Dendam Si Anak Haram Chapter 81 (Tamat)

NIC

“Dessss.....!!” Dorongan Kakek yang ternyata ketua Bu-tong-pai itu luar biasa kuatnya sehingga tubuh Kwan Bu terdorong mundur sampai dua meter! Akan tetapi pemuda ini tetap dalam keadaan berdiri tegak memasang kuda-kuda. sedangkan kuda-kuda ketua Bu-tong-pai itu tanpa dapat ditahannya lagi menjadi tergempur dan ia melangkah mundur dua langkah. Tosu itu memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Kwan Bu sudah berlutut di depan suhunya dan berkata.

“Mohon suhu sudi memaafkan teecu atas kelancangan teecu. Akan tetapi suhu sedang sakit, belum kuat betul, mana bisa teecu melihat saja suhu menghadapi lawan berat. Harap ijinkan teecu mewakili suhu.” Pat-jiu Lo-koai tertawa.

“Ha-ha-ha.... dasar bintang Bu-tong-pai yang agak suram, maka sebelum dapat mengalahkan pinceng, muncul muridku. Aku setuju, Kwan Bu. akan tetapi engkau berhati-hatilah, Tosu bau ini benar-benar memiliki sinkang yang amat kuat!” satelah berkata demikian, Pat-jiu Lo-koai sudah pergi menjauh dan duduk bersila di bawah sebatang pohon. meramkan mata tidak memperdulikan apa- apa lagi. Ketika Kwan Bu hendak menghadapi Thian Khi Tosu, tiba-tiba tangannya disentuh orang. la menoleh dan melihat Siang Hwi yang memegang tangannya dengan muka pucat dan mata basah air mata.

“Kwan Bu. hati-hatilah... !” Kwan Bu tersenyum, mengangguk dan malepaskan tangannya, Siang Hwi mundur kembali dan berdiri dengan kaki lemas. Giok Lan merangkulnya dan berbisik.

“Tenanglah cici, dia takkan kalah....” Akan tetapi ucapan ini bukan hanya untuk menghibur Siang Hwi, melainkan juga untuk menghibur hati Giok Lan sendiri yang berdebar gelisah. Ketika bersama telah menyaksikan Pat-jiu Lo-koai sendiri yang sakti terdesak dan kalah oleh Tosu tua yang lihai itu.

“Orang muda. engkau siapakah dan apa maksudmu menghadapi pinto?” Tosu tua itu menegur Kwan Bu, masih terlongong menyaksikan bahwa orang yang mampu menangkis pukulannya sehingga kuda-kuda tergempur tadi ternyata hanya seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tiga tahun! Kwan Bu memberi hormat, merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk agak dalam.

“Locianpwe, teecu adalah murid termuda dari suhu Pat-jiu Lo-koai dan terpaksa sekali teecu memberanikan diri menggantikan suhu karena suhu dalam keadaan sakit sehingga tidak semestinya melakukan pertandingan berat, teecu mendengar bahwa locianpwa Thian Khi Tosu adalah ketua Bu- tong-pai, maka besar harapan teecu bahwa locianpwe tentu memiliki cukup rasa keadilan, tidak mendesak seorang lawan yang sedang sakit dan mangalahkan muridnya yang menggantikan untuk mati di tangan locianpwe sebagai pembalasan budi terhadap guru. Syukur kalau locianpwe memiliki kebijaksanaan untuk tidak melanjutkan pertandingan yang berbahaya ini. Thian Khi Tosu tertegun, bukan hanya ucapan yang keluar dari mulut pemuda ini melainkan terutama sekali karena ia dapat menduga bahwa inilah pemuda yang bernama Kwan Bu, yang telah menggegerkan anak murid Bu- tong-pai.

“Apakah namamu Kwan Bu?”

“Tidak salah dugaan locianpwe” Kakek itu mengelus jenggotnya yang panjang, lalu matanya memandang ke arah Giok Lan dan Siang Hwi. Tiba-tiba ia bertanya.

