“Lan-moi, sesungguhnya kalau aku merenungkan kembali segala pengalamanku, aku lebih condong untuk mencontoh guruku, Pat-jiu Lo-koai, menjauhkan diri dari pada keramaian dunia yang diakibatkan sepak terjang manusia, betapa bersama suhu di puncak Pek-hong-san. Akan tetapi mengingat adanya engkau di dunia ini yang sebatang kara, hatiku tidak tega, moi-moi, Biarlah kalau kelak engkau menemukan jodohmu, ada seorang pria yang menjadi sandaran hidupmu, aku akan pergi menyusul suhu.” Giok Lan adalah seorang gadis yang tidak saja pandai ilmu silat, namun pandai pula tentang sastera dan filsafat. Biarpun Phoa Heng Gu seorang bekas kepala rampok. akan tetapi setelah menjadi hartawan yang terhormat, ia menyuruh anak-anaknya mempelajari bun (sastera) dan bu (silat). Mendengar ucapan Kwan Bu, Giok Lan menjadi merah mukanya dan tersenyum,
“Bu-ko. engkau tahu akan isi hatiku, mana mungkin bicara tentang jodohku? Kalau di dunia ini ada seorang pemuda yang seperti engkau, atau setidaknya hampir menyamaimu, mungkin aku akan berpikir tentang jodoh! Sekarang lebih baik tentang keinginanmu menjadi seorang pertapa, Koko, apakah kau menganggap baik dan tepat kalau orang mengasingkan diri dari dunia yang ramai dan menjadi pertapa?” “Tentu saja baik!”
“Bagaimana baiknya? Apakah kebaikannya?”
“Banyak sekali! Di antaranya, menjauhkan diri dari dunia ramai, tidak mencampuri urusan dunia berarti menjauhkan diri daripada perbuatan yang merugikan orang lain,”
“Ah, pendapat itu tersesat, koko. Perbuatan tetap perbuatan, baik dan buruknya tergantung si pembuat. Kalau perbuatan dihentikan sama sekali, apa gunanya bagi manusia dan dunia? Seperti sebuah pisau, kalau dipergunakan untuk kebaikan tentu bermanfaat, kalau dipergunakan untuk keburukan menimbulkan kejahatan, terserah kepada dia yang menggunakan atau si pembuat, Akan tetapi kalau dibuang begitu saja sampai hancur berkarat. apa gunanya? Apakah gunanya dibikin pisau itu? Apa gunanya manusia dilahirkan kalau hanya untuk diasingkan tanpa ada manfaatnya sama sekali? Apa gunanya orang mengasingkan diri sendiri maupun untuk orang lain?”
“Wah, kalau pendapatmu seperti itu, berarti kau menyerang kaum pertapa yang suci, moi-moi! Setidaknya, mengasingkan diri sambil bertapa seperti itu dapat menjauhkan segala godaan nafsu..?
“Picik lagi pendapat ini. Nafsu tak dapat terpisah dari badan yang kita bawa ke manapun juga badan kita pergi. Perbuatan dan sifat pengecut kalau kita melarikan diri dari pada hal-hal yang dianggap godaan nafsu. hal di luar itu sudah wajar, menggoda atau tidak tergantung kita sendiri. Biarpun menjauhkan segala macam benda di dunia ini, kalau kita masih menjadi hamba nafsu. ke manapun kita pergi kita tidak akan terbebas daripada godaannya, dari pada cengkeramannyai. Sebaliknya, biarpun kita dikelilingi oleh segala macam maksiat, kalau kita sudah dapat menguasai nafsu kita sendiri, kita akan tetap aman dan tak mungkin dapat tergoda. Sesungguhnya bukanlah perbuatan maksiat yang tampak itu yang menjatuhkan seseorang, melainkan nafsunya sendiri, Dan orang tak mungkin dapat melarikan diri dari nafsu, melainkan harus menundukkannya dan mengendalikannya, seperti orang menundukkan dan mengendalikan seekor kuda liar, sehingga kuda yang tadinya binal dan berbahaya itu berubah menjadi kuda yang jinak dan berguna bagi kemajuan duniawi,” Kwan Bu terbelalak.
“Waduh, engkau hebat, moi-moi. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutmu, seolah-olah aku mendengar wejangan seorang ahli tapa dan seseorang bijaksana saja,” Gadis itu tersenyum manis.
“Aku hanya meniru-niru, koko, Meniru dari kitab-kitab yang pernah kubaca, hanya aku lupa lagi apa namanya kitab yang mengandung filsafat ini.”
“Akan tetapi itu baik sekali, moi-moi. Filsafat merupakan pelajaran yang amat berguna bagi siapa saja, karena pengertian itu seolah-olah menjadi tongkat bagi kita agar jangan mudah tersesat dan tergelincir di jalan kehidupan yang amat rumit dan licin.”
