berdiri di pinggiran,
“Salah wanita keparat ini! kalau dia tidak datang mengacau, tentu ayah kita tidak mati, tentu tidak terjadi semua ini. Gadis ini yang salah, dan aku harus meghukum dia! Dia anak pemberontak, dia yang menyebabkan kematian ayah dan kematian ibumu!” Tiba-tiba saja Siok Lun berkelebat maju ke arah Siang Hwi.
“Suheng !” teriak Kwan Bu.
“Koko, jangan…..!” teriak Giok Lan. Siang Hwi menusukan pedangnya, akan tetapi dengan sebuah tangkisan pedang itu terpental dan di lain detik Siok Lun telah memondong tubuh Siang Hwi yang menjadi lemas karena telah ditotoknya secepat kilat,
“Aku harus menghukum dia , ha-ha-ha, harus menghukum kuda liar ini!” Seperti orang gila Siok
Lun menciumi muka Siang Hwi dan membawanya lari memasuki rumahnya. Kejadian ini amat tidak terduga-duga dan terjadi cepat sekali sehingga yang lain-lain sejenak melongo, akan tetapi kemudian Kwan Bu mengeluarkan suara gerangan aneh dan tubuhnya berkelebat memasuki rumah lagi, melakukan pengejaran, Giok Lan menjerit dan mengejar pula. Bi Hwa menjadi pucat mukanya, menggigit bibirnya sampai berdarah kemudian ia pun lari mengejar mereka. Pintu kamar itu tertutup dari dalam, Biarpun Kwan Bu menggedor-gedornya, tetapi tidak dibuka karena sudah dipalang dari dalam,
“Suheng! Bukalah! Suheng, aku tidak