“Siapa kira, kami di sini bertemu dengan para pemberontak-pemberontak Bu-tong-pai, hal ini sekaligus kami dapat menangkap sekawanan pemberontak Ha-ha-ha!” Kwan Bu mengerutkan keningnya, dan bertanya, suaranya tenang,
“Locianpwe, biarpun keadaan memaksaku beberapa kali bentrok dengan pihak pengawal, akan tetapi saya pribadi tidak mempunyai permusuhan dengan pihak pengawal, Mengapa pula sekarang locianpwe mengejar dan hendak menangkap aku?”
“Wah, bocah engkau murid Pat-jiu Lo-koai, bukan? Dan bukankah engkau telah membunuh Phoa Siok Lun dan Liem Bi Hwa dua orang pembantu kami yang setia? Mereka itu adalah suheng dan sumoimu, dan mereka itu adalah orang-orang muda yang telah membela pemerintah bangsanya, orang-orang gagah yang patut dipuji, akan tetapi engkau telah membunuhnya!”
“Tidak benar sama sekali, locianpwe, Mereka memang sumoi dan suhengku, akan tetapi hanya sumoi yang benar seorang murid suhu yang baik, akan tetapi sayang sekali, saya tidak dapat mengatakan bahwa suheng adalah seorang murid yang baik. Dan pula, tidak benar kalau dikatakan saya yang membunuh mereka karena mereka berdua itu saling bunuh sendiri,”
“Engkau yang menjadi gara-garanya, aku sudah mendengar akan apa yang terjadi! Sama saja, engkau yang membunuh mereka, karena itu, engkau harus menyerahkan diri menjadi tawanan kami.” Kwan Bu tersenyum pahit.
“Urusanku dengan dia adalah urusan pribadi, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan, tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukan pengawal, Saya tidak merasa bersalah terhadap kerajaan, tentu saja saya keberatan kalau dijadikan tawanan,”
“Berani engkau melawan aku, orang muda?”
“Keberanian hanya dipakai berlandaskan kebenaran, karena saya merasa benar dalam hal ini, tentu saja saya berani membela diri terhadap siapapun juga”.
“bocah sombong!” Gin-san-kwi Lu Mo Kok membentak marah dan sudah menerjang maju, menyerang Kwan Bu dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu kipas perak yang lihai sekali dan yang sudah mengangkat namanya tinggi-tinggi sehingga julukannya pun Gin-san-kwi (Si Kipas Setan Perak),
“Wirrrr...... siuuuuuttt......!” angin besar datang dari kipas itu disusul luncuran gagang kipas yang runcing menotok kearah leher, pusar, mata, dan dada!
Hebat bukan main gerakan ini dan amat cepat susul menyusul sehingga tak dapat diikuti oleh pandangan mata, Mula-mula ujung gagang kipas meluncur ke arah leher, sedetik kemudian disusul dengan serangan kepusar, kemudian mata dan selanjutnya menyerang dada, Kwan Bu yang sudah siap dan waspada menggunakan kelincahan tubuhnya mengelak, akan tetapi keringat dingin mengucur di lehernya ketika ia melihat betapa ujung gagang kipas itu melakukan serangan-serangan berikutnya secara cepat sekali, Hampir saja ia tidak dapat mengelak dari tusukan terakhir ke ulu hatinya kalau ia tidak cepat menekan ke tanah dengan ujung kaki sehingga tubuhnya mencelat ke belakang dan berjungkir balik, Ketika pemuda ini sudah turun lagi ke atas tanah tangannya sudah memegang pedang Toat-beng-kiam yang merah darah! “Omitohud.....! Pedang Toat-beng-kiam yang jahat!” Bentak Kim I Lohan dan angin pukulan yang amat kuat menyambar dari samping ketika Kim-coa-pang (Tongkat Ular Emas) menyambar dari kanan kearah kepala Kwan Bu. Pemuda ini cepat mengelak dengan merendahkan diri dan meliuk ke kiri, kemudian sinar merah darah berkelebat ketika ia menggerakkan pedang Toat-beng-kiam dari bawah membabat pergelangan tangan kanan hwesio itu.
