Dendam Si Anak Haram Chapter 79

NIC

“Suhu, teecu mengembalikan pedang suhu!” tiba-tiba Kwan Bu berseru sambil melontarkan Toat- beng-kiam ke arah suhunya yang baru saja membebaskan diri dengan bergulingan sampai jauh. Pat- jiu Lo-koai menerima pedang itu, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu tertawa bergelak dan berkata,

“Ha-ha-ha-ha, bukan pinceng yang minta melainkan Kwan Bu sendiri yang mengembalikan ini namanya nasib, nasib pinceng belum semestinya mati, dan nasib buruk bagi Loan Khi Tosu dan Ho- sim Pek-mo. Kwan Bu, perhatikanlah baik-baik ilmu pedang Tiat-beng-kiamsut yang telah pinceng sempurnakan!”

Kwee Cin, Siang Hwi dan Giok Lan ketiganya adalah orang-orang muda yang telah belajar ilmu silat dan kepandaian mereka pun tidak rendah, Akan tetapi kini pandang mata mereka menjadi silau karena melihat sinar pedang merah seperti darah bergulung-gulung dengan indahnya, seperti penari selendang merah, seperti seekor naga yang mengeluarkan semburan-semburan kilat! Kwan Bu sendiri berdiri melongo. Dia sudah mempelajari ilmu pedang dari suhunya dan mengenal ilmu pedang itu yang disesuaikan dengan keadaan pedang Toat-beng-kiam, akan tetapi ia melihat bagian- bagian yang aneh dan yang belum pernah ia pelajari. Bagian-bagian ini mengandung daya serang yang amat hebat sehingga mengerikan dan sesuai dengan nama pedang Toat-beng-kiam (Pedang Pecabut Nyawa) karena setiap gerakan pedang itu adalah gerakan maut bagi lawan!

Pat-jiu Lo-koai bukanlah seorang yang masih mudah dikuasai nafsunya. Sama sekali bukan, Maka dalam pertempuran ini, biarpun kedua lawannya adalah orang-orang sakti yang tingkat kepandaiannya tidak kalah banyak olehnya, namun ia tetap tidak bernafsu untuk membunuh dua orang lawan itu, Permainan pedangnya dapat mengatasi senjata-senjata kedua orang lawannya dan otomatis pedangnya itu hanya membalas sesuai dengan serangan lawan, Makin hebat lawan menggunakan senjata menyerangnya, pedangnya akan menangkis dilanjutkan dengan serangan yang makin hebat pula. Sebaliknya, serangan lawan yang kendur dibalasnya dengan serangan yang kendur pula. Setelah kurang lebih satu jam sinar merah yang bergulung-gulung itu menggulung dan menghimpit Lian Khi Tosu dan Ho-sim Pek-mo berikut senjata mereka, tiba-tiba Pat-jiu Lo-koai tertawa dan berkata,

“Kalian pergilah….. kalian pergilah. ”

Ucapan ini disusul berkelebatnya pedang, terdengar bunyi nyaring sekali, lalu tampak tongkat bambi dan kedua buah roda mencelat dan patah-patah disusul robohnya Ho-sim Pek-mo dan Loan Khi Tosu. Loan Khi Tosu cepat meloncat bangun dengan wajah pucat dan baju robek berdarah yang keluar dari luka di dada kanannya. wakil ketua Bu-tong-pai ini menoleh ke arah tubuh Ho-sim Pek- mo yang rebah miring tak bergerak lagi karena kakek pengawal ini telah tewas seketika dengan pelipis berlubang! Loan Khi Tosu menarik napas panjang, membungkuk dan mengempit jenazah Ho- sim Pek-mo, kemudian memandang kepada Pat-jiu Lo-koai, membungkuk dan berkata,

“Engkau hebat sekali, Pat-jiu Lo-koai, Akan tetapi mulai detik ini engkau telah menanam bibit permusuhan dengan Bu-tong-pai yang hanya akan dapat diputuskan oleh ketua Bu-tong-pai. Engkau tunggu sajalah, tentu ketua kami akan mencarimu,”

“Ha-ha-ha, kalau Thian Khi Tosu sebagai ketua Bu-tong-pai berpemandangan sepicik engkau, Loan Khi Tosu, biarlah pinceng menantinya di tempat kediamanku di puncak Pek-hong-san,” Loan Khi Tosu mengangguk, kemudian berkelebat pergi membawa mayat Ho-sim Pek-mo, Kwee Cin, Giok Lan dan Siang Hwi menjadi girang sekali dan amat kagum terhadap hwesio itu, Akan tetapi tidak demikian dengan Kwan Bu yang memandang khawatir sekali dan karena tubuhnya sendiri masih lemah, ia berkata kepada Kwee Cin,

“Saudara Kwee, kau tolong suhu..?” Kwee Cin terkejut dan merasa heran, akan tetapi ia segera meloncat maju ketika menengok kearah hwesio tua itu dan melihat hwesio itu terhuyug lalu roboh, Cepat memeluk tubuh yang gendut itu dan ternyata Pat-jiu Lo-koai telah pingsan dalam rangkulannya! Kwee Cin lalu merebahkan tubuh itu perlahan-lahan di atas tanah, dan mereka semua memandang dengan gelisah ketika Kwan Bu memeriksa tubuh gurunya. Pemuda itu menghela napas dan berkata, suaranya terharu.