“Mana gadis yang bernama Bu Siang Hwi yang terhitung masih cucu murid pinto?” Siang Hwi terkejut, betapapun juga, ayahnya adalah anak murid Bu-tong-pai, dan Kakek ini adalah ketua Bu- tong-pai. Andaikata ayahnya masih hidup dan bertemu dengan Kakek ini, tentu ayahnya akan menjatuhkan diri berlutut penuh penghormatan. Serta merta iapun menjatuhkan diri berlutut di tempat ia berdiri menghadap Kakek itu dari berkata.

“Teecu Bu Siang Hwi manghaturkan hormat kepada locianpwe.” Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian memandang ke arah Kwee Cin dan berkata,

“Yang mana murid Bu Keng Liong bernama Kwee Cin?” Kwee Cin tarkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut,

“Teecu Kwee Cin.......... murid yang berdosa....!” Kembali Kakek ini memandang penuh perhatian, kemudian ia mengalihkan pandangan kepada Siang Hwi dan bertanya, suaranya tenang,

“Bu Siang Hwi, benarkah engkau mencintai Kwan Bu?” pertanyaan ini membuat Siang Hwi dan Kwan Bu terkejut. Siang Hwi memandang Kakek itu dengan mata terbelalak, kemudian menundukkan muka, tidak kuasa manjawab. Dia adalah seorang wanita. seorang gadis terhormat, bagaimana mungkin ia dapat mengaku tentang cinta kasihnya secara terbuka dan didengarkan orang lain seperti itu?.

“Bu Siang Hwi! Benarkah engkau mencinta Kwan Bu? Jawablah!” kembali terdengar pertanyaan aneh dari ketua Bu-tong-pai itu. Dengan jantung berdebar sampai mencekik leher sehingga sukar sekali mengeluarkan suara. Siang Hwi menjawab,

“Be.. benar locianpwe!”

“Hemmmmm. dan engkau Kwee Cin. Benarkah engkau mencinta gadis adik Kwan Bu?”

“Benar sekali, locianpwe!” Giok Lan mengerling tajam kearah Kwee Cin dan merenggut dengan sikap menegur mendengar jawaban penuh gairah itu.

“Hemm.... hemmm.... Pat-jiu Lo-koai tidak berbohong kalau begitu. Dengarlah engkau, Kwan Bu. Tadi, gurumu dan pinto telah membuat perjanjian. Gurumu itu mengajukan permintaan agar dua orang murid Bu-tong-pai, yaitu Siang Hwi dan Kwee Cin dibebaskan bahkan minta doa restuku untuk dijodohkan dengan engkau dan adikmu. Sebaliknya, pinto menghendaki agar kalian berempat menjadi tawanan pinto untuk menebus Semua kekacauan yang telah kalian lakukan selama ini. kami berdebat dan akhirnya sepakat untuk memutuskannya dalam pertandingan. Siapa menang, dia berhak menentukan dan yang kalah harus menurut, pinto sudah berjanji dan takkan dapat menarik kembali janji pinto, maka menyingkirlah engkau dan biarlah suhumu maju melanjutkan pertandingan melawan pinto”. “Maafkan teecu. Suhu sedang sakit karena terkena racun ketika mengobati teecu. Pula, sebagai ketua Bu-tong-pai, teecu merasa yakin bahwa locianpwe tidak akan berpandangan picik dan dangkal. Mengenai urusan teecu berempat, teecu rasa hanyalah akibat dari kesalah-pahaman belaka. teecu sendiri sama sekali bukan seorang yang memusuhi kaum pejuang yang menantang kekuasaan kaisar lalim. sungguhpun teecu juga bukan tergolong seorang pejuang. teecu lebih condong dengan sikap yang diambil mendiang Bu Taihiap mengenai perang saudara itu.. Juga saudara Kwee Cin sama sekali bukanlah seorang murid Bu-tong-pai yang murtad atau menyeleweng. Perbuatan yang dilakukannya seolah-olah dia menyeleweng, sesungguhnya hanya demi menolong teecu dan adik perempuan teecu.” Dengan singkat Kwan Bu lalu menceritakan Semua kasalah-pahaman sehingga dia dicap sebagai kaum penentang kaum pejuang seperti suhengnya Phoa Siok Lun yang menjadi kaki tangan kaisar. kemudian ia menceritakan pula tentang sepak-terjang Kwee Cin.