“Singggg.... tranggg,!” karena babatan pedang itu amat cepat dan tidak terduga oleh hwesio pengawal itu, yang dilakukan sebagai balasan sambaran tongkatnya tadi, terpaksa Kim I Lohan memutar tongkat dan menangkis dari samping, hwesio ini sudah mengenal keampuhan Toat-beng- kiam, maka ia tidak menggunakan seluruh tenaga dan membiarkan tongkatnya terpental sehingga tidak terancam bahaya terpotong oleh pedang pusaka yang tajamnya luar biasa itu,
“Hiaaattttt......!” Kembali kipas perak di tangan Lu Mo Kok menyambar, kini mengancam pelipis, Ketika Kwan Bu mengelebatkan pedang untuk menangkis sambil merendahkan tubuhnya, tiba-tiba tongkat yang berubah menjadi sinar kuning emas bergulung itu telah membabat kedua kakinya. Keadaan ini benar-benar amat berbahaya karena ia terancam dari atas dan bawah,
“Haiiiiiiittttt” Tubuh Kwan Bu mencelat ke atas seperti seekor burung terbang sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan otomatis mundur ke belakang untuk dapat menyaksikan pertandingan hebat itu, Dua orang lawannya juga kaget dan cepat menengok Kwan Bu yang mencelat ke atas itu kini sudah menukik ke bawah didahului sinar pedangnya yang merah sekali itu bergerak membuat lingkaran-lingkaran lebar yang menyilaukan mata, lingkaran-lingkaran yang mengeluarkan kilat-kilat menyambar kearah Kim I Lohan dan Gin-san-kwi.
“Hayaaa !” Gin-san-kwi tidak berani menangkis kilatan sinar pedang yang seperti pijaran api itu,
khawatir kalau-kalau kipasnya rusak, maka terpaksa ia melempar tubuh ke belakang, terjengkang dan bergulingan jauh, Tidak demikian dengan Kim I Lohan yang biarpun tahu akan kemampuan pada lawan, namun ia pun percaya akan kehebatan tongkat ular emasnya, maka sekali ini mengerahkan tenaga menangkis, dengan harapan akan menang tenaga karena mengira bahwa pemuda itu tentu membagi tenaga ketika menyerang mereka berdua,
“Cringggg… !” Ujung pedang bertemu dengan ujung tongkat dan hwesio itu meloncat ke belakang
sambil berseru kaget karena selain tangannya menjadi panas tergetar, juga ternyata ujung tongkatnya terbabat potong sedikit!
“Serbu Tangkap para pemberontak itu!” Tiba-tiba Gin-san-kwi Lu Mo Kok yang merasa penasaran
dan khawatir kalau-kalau para pemberontak itu akan meloloskan diri, memberi aba-aba, Lima puluh orang pengawal bergerak maju. Adapun Ho-sim Pek-mo yang melihat betapa pemuda murid Pat-jiu Lo-koai itu benar-benar hebat sekali ilmu pedangnya dan agaknya dua orang panglima pengawal itu belum tentu akan dapat mengalahkannya, segera berseru keras dan tubuhnya sudah bergerak maju, Ketika kakek ini maju, tampak sinar hitam dan putih menyambar dari kedua tangannya dan ternyata sinar itu adalah gerakan sepasang senjata yang aneh, berbentuk gelang bergaris tengah kurang lebih setengah meter, yang di tangan kiri berwarna putih yang kanan hitam,
“Pek-mo, pintolah lawanmu!” Loan Khi Tosu berteriak dan tongkat bambunya bergerak ke depan, mengirim tusukan kearah lambung kiri Ho-sim Pek-mo. Gerakannya perlahan akan tetapi tahu-tahu ujung tongkatnya sudah mengancam lambung. Gerakan kakek Bu-tong-pai ini adalah jurus ilmu pedang Bu-tong Kiam-sut yang amat hebat sehingga Ho-sim Pek-mo, tokoh besar itu tidak berani memandang ringan, cepat menarik kembali sepasang gelangnya yang tadinya hendak menyerang Kwan Bu, Lalu gelang putih membalik cepat menangkis bambu sedangkan gelang kitam meluncur ke atas menghantam ke arah kepala Loan Khi Tosu, akan tetapi, wakil ketua Bu-tong-pai ini bukan orang sembarangan, ilmu silatnya sudah amat tinggi tingkatnya dan sedikit saja tubuhnya miring, serangan gelang itu telah luput. Sepuluh orang anak murid Bu-tong-pai, dipimpin oleh Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong yang memegang pedang dengan tangan kirinya karena lengan kanannya dibalut dan tak dapat digerakkan, segera menghampiri serbuan lima puluh orang pengawal itu sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di tempat itu, Melihat bahwa keadaan telah menjadi kacau. Giok Lan cepat melompat mendekati Kwee Cin dengan pedang di tangan, Tanpa mengeluarkan kata- kata sesuatu, gadis ini lalu memutuskan belenggu leher dan tangan Kwee Cin dengan pedangnya,
“Terima kasih, nona........ akan tetapi sesungguhnya aku........ tidak berani melepaskan diri dari tawanan Bu-tong-pai ”
“Ah. setelah persoalan menjadi begini, mengapa masih banyak rewel tentang aturan lagi?” Giok Lan mencela, “Kalau kita tidak turun tangan membantu menghadapi para pengawal, apakah kita tidak akan mati semua? kita usir dulu para pengawal, urusan kemudian bagaimana nanti sajalah!”
“Betul, Kwee-suheng. Mari kita basmi pengawal menjemukan ini!” kata Siang Hwi yang menyerahkan sebuah diantara pedangnya kepada Kwee Cin.