiu Kiam-ong telah berada di depannya menghadang di tengah jalan. Gadis cilik itu terkejut sekali karena tidak tahu bagaimana orang tua ini tahu-tahu telah berada didepannya.

Pat-jiu Kiam-ong mengangkat kedua tangannya dan menggerak-gerakkan tangan itu ke kanan kiri. “Jangan .....

jangan kau memanggil ibumu. Aku tidak apa-apa, hanya akan menurunkan ilmu pedang yang bagus dan tinggi kepadamu. Jangan kau menceritakan kepada siapa juga bahwa aku mengajar ilmu silat kepadamu. Nah, kau lihat pohon itu, bukankah cabang-cabang dan daun-daunnya tidak rata. Perhatikan pedangku dan kemudian katakanlah apakah kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini!” Orang tua ini lalu melepaskan ikat pinggangnya yang ternyata adalah sebuah pedang tipis sekali, lalu ia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang cepat ke atas ke arah pohon itu. Lian Hong tidak melihat bagaimana orang itu bergerak, hanya melihat sinar pedang bergulung–gulung disektar pohon itu dan tahu-tahu cabang dan daun-daun pohon jatuh berhamburan di bawah pohon.

Ketika sinar pedang itu lenyap, orang itu telah turun dan berdiri pula di depannya sambil tersenyum. Apabila ia menengok ke arah pohon itu, ternyata kini cabang-cabang dan daun-daun itu telah dibabat menjadi rata sehingga pohon itu berubah menjadi berbentuk payung yang bagus sekali. Hampir saja Lian Hong bersorak girang melihat kehebatan ini.

“Nah, sukakah kau mempelajari ilmu pedang ini?”

“Hebat, hebat ......!” gadis cilik itu memuji. “Bagaimanakah aku dapat mempelajari ilmu semacam itu? Seperti sulap saja!”

Pat-jiu Kiam-ong tertawa geli, “Bukan sulap, juga bukan sihir, anak baik. Perbuatan itu dapat kau lakukan apabila kau telah memiliki ilmu ginkang yang tinggi dan pergerakan pedang yang cepat dan tepat. Nah, apakah kau suka menjadi muridku?” Dengan hati yang amat girang, serta merta Lian Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu dan Ong Han Cu lalu memegang pundak gadis itu, diangkatnya bangun. Ingin sekali ia memeluk anaknya ini, akan tetapi karena ia tidak mau membikin kaget anak itu, dan tidak mau membuka rahasianya, maka ia hanya memegang kedua pundak gadis itu dan memandang mukanya dengan mesra sekali. Keharuan besar membuat kedua matanya tiba-tiba mengeluarkan air mata tanpa dapat dicegah lagi.

“Eh ..... suhu, mengapa kau mengalirkan air mata?” tanya Lian Hong dan entah mengapa, di dalam hatinya gadis cilik ini merasa kasihan sekali kepada orang yang kini menjadi gurunya ini.

Mendengar pertanyaan ini, sadarlah Ong Han Cu dari lamunannya dan ia segera melepaskan tangannya dan memaksa bibirnya tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, nak, ...tidak apa-apa. Kau mulai sekarang perhatikanlah segala petunjukku dan belajarlah baik-baik.” Ia lalu mulai memberi pelajaran kauwkoat (teori ilmu silat) kepada anaknya itu, disertai contoh-contoh menjalankan ilmu pukulan. Sampai beberapa lama mereka tekun sekali, yang seorang memberi petunjuk, yang lain meniru gerakan dan mengingat semua petunjuk yang diberikan.

Setelah senja berganti ma lam, Ong Han Cu lalu menghampiri guru silat she Liong yang masih berdiri di situ bagaikan patung, menepuk pundaknya sekali sehingga guru silat ini mengeluh dan jatuh duduk di atas tanah.

“Sahabat, kau kini tahu bahwa kau berhadapan dengan Pat-jiu Kiam-ong, maka janganlah kau main-main!” kata Ong Han Cu. “Mulai sekarang, anak ini menjadi muridku dan tiap sore aku datang kemari untuk me latihnya. Kau datanglah seperti biasa dan jangan kau ceritakan tentang kedatanganku ini kepada siapapun juga. Mengerti!!?” “Baiklah, taihiap!” kata guru silat itu dengan takut. Telah lama ia mendengar nama Raja Pedang Bertangan Delapan dan baru sekarang ia menyaksikan sendiri kehebatan pendekar ini karena biarpun ia berada dalam keadaan tertotok, tadi ia masih dapat menyaksikan ilmu pedang pendekar itu ketika berdemonstrasi membabat pohon.

Posting Komentar