“Demikianlah locianpwe. Harap locianpwe sudi menggunakan kebijaksanaan dan manghentikan pertentangan yang tidak manguntungkan ini.” Selama mendengarkan penuturan Kwan Bu, ketua Bu- tong-pai itu mengelus janggot sambil memandang wajah empat orang muda itu bergantian penuh selidik. Kini ia manghela napas panjang dan berkata,

“Ucapan yang keluar dari mulut seorang ketua merupakan ikatan yang tak mungkin dapat dilepas lagi. pinto sudah barjanji dengan Pat-jiu Lo-koai untuk bertanding. Kalau dia menang, barulah pinto akan manghabiskan semua pertentangan, bahkan akan memberi doa restu kepada kedua orang murid Bu-tong-pai yang memperoleh jodoh. Sebaliknya, kalau dia kalah, kalian berempat harus ikut bersama pinto ke Bu-tong-pai untuk mendapat pengadilan di sana.”

“Kalau begitu, terpaksa teecu memberanikan diri mewakili suhu dan menghadapi locianpwe.”

“Bagus! Memang ingin pinto menyaksikan sampai di mana kelihaianmu yang telah menggegerkan dunia kang-ouw. Engkau hendak menggunakan senjata atau bertangan kosong seperti suhumu?” Kwan Bu berlaku cerdik. Tadi ia telah menyaksikan kehebatan tenaga sinkang Kakek ini, bahkan gurunya sendiri pun telah memesannya agar berhati-hati terhadap tenaga sinkang lawan, maka ia lalu melepaskan pedangnya dan berkelebatlah sinar merah ketika Toat-bang-kiam yang telanjang berada di tangannya.

“Teecu menggunakan pedang pusaka suhu!”

“Siancai.... Toat-beng-kiam! pedang yang baik akan tetapi terlalu banyak minum darah manusia! Baiklah, orang muda, kita main-main sebentar dengan pedang! Tosu tua itu menggerakkan tangan dan telah mencabut pedang yang gagangnya beronce kuning itu. Tampak sinar putih berkelebat dan pedang putih di tangannya telah melintang di depan dada mengkilap tertimpa sinar bulan.

“Maafkan kelancangan teecu.....!” Kwan Bu berkata kemudian tubuhnya mencelat ke depan didahului sinar marah yang menyilaukan mata.

“Kiamsut yang hebat!” ketua Bu-tong-pai itu berseru dan cepat menggerakkan pedangnya,

Sama sekali tidak berani memandang ringan biarpun pemuda yang menjadi lawannya itu masih amat muda. Siang Hwi, Giok Lan dan Kwee Cin menonton dengan jantung seolah-olah berhenti berdetak. Mereka merasa gelisah dan juga terharu karena Kwan Bu sekali ini berjuang untuk mereka semua! Berjuang dengan pedang merahnya untuk mempertahankan cinta kasih mereka! Adapun lawan yang dihadapinya sedemikian lihainya. Mata mereka menjadi silau melihat gulungan sinar merah dan putih itu saling belit, saling desak, dan saling himpit. Hanya kadang-kadang saja mereka dapat melihat tubuh Kakek itu atau tubuh Kwan Bu yang seringkali lenyap diselimuti gulungan kedua sinar yang kadang-kadang berkelebat panjang-panjang seperti pelangi kadang-kadang membentuk lingkaran-lingkaran lebar.

Thian Khi Tosu kagum bukan main. Dia sendiri adalah ketua sebuah partai persilatan besar yang sudah amat terkenal karena kelihaian kiam-hoatnya, akan tetapi kini menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Kwan Bu, ia menjadi kagum dan juga terkejut. Kiam-sut yang diamainkan pemuda ini luar biasa anehnya. akan tetapi amat kuat dan amat sukar dilawan, banyak memiliki jurus-jurus yang luar biasa, mengandung gerakan pedang yang dahsyat sehingga sinarnya seolah-olah merupakan senjata tersendiri yang runcing dan tajam! Terpaksa Kakek ini harus menjaga namanya sendiri juga nama Bu- tong-pai, mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu pedangnya yang paling lihai untuk mengimbangi kelihaian pedang lawan. Kakek ini maklum bahwa satu-satunya keuntungan darinya adalah tenaga sinkang, akan tetapi kemenangan ini tidak amat menentukan karena tentu saja dia kalah cepat dan kalah napas malawan seorang muda yang pantas menjadi cucunya!