“Suhu terluka oleh hawa beracun yang disedotnya dari tubuhku, karena tadi hawa beracun itu belum keluar semua dari lengannya ketika ia bertanding menghadapi lawan tangguh dan terpaksa menggunakan sinkang racun itu menjalar dan melukai dadanya, Akan tetapi aku percaya akan kekuatan tubuh suhu, Saudara Kwee Cin, tolong kau pondong suhu dan nanti kita mencari kereta, kita harus cepat membawa suhu ke Pek-hong-san,”

Demikianlah, dengan sikap tenang namun cepat Kwan Bu lalu memimpin rombongan kecil itu menuju ke puncak Pek-hong-san, Tepat seperti dugaan dan harapannya, kakek itu hanya pingsan selama sehari kemudian siuman kembali, Selama dalam perjalanan Pat-jiu Lo-koai duduk bersila dalam kereta dengan tekun mengobati dirinya sendiri yang kini terluka lebih parah daripada yang dialami Kwan Bu sebelum pemuda itu dia sembuhkan. karena kesehatan Kwan Bu belum pulih benar dan tubuhnya masih amat lemah, pula dia harus beristirahat selama sebulan seperti yang dikatakan suhunya, maka dalam perjalanan ini diapun duduk sekereta dengan gurunya, Adapun Giok Lan dan Siang Hwi menunggang kuda dan Kwee Cin mengendarai kuda yang ditarik oleh dua ekor kuda itu. Giok Lan dan Kwan Bu yang membawa bekal cukup banyak, dapat membeli kereta dan kuda dengan mudah, Perjalanan itu dilakukan dengan sunyi karena mereka semua merasa prihatin melihat keadaan Pat-jiu Lo-koai yang mereka kini anggap sebagai guru mereka, Akan tetapi, Pat-jiu Lo-koai sendiri yang terluka di dalam kereta, selalu tersenyum, dan bahkan dia bercakap-cakap dengan muridnya tentang ilmu pedangnya yang dia mainkan ketika menghadapi dua orang lawan sakti itu. kakek ini menurunkan ilmu pedang itu kepada Kwan Bu yang mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga ketika mereka semua tiba di Pek-hong-san, Kwan Bu telah hafal dengan sempurna akan ilmu pedang Toat-beng-kiam-sut yang hebat luar biasa itu.

“Kwee-koko, sesungguhnyalah aku merasa bangga dan bahagia sekali mendengar pernyataan cinta kasihmu, terutama ketika pertama kali kau mengaku akan hal itu di depan orang banyak, di depan para murid Bu-tong-pai, Wanita mana yang takkan bangga dan bahagia mendengar pernyataan cinta dari seorang pria seperti engkau, koko? Engkau seorang yang gagah perkasa dan berbudi, yang sudah berkali-kali kau buktikan dalam membela aku dan kakakku”

“Kalau begitu. engkau sudi menerima kasihku dan sudi pula membalasnya, moi-moi?” Giok Lan

menghela napas panjang,

“Ahhh, koko, betapa akan mudahnya membalas perasaan cinta kasih seorang pemuda seperti engkau yang dapat dipercaya dan tentu amat murni cinta kasihnya, Akan tetapi, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, kurasa amatlah penting untuk kuketahui, koko, bahwa sesungguhnya, seperti telah kukatakkan kepadamu tempo hari, bahwa aku mencinta.... maksudku pernah jatuh cinta kepada kakakku Kwan Bu.” Kwee Cin tersenyum.

“Dan akupun sudah menjawab bahwa akupun mencinta Kwan Bu! Hanya bedanya. kalau engkau mencintainya sebagai adik, aku mencintainya sebagai sahabat,” Giok Lan menggeleng kepalanya,

“Bukan demikian maksudku, koko. Memang sekarang aku mencintainya sebagai kakak seayah, akan tetapi sebelum hal itu kami ketahui, aku mencintainya sebagai seorang wanita mencinta seorang pria, Aku tadinya mengharapkan menjadi isterinya, bukan adiknya,” Kwee Cin mengangkat alisnya, kemudian menghela napas dan bertanya,

“Lan-moi, mengapa engkau menceritakan rahasia hati seperti itu kepadaku?”

