“Dalam kejadian seperti ini, tak perlu berterima kasih..? jawab Giok Lan yang matanya merah karena banyak menangis.
“Aku khawatir sekali…., mari kita lihat bagaimana jadinya dengan mereka berdua ...!” Siang Hwi mengangguk dan mereka keluar memandang penuh kekhawatiran kepada dua orang muda yang sedang bertanding hebat dan mati-matian itu, Siang Hwi merasa betapa kedua kalinya menggigil, Ia mengkhawatirkan keselamatan Kwan Bu. Ia tahu bahwa kembali Kwan Bu telah menolongnya dan membelanya, bahkan kini pemuda itu membelanya dengan pengorbanan hebat, yaitu dengan menantang suheng dan juga kakak sendiri! Ia tahu betapa besar rasa cinta kasih Kwan Bu kepadanya, dan sekali ini, setelah untuk kesekian kalinya ia menghina pemuda itu, Kwan Bu masih tetap membelanya dengan taruhan nyawa! Kwan Bu yang tadi ia lihat seperti sudah kehilangan gairah hidup, yang sudah putus asa karena tekanan batin hebat.
Kini kembali menjadi penuh semangat hanya untuk membela dirinya! Ia menjadi terharu dan malu kepada diri sendiri. Berhargakah dia ini, yang sudah membikin malu kepada Kwan Bu sampai berkali- kali, untuk dibela seperti itu oleh Kwan Bu? Tidak, ia tidak berharga dan harus malu kepada diri sendiri, Di sudut hatinya, belum pernah ia mencinta seorang pria seperti perasaannya sekarang terhadap Kwan Bu. Hanya Kwan Bu sajalah satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yang selalu dirindukannya. Namun, keangkuhannya selalu menolak dan menentang perasaan cinta kasihnya ini! keangkuhannya yang merasa bahwa ia adalah bekas nona majikan pemuda itu, bahwa Kwan Bu hanyalah seorang pelayan, seorang kacung, bahkan seorang anak haram! Semua ini yang membuat ia selalu melawan perasaannya sendiri.
Ketika dua kali ia terbuai dalam pelukan Kwan Bu, merasa nikmat dan penuh bahagia dicium dan membalas ciuman Kwan Bu. pikiran itu pula yang membuat ia memaki dan menjatuhkan fitnah untuk menyembunyikan rasa malunya! Dia benar-benar tidak berharga untuk Kwan Bu dan diam- diam hatinya menangis! Adapun Giok Lan ketika tiba di luar dan melihat pertandingan hebat yang sedang terjadi atara kedua orang kakaknya itu, hanya berdiri terbelalak dan mulutnya terengah- engah penuh kegelisahan. Siok Lun adalah kakak tirinya, seayah lain ibu, juga Kwan Bu adalah kakak tirinya. hal yang amat mendukakan hatinya karena sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu, Kini tak mungkin ia memandang Kwan Bu sebagai seorang kekasih. Namun, melihat kedua orang kakak tirinya itu bertanding, hatinya condong berpihak Kwan Bu.
Bukan karena memang ada perasaan cinta kasihnya. melainkan juga karena ia melihat jelas betapa jahatnya Siok Lun. Ingin ia melerai, ingin ia mencegah mereka saling bunuh, akan tetapi ia tak berdaya karena ilmu pedang mereka itu amat tinggi, gerakan mereka amat cepat sehingga mengikuti gerakan pedang mereka saja ia tidak mampu, yang tampak olehnya hanyalah dua gulungan sinar pedang putih dan merah, yang berkelebatan dan berlingkaran. Pertandingan kini berlangsung dengan hebatnya, mencapai puncak bahaya maut karena masing-masing kini telah mengeluarkan jurus-Jurus simpanan yang paling hebat. Kwan Bu yang masih segan untuk membunuh suhengnya, menjadi terkejut menyaksikan betapa lawannya ini sekarang seratus persen mencurahkan segala daya silatnya untuk menyerang dengan serbuan maut,
Tanpa memperdulikan segi pertahanan dan ini membuktikan kecerdikan Siok Lun. Agaknya Siok Lun maklum akan isi hati sutenya yang ingin merobohkannya tanpa membunuh, dan hal yang merupakan kelemahan besar bagi Kwan Bu ia pergunakan baik-baik, yaitu dengan jalan memperkuat penyerangannya tanpa memperdulikan pertahanan, karena tahu sutenya itu tidak akan membunuhnya! Kwan Bu cepat melindungi tubuhnya dengan sinar pedang sambil memutar otak. Diapun bukan seorang bodoh dan dalam detik-detik berbahaya itu ia mendapat akal yang amat baik. Ketika ujung pedang suhengnya mengancam ulu hati dengan tusukan maut yang amat kuat dan cepat, ia miringkan tubuh, sengaja berlaku lambat sehingga ujung pedang lawan menusuk pangkal lengan kirinya,
Akan tetapi begitu ujung pedang itu amblas menusuk dagingnya, Toat-beng-kiam berkelebat cepat dan terdengar suara keras ketika pedang itu membabat langsung dari samping dengan cepat sekali sehingga pedang di tangan Siok Lun patah menjadi dua! Dalam detik berikutnya selagi Siok Lun terbelalak dan kaget, Kwan Bu menendang lutut suhengnya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Siok Lun roboh terguling. Tiba-tiba terdengar pekik melengking dan Bi Hwa sudah melompat maju, menubruk ke arah Siok Lun dengan pedang di tangan, Sebelum Kwan Bu sempat mencegah, tahu- tahu pedang itu telah amblas ke dada Siok Lun sampai kegagangnya, dan ujung pedang yang menembus punggungnya! Siok Lun terbelalak memandang wajah Bi Hwa yang berada dekat karena tubuh gadis itu terdorong ke depan setelah pedangnya menembus dada.