Dengan seluruh pengarahan tenaganya, Kakek itu mulai mendesak Kwan Bu yang benar-benar harus mengakui bahwa selamanya baru satu kali ini ia menemui lawan tanding yang amat hebat. Kwan Bu melawan mati-matian, namun tetap saja terdesak dan sungguhpun hal ini sukar dilihat oleh tiga orang muda yang menonton, namun mereka dapat menduganya melihat betapa sinar merah menjadi makin sempit dan kecil sedangkan sinar putih menjadi makin lebar dan besar menekan. Otomatis tanpa dikomando karena isi hati mereka sama, Siang Hwi, Kwee Cin dan Giok Lan meraba gagang pedang mereka. Tantu saja mereka itu sama sekali tidak akan dapat membantu dalam pertandingan tingkat tinggi itu, akan tetapi isi hati yang khawatir membuat mereka meraba gagang senjata.

Gerakan mereka ini tidak terlepas dari pandang mata Thian Khi Tosu dan tiba-tiba Kakek ini menghela napas. Mengertilah ia bahwa kalau dia menang, berarti dia akan merusak kebahagiaan empat orang muda. Thian Khi Tosu adalah seorang Kakek yang bijaksana dan berbudi. Kalau tidak demikian, ini tak mungkin ia bisa menjadi ketua sebuah perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai. Timbul rasa kasihan di hatinya dan ia menjadi serba salah. Kalau dia membiarkan dirinya kalah. Akan jatuhlah nama Bu-tong-pai kalau ketuanya sampai kalah malawan seorang pemuda! Kalau saja Pat- jiu Lo-koai bukan apa-apa karena memang hwesio gendut itu lihai bukan main, Tadipun kalau Kakek gundul itu tidak sedang terluka dan sakit, belum tentu dia dapat mendesaknya.

Kalau dia memaksa diri dan mendapat kemenangan, berarti dia akan menghancurkan kebahagiaan empat orang muda ini! Kwan Bu juga makin gelisah. Dia harus menang. Apapun yang terjadi, dia harus menang! Bukan hanya demi Siang Hwi, akan tetapi juga demi kabahagiaan adiknya dan Kwee Cin. la merasa girang bahwa ia telah mempelajari Toat-beng-kiamsut dari suhunya karena kalau dia tidak mempergunakan ilmu pedang itu, agaknya sudah sejak tadi ia roboh oleh ketua Bu-tong-pai yang lihai luar biasa itu. Tiba-tiba sinar pedang putih itu menyambar dan membelit ke arah kedua kakinya. Kwan Bu cepat menggunakan pedangnya menangkis dan membuyarkan gulungan sinar putih yang mengancam kakinya, kemudian ia meloncat ke belakang, terus sengaja menjatuhkan diri di atas tanah.

Bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Tiga belas batang jarum telah dilepasnya barturut-turut sambil bergulingan itu kearah tiga belas jalan darah di tubuh Kakek lawannya. Dia tidak mengharapkan serangan jarumnya terhadap kakek lihai itu berhasil, akan tetapi bukan itulah maksudnya. Dia ingin agar Kakek itu menjadi sibuk dan lengah karena menghindarkan jarum-jarum itu agar ada bagian yang “terbuka” karena pertahanan Kakek itu kuat bukan main. Dan akalnya ini berhasil. Ketua Bu-tong-pai itu terkejut melihat jarum-jarum itu, akan tetapi tentu saja ia tidak khawatir dan cepat pedangnya diputar menangkis runtuh tiga belas batang jarum dengan beruntun. Akan tetapi saat itu. Kwan Bu telah menerjang dan pedangnya berubah menjadi sinar merah yang meluncur cepat sekali.

“Siancai !” Thian Hhi Tosu berseru keras saking kagum dan kagetnya.

“Trangg....... cring !” Bunga api berhamburan dan tiba-tiba gulungan sinar marah dan sinar putih

itu lenyap. Kwan Bu dan Kakek itu sudah berdiri berhadapan dalam jarak empat lima meter. Pundak pemuda itu terluka, bajunya robek dan berlepotan darah.