“Kita belum selesai, koko, Coba kemukakan lagi kebaikan daripada bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai.”
“Tentang menjauhkan godaan nafsu sudah kau bantah. Sekarang kebaikan lainnya. Dengan menjauhkan diri dari pergaulan ramai, orang terhindar daripada bahaya penularan maksiat. Pergaulan dapat menyeret manusia ke dalam lembah kesesatan sehingga kalau menyendiri di tempat sunyi, bahaya itu tidak ada dan si pertapa akan tetap bersih. Bagaimana pendapatmu?” “Tidak begitu! Memang harus diakui bahwa pergaulan mempunyai pengaruh yang besar, akan tetapi pengaruh ini hanya dapat menyeret orang yang memang hatinya lemah! Yang penting adalah dasar pribadinya sendiri. kotoran tetap kotor biar dicampurkan dengan segudang mutiara, tetap merupakan kotoran. Sebaliknya, mutiara tetap mutiara, biar dicampurkan dengan segudang kotoran. tetap merupakan mutiara! Dasar pribadi yang kuat menjadi landasan, ditambah dengan kebijaksanaan sebagai manusia sadar yang tentu saja tidak akan menggauli golongan yang kotor! Biarpun tinggal di dunia ramai, di antara banyak orang jahat, namun dia yang batinnya bersih tetap waspada akan setiap perbuatannya. Sebaliknya, biar tinggal seorang diri di puncak gunung, kalau hatinya kotor tetap saja akan bergelimang dengan pikiran dan perbuatan kotor!”
“Wah, kau terlalu keras terhadap orang-orang yang biasa bertapa moi-moi!”
“Keliru, koko, bukan terhadap orang pertapa, melainkan terhadap orang yang munafik, yang ingin dianggap bersih namun sesungguhnya, batinnya sekotor isi perutnya!” Kwan Bu tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa semenjak mereka meninggalkan kata Kam-sin-hu, Mereka melanjutkan perjalanan! Mengeprak kuda tunggangan mereka yang membalap keluar dari hutan yang teduh itu, dan jalan itu mulai menanjak memasuki daerah perbukitan.
“Kita harus cepat-cepat agar jangan kemalaman di jalan, moi-moi. Kurasa di depan tentu ada sebuah dusun di mana kita akan dapat rnenginap,”
“Baiklah, koko. Menginap di dusun, dalam sebuah rumah tentu lebih hangat, biarpun bagi orang- orang seperti kita ini apa sih halangannya menginap di tepi jalan dan di bawah pohon-pohon, bertilam rumput, beratap langit sambil menikmati kehangatan api unggun dan menikmati pula nyanyian burung malam, kerik jangkerik dan desir angin lalu diantara daun pohon?”
“Ha-ha-ha, engkau tidak sadar bahwa kenikmatan seperti itulah yang menarik para pertapa yang mengasingkan diri!” Gibk Lan hanya tersenyum akan tetapi Bhe Kwan Bu berkata,
“Ah, di depan adavorang…..!” Giok Lan juga menghentikan kudanya dan keduanya lalu minggirkan kuda karena tampak ada serombongan orang berjalan kaki dari depan. Dari jauh kelihatan betapa serombongan orang itu telah tiba dekat, Kwan Bu mengeluarkan seruan tertahan dan melompat dari kuda, diikuti oleh Giok Lan. Mereka melihat bahwa ada seorang pemuda diantara mereka, pemuda ini bukan lain adalah Kwee Cin! Yang mengagetkan hati mereka adalah ketika mereka melihat bahwa leher Kwee Cin dikalungi belenggu, sedangkan rantai panjang dari belenggu itu dipegang ujungnya oleh seorag kakek yang mereka kenal karena kakek ini bukan lain adalah Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong, suheng dari Bu Taihiap, tokoh Bu-tong-pai dan tentu dianggap sebagai seorang murid yang murtad ketika Kwee Cin menggunakan akal menyelamatkan Kwan Bu dan Giok Lan tempo hari! Kwan Bu segera menghadang di tengah jalan, sedangkan Giok Lan cepat mengikat dua ekor kuda mereka pada sebatang pohon, kemudian bersiap-siap pula. jantungnya berdebar tegang dan ia maklum bahwa mereka berdua harus menolong Kwee Cin yang pernah menolong mereka. Bahkan, malapetaka yang saat ini menimpa diri Kwee Cin adalah akibat daripada pertolongan prmuda itu kepada mereka tempo hari.