“Karena, hubungan kasih sayang antara seorang pria dan seorang wanita baru dapat dipertahankan keutuhannya, baru dapat dijauhkan dari pada syak-wasangka yang bukan-bukan apabila di sana tidak ada tersembunyi rahasia apa-apa dibalik cinta kasih mereka, cinta kasih akan hancur lebur apabila dikotori oleh ketidakpercayaan karena adanya hal yang dirahasiakan, sehingga timbullah kecurigaan, cemburu, dan kekecewaan, Menjatuhkan hati cinta kepada seseorang berarti menerima orang itu menjadi pilihan hatinya, dan dalam menerima itu kita tidak boleh membuta, harus menerima dengan mata terbuka, dan disamping kebaikan-kebaikan yang ada pada diri orang itu sehingga membangkitkan cinta kasih kita harus pula kita membuka mata terhadap cacat-cacatnya, Hanya cacat yang telah kita ketahui dan kita terima sajalah yang takkan menimbulkan kekecewaan dan bahkan dapat menjadi pupuk cintakasih.” Kwee Cin membelalakan matanya dan memandang kagum,

“Wahai, moi-moi alangkah luas pandanganmu tentang cinta kasih!” Giok Lan tersenyum manis,

“Bukan karena pengalaman, koko, melainkan karena bacaan yang kupetik dari kitab-kitab. Aku belum ada pengalaman sama sekali dalam cinta, karena ketika... ketika aku mencinta Bu-koko sebagai seorang wanita terhadap pria, dia tidak atau belum membalas cinta kasihku, Sekarang tentu saja lain lagi, diantara kami telah ada ikatan cinta kasih, yaitu cinta kasih antara kakak dan adik,” Kwee Cin mengangguk-angguk.

“Wawasanmu tadi tepat sekalli, moi-moi, Memang cinta itu membuat mata seperti buta, sehingga mata tidak dapat melihat atau menemukan keburukan orang yang dicintainya, Maka adalah baik sekali untuk mengetahui atau mendapatkan cacat-cacat itu dengan mata terbuka, kemudian menganggap bahwa cacat-cacat itu malah menambah daya tarik orang yang dicintainya, ltulah cinta!” Giok Lan mengangguk,

“Memang ada baiknya kita mengerti akan hal itu sehingga tidak akan beratlah punggungnya apabila cinta kasih mengalami kegagalan, Lebih baik memasuki dunia cinta dengan mata terbukavdan hati penuh kesadaran bahwa cinta dapat mendatangkan madu maupun empedu, dari pada masuk secara membuta sehingga menjadi mabok kemanisan atau mati kesakitan!”

“Aduh, Lan-moi, kata-katamu mengusir semua keraguan hatiku dan kini aku pun hendak membuat pengakuan Lan-moi. Selama hidupku, sebelum bertemu denganmu, aku hanya pernah mencintai seorang wanita, cinta yang gagal karena hanya sepihak, dari pihakku. Aku pernah menaruh hati cinta kepada… kepada ”

“kepada Siang Hwi, bukan?”

“Eh, bagaimana kau bisa tahu?” Giok Lan tersenyum.

“Tentu saja aku sudah tahu, Siang Hwi dan aku telah membuka semua rahasia hati kami, engkau mencinta Siang Hwi akan tetapi semenjak dahulu, sejak Kwan Bu masih menjadi kacung di keluarga Bu, sebenarnya Siang Hwi telah mencinta kakakku itu, cinta yang diselubungi banyak hal yang menjadi penghalang sehingga cinta itu dapat mencipta diri menjadi kebencian, benci karena cinta tidak mendapat kesempatan untuk menjadi raja yang berkuasa. Sejak dahulu Siang Hwi yang kau cinta itu mencinta Kwan Bu sehingga tidak dapat membalas cinta kasihmu, Sama pula dengan aku, Dahulu aku mencinta Kwan Bu dengan sia-sia karena semenjak menjadi kacung keluarga Bu, Kwan Bu telah mencinta Siang Hwi! Nasib kita sama, Kwee-koko, Cinta kasih tidak mungkin hanya datang dari sepihak, Tak mungkin bertepuk sebelah tangan!”

“Jadi engkau tidak marah dan tidak kecewa bahwa aku pernah mencinta orang lain?” Tanya Kwee

Cin, memandang penuh harapan, Giok Lan menggeleng kepala.

“Aku tidak sepicik itu, koko. Jangankan baru jatuh cinta kepada Siang Hwi yang merupakan hal sewajarnya karena pemuda mana yang tidak akan jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Siang Hwi? Andai kata engkau pernah jatuh cinta kepada seribu orang gadis, akupun tidak perduli karena hal itu merupakan hak setiap orang manusia! Mencinta bukanlah berdosa. Mencinta timbul karena rasa simpati yang terhadap lawan jenis. Pelanggaran susila barulah merupakan dosa karena pelanggaran susila timbul karena dorongan nafsu semata. Tidak, aku tidak kecewa mendengar bahwa engkau pernah mencinta gadis lain, koko.”

“Jadi..... kalau begitu..... kau..... kau sudi menerima cintaku, sudi membalas kasih sayangku, moi- moi?” Gadis itu mengangguk dengan pandang mata penuh kepasrahan, dengan pandang mata mesra sehingga Kwee Cin tak dapat menahan kebahagiaan hatinya, menyambar kedua tangan gadis itu, digenggamnya erat-erat dan wajahnya menyinarkan kebahagiaan berseri-seri yang mengharukan hati Giok Lan. “Terimakasih, moi-moi... terimakasih...”

“Kwan Bu mengapa engkau selalu menjauhkan diri dariku? Seolah-olah hendak menghindari pertemuan berdua? Apakah...?”

Posting Komentar