“Kwan Bu !!” Siang Hwi menjerit dan hendak lari menghampiri, akan tetapi tangannya dipegang

Kwee Cin yang berbisik.

“Jangan dulu... lukanya tidak parah..?” Siang Hwi hanya memandang dengan muka pucat, demikian pula Kwee Cin dan Giok Lan memandang dengan muka pucat. Pertandingan itu terlalu menegangkan dan mereka tidak mengerti mengapa dua orang itu berhenti bertanding, tidak mengerti pula bagaiman kesudahannya. Hanya melihat luka di pundak Kwan Bu, agaknya pemuda itu kalah! Kwan Bu menjura dan berkata.

“locianpwe yang lihai luar biasa, teecu tidak mampu melawan locianpwe...!” Kakek itu menghela napas yang agak terengah-engah, lalu tersenyum pahit,

“Engkau tidak mengecewakan menjadi murid Pat-jiu Lo-koai dan telah mewarisi ilmu pedang yang kelak akan menjagoi di dunia kang-auw. Orang muda, engkau tidak kalah.”

“locianpwe, teecu telah terluka di pundak oleh ujung pedang locianpwe yang seperti kilat itu,”

“Orang muda, pedang Toat-beng-kiam di tanganmu juga telah membabat putus ronce-ronce kuning yang manghias gagang telah lenyap. pedang merupakan nyawa kedua bagi seorang ahli pedang. Karena itu, lenyapnya ronce-ronce pedangku lebih berat dari pada terlukamu. Pat-jiu Lo-koai, pinto mengaku kalah dan biarlah pinto habiskan semua pertentangan dan pinto mengharapkan kelak dapat membatalkan pantangan minum arak untuk minum arak pangantin, nah, sampai jumpa!”

Tubuh Kakek itu berkelebat lenyap dari tempat itu meninggalkan empat orang muda yang melongo saking heran, kagum dan juga gembira, kemudian mereka itu perlahan-lahan menoleh. Kwan Bu berpandangan dengan Siang Hwi, Kwee Cin berpandangan dengan Giok Lan. Dan kedua orang gadis itu menangis tanpa suara, hanya air mata mereka yang bertetesan keluar mambasahi pipi.

“Kwan Bu, engkau terluka ” Siang Hwi manghampiri dan berbisik, rapat meneliti pundak pemuda

itu,

“Tidak seberapa, nona. Hanya luka kecil ” ucapan yang dingin, ini membuat Siang Hwi tersentak

mundur dan memandang Kwan Bu dengan mata terbelalak. Pada saat itu terdengar suara tertawa.

“Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali ketua Bu-tong-pai! Dan sungguh beruntung nasib kalian, Thian Khi Tosu tadi telah bertanya kepada dua orang cucu muridnya, akan tetapi pihak lain belum ditanya. Eh, Kwan Bu, engkau muridku. Katakanlah, apakah engkau mencinta Siang Hwi?” Kwan Bu menunduk dan berkata, suaranya seperti orang terharu dan berduka.

“Sudah sejak dahulu teecu mencintainya, suhu,” “Ha-ha, bagus dan engkau Giok Lan, engkau adik muridku dan sudah menjadi muridku pula. Apakah engkau mencinta Kwee Cin?” Giok Lan mangerling kapada Kwan Bu, lalu menjawab dan kini memandang wajah Kwee Cin dengan berseri,

“Dahulu sih tidak, suhu, Akan tetapi sekarang... ah, karena dia berkali-kali mengaku cinta, karena dia baik sekali, teecu... yah... begitulah..,”

“Eh-ah, bocah tidak genah!” Pat-jiu Lo-koai yang sekarang sudah berdiri manghampiri dan mencela. “Begitu, begitu... bagaimana?” Giok Lan tersenyum dengan muka merah,

“Ia, begitu, sama seperti dia terhadap teecu!” Ia menuding kearah muka Kwee Cin yang menjadi merah sekali.”