“Kau......, ahh......., kau......?” Siok Lun menggerakkan kedua tangannya ke depan, memukul dan terdengar suara “krekkk!” ketika dua tangan yang terbuka jari-jarinya itu menghantam kepala Bi Hwa dengan pukulan yang keras yang mengandung tenaga ginkang terakhir, Kepala gadis itu pecah dan tubuhnya tertelungkup, menindih tubuh Siok Lun. Kedua orang itu dalam keadaan berpelukan karena berkelojotan dalam sekarat, kemudian tak bergerak lagi, keduanya mati dalam berpelukan! “Suheng.... Suci...” Kwan Bu melempar pedangnya dan menubruk maju, berlutut dan menangis, tak memperdulikan bahu kirinya yang mengucurkan darah.
“Koko…!” Giok Lan juga berlutut dan memeluk tubuh kakaknya yang sudah menjadi mayat. Sementara itu, dengan hati penuh keharuan dan penyesalan terhadap diri sendiri, Siang Hwi meninggalkan tempat itu secara diam-diam, mengambil kesempatan selagi Kwan Bu dan Giok Lan terbenam dalam kesedihan dan para pelayan datang berlari-lari menghampiri pekarangan yang banjir darah itu. Ketika jenasah-jenazah itu oleh para pelayan diangkut ke dalam dan mereka sibuk mempersiapkan peti mati dan alat keperluan sembahyang, Giok Lan dan Kwan Bu saling memandang dengan sinar mata sayu. Melihat sinar mata gadis itu yang penuh kedukaan, penuh penderitaan dan kegelisahan, Kwan Bu menelan ludah dan akhirnya dapat mengeluarkan suara,
“Aku....... aku yang menyebabkan kesengsaraanmu” Giok Lan mendekap mukanya dan menangis lagi. Kalau tadi ia menahan, hanya dengan air mata mengalir tanpa suara, kini ia merintih-rintih dan mengguguk. Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi tidak mampu dan ia hanya menggeleng kepalanya. Kwan Bu teringat-ingat akan Siang Hwi, menengok ke kanan-kiri mencari- cari, maklumlah ia bahwa gadis itupun diam-diam sudah pergi. Hatinya menjadi makin kosong dan ia berkata lagi,
“Aku….. lebih baik membawa pergi jenasah ibuku dari sini.....” Dengan langkah lemas ia pergi meninggalkan Giok Lan yang masih menangis dengan niat hendak membawa jenazah ibunya dan menguburnya di suatu tempat jauh dari situ. Giok Lan menurunkan tangannya yang menutupi muka. memandang terbelalak kemudian menjerit dan menubruk, merangkul kaki Kwan Bu sambil menangis dan berkata tersedu-sedu.
“Kau….. kau kejam....., kau kejam sekali, Eh, koko mengapa engkau sekejam ini kepadaku…..?” Kwan Bu merasa jantungnya seperti ditusuk, Ia pun berlutut dan memegang kedua pundak gadis itu. Melihat wajah yang penuh penderitaan itu, melihat sepasang mata itu bercucuran air mata, dada itu tersedak-sedak, Kwan Bu tak dapat menahan keharuan hatinya. Gadis ini adalah adiknya, adik tiri seayah, Gadis ini tidak berdosa, akan tetapi harus mengalami penderitaan ini semua, Ia merangkul dengan air mata menitik.
“Giok Lan, adikku. l”
“Koko..! Kasihaniah aku..., aku kehilangan ayah dan kakak... aku ditinggal sendirian. apakah engkau
juga hendak meninggalkan aku. ?” Kwan Bu mempererat rangkulannya,
“Tidak moi-moi, tidak..?” Mereka berangkulan dan bertangisan sehingga para pelayan yang menyaksikan adegan ini ikut bercucuran air mata.
Dengan penuh kedukaan, kedua orang kakak beradik yang sudah kehilangan segaIa-galanya ini hanya mempunyai sedikit hiburan, yang merupakan seutas tali harapan kecil di mana mereka bergantung, yaitu kenyataan bahwa mereka masih memiliki pertalian satu kepada yang lain dalam keadaan sebatang kara itu, mengurus empat jenasah itu menyembahyanginya dan kemudian menguburnya sebagaimana mestinya, Karena Phoa-wangwe adalah seorang hartawan yang terkenal dermawan di kata kam-sin-hu, tentu saja semua itu mengejutkan semua orang dan pemakaman jenasah-jenasah itu dilayat oleh semua penduduk Kam-sin-hu, Setelah pemakaman selesai, kedua kakak beradik ini duduk di ruangan depan, melamun. Keadaan malam hari itu sunyi, para pelayan yang kelelahan telah sore-sore memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat. apa lagi karena nona majikan mereka menyatakan tidak mau diganggu lagi, “Lan-moi, sekarang aku terpaksa harus berpamit darimu. Aku akan pergi merantau, mungkin kita takkan bertemu lagi, moi-moi. Kau maafkanlah segala kesalahanku kepadamu. Engkau seorang gadis yang amat baik dan selama hidupku aku akan tetap mengakibatkan engkau menderita dan hidup kesepian dan sengsara.” Wajah yang pucat itu makin melayu, mata yang sudah kehabisan air mata itu memandang sayu sehinga Kwan Bu tidak dapat menahan hatinya dan menunduk. Kemudian terdengar suara Giok Lan yang serak.
“Bu-ko, engkau hendak ke manakah?”
“Entahlah, mungkin merantau... mungkin kembali kepada suhu melaporkan kematian suheng dan suci “
“Kalau begitu, aku akan ikut denganmu, koko!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang mencerminkan ketegasan yang takkan dapat dibantah lagi. Kwan Bu terkejut dan cepat berkata,