“Berhenti! Harap cuwi suka membebaskan saudara Kwee Cin atau terpaksa aku berlaku kurang ajar dan menggunakan kekerasan!” kata Kwan Buvdengan suara tegas, Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong dan rombongannya berhenti, kemudian dengan dengan tenang Lauw Tik Hiong menoleh kekanan dan berkata dengan suara penuh hormat,
“Susiok (paman guru) inilah dia Bhe Kwan Bu, pemuda hina itu, Dan gadis itu adalah adik dari Phoa Siok Lun si anjing penjilat!” Kwan Bu dengan terkejut dan cepat menoleh ke kanan. Orang yang menjadi paman guru Hek I Kim Hiap itu adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun, berpakaian sebagai seorang tosu, tubuhnya tinggi kurus dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu yang butut. Pakaiannya juga butut dan rambutnya putih digelung ke atas itu ditutupi sebuah caping yang lebar, sikapnya tenang dan pandang matanya tajam,
Kwan Bu maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh besar Bu-tong-pai. seorang yang menjadi paman guru Lauw Tik Hiong, juga paman guru Bu Taihiap, tentu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang tinggi. Namun, dalam tekadnya untuk menolong Kwee Cin, ia tidak menjadi gentar menghadapi kakek tosu itu dengan sikap waspada. Memang tepat dugaan Kwan Bu bahwa kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dia ini merupakan tokoh Bu-tong-pai yang terkenal, karena dia itu adalah Loan Khi Tosu, orang kedua di Bu-tong-pai setelah ketua Bu-tong-pai yang telah terkenal diseluruh dunia kang-ouw bahwa Bu-tong-pai merupakan sebuah partai persilatan yang berdisiplin, keras dan memegang teguh peraturan, disamping terkenal pula sebgai golongan yang menamai dirinya pejuang, yaitu mereka yang anti kaisar.
Karena kedisiplinan inilah mengapa kini seorang tokoh tua dan penting seperti Loan Khi Tosu sampai turun tangan sendiri dalam penangkapan atas diri Kwee Cin yang dianggap sebagai seorang penghianat dan murid murtad dari Bu-tong-pai. Kakek ini sudah mendengar penuturan Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong tentang keadaan perjuangan pada masa itu, mendengar pula atas kekejaman murid Pat-jiu Lo-koai bernama Phoa Siak Lun yang telah menjadi pembantu kaisar. betapa pemuda ini selain telah merobohkan banyak pejuang juga memperlakukan pejuang-pejuang wanita secara keji dan hina, memperkosa wanita memperkosa mereka lalu memberikan tawanan-tawanan wanita itu kepada anak buah pengawal untuk diperkosa dan dipermainkan banyak orang sampai mati!
Karena inilah, kakek ini turun tangan sendiri, apa lagi ketika mendengar bahwa murid keponakannya ini tadinya telah berhasil menawan Phoa Giok Lan adik perempuan pemuda jahat itu juga menawan Bhe Kwan Bu, seorang pemuda lain yang menjadi sute Phoa Siok Lun, kemudian betapa mereka telah dibebaskan oleh Kwee Cin yang mengkhianati dan murtad terhadap perguruan, Kini, mendengar bahwa pemuda yang bermata tajam dan bersikap tenang yang kini menghadang rombongannya itu adalah Bhe Kwan Bu, sedangkan gadis berpakaian pria itu adalah adik kandung Phoa Siok Lun, kakek itu mengangguk-angguk. Sebetulnya kemarahan bergejolak di dalam rongga dadanya, akan tetapi sebagai seorang yang memiliki batin yang kuat, kakek ini sama sekali tidak kelihatan marah, bahkan tersenyum dan matanya memandang tenang.
“Siancai... di dunia bermunculan orang-orang muda yang berilmu tinggi! orang muda, apakah engkau murid Pat-jiu Lo-koai juga?” Bhe Kwan Bu merasa tidak enak sekali bahwa sekarang agaknya ia terpaksa harus menentang orang-orang Bu-tong-pai yang terkenal sebagai perkumpulan silat besar dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Ia cepat mengangkat kedua tangan di depan dadanya terhadap tosu tua itu dan berkata,
“Tidak keliru pertanyaan totiang. Saya memang bernama Bhe Kwan Bu dan murid termuda suhu Pat- jiu Lo-koai.”
“Heh-heh, sungguh bagus sekali Pat-jiu Lo-koai! Beginikah dia mendidik murid-muridnya? Menjadi penjilat golongan penindas. perusak tata susila, lancang mencampuri urusan dalam perkumpulan lain?”
“Harap totiang suka maafkan. Suhu tidak ikut-ikut dalam hal yang dilakukan murid-muridnya. Karena itu harap jangan membawa-bawa nama suhu karena hal itu amat tidak adil. Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang adalah tanggung jawab si orang itu sendiri, tidak semestinya menyalahkan guru, atau orang tua, maupun langit dan bumi!” Loan Khi Tosu memandang tajam lalu menggeleng- gelengkan kepala dan berkata perlahan.