“Wah-wah, engkau mengajak pinceng berteka-teki? Sama seperti dia? maksudmu engkau juga mencinta Kwee Cin?” Giok Lan mengangguk-angguk seperti seekor ayam makan padi sambil menggigit bibirnya, membuat Kwee Cin menjadi gemas hatinya dan mengancam dalam hati bahwa kelak kalau ada kesempatan, dialah yang akan manggigit bibir itu! Tanpa bicara, Kwee Cin memegang tangan Giok Lan, mereka bergandeng tangan dan melangkah pasti kekiri, dipandang oleh Pat-jiu Lo-koai yang tertawa lebar. Ketika Kakek ini melihat Kwan Bu dan Siang Hwi juga berjalan perlahan melangkah pergi, Siang Hwi kelihatan masih khawatir menyentuh pundak Kwan Bu yang terluka.

“Ha-ha-ha-ha.......!” Pat-jiu Lo-koai tertawa dan duduk lagi bersila, masih tertawa-tawa sehingga perutnya yang gendut itu bargoyang-goyang. Kwan Bu mangajak Siang Hwi duduk di bawah pohon. Sunyi sekali di situ, hawanya sejuk dan sinar bulan redup menghijau. Kwan Bu membiarkan Siang Hwi merawat lukanya. Kemudian berkata lirih.

“Nona......!” terdengar isak tertahan dari Siang Hwi dan tangan yang merawat pundaknya itu menggigit.

“Kwan Bu, kasihanilah aku... jangan engkau menyebut nona lagi kepadaku.” Kwan Bu menelan ludah, memandang wajah ayu yang menengadah, dekat sekali dengan mukanya,

“Hwi-moi !”

“Kwan Bu........., yakinkah engkau akan perasaan hatiku. ?”

“Engkau belum menjawab. pertanyaanku, Dahulu, ketika aku memeluk dan menciummu. mengapa

engkau menuduhku yang bukan-bukan, menuduhku berlaku kurang ajar dan memaksamu...

kemudian kau katakan bahwa engkau... suka dan berbahagia sekali akan perbuatanku itu. ah,

apakah maksudmu, nona... ah, moi-moi ?” Pundak itu sudah dibalut dan dengan sikap manja, Siang

Hwi merangkul leher pemuda itu.

“Engkau masih tidak mengerti? Karena , karena sejak dahulu, sejak kita masih kanak-kanak, sejak

engkau kami jadikan bahan untuk berlatih tiam-hoat, sejak engkau membuka baju dan membiarkan tubuhmu menjadi korban latihan kami, sejak itu aku..... sudah..... mencintaimu, akan tetapi ah,

engkau selalu merendahkan diri, sehingga aku makin tinggi hati, Aku mencintaimu, merindukanmu, karena itu, aku... aku merasa bahagia ketika kau memelukku, akan tetapi..... ketika terlihat orang lain, karena kau selalu merendahkan diri, menekan keyakinan dan kesan mendalam bahwa engkau adalah seorang bujang dan aku majikanmu... karena aku menjadi tinggi hati aku menjadi malu dan. dan mengingkari isi hatiku sendiri, Akan tetapi, engkau sudi memaafkan aku, bukan? Kwan

Bu, aku selalu akan menyesal kalau teringat akan perlakuanku terhadapmu..... maafkan aku. !”

“Cukup, Siang Hwi kekasihku, kita tanam yang sudah-sudah dan kita berjanji takkan lagi menyinggung hal yang lalu. Kau berjanji?”

“Aku berjanji.”

“Perjanjian harus disahkan..?” bisik Kwan Bu dan karena mereka sudah berangkulan sejak tadi, sedikit saja menundukkan mukanya, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan lama, seolah-olah telah melekat dan takkan berpisah lagi.

Dibagian lain dari puncak itu, dengan malu-malu dan canggung, Kwee Cin mencium pula Giok Lan. Kecanggungan mereka yang sama sekali belum berpengalaman itu mendatangkan kegelisahan hati dan memancing suara ketawa mereka, ketawa yang ditahan dan saling cubitan dan senda gurau. Adapun di tengah-tengah puncak, diantara dua pasang orang muda yang sedang memadu asmara itu, Pat-jiu Lo-koai duduk tertawa, tertawa bebas lepas yang gemanya mengalun di seluruh permukaan puncak bukit Pek hong san.

TAMAT

Posting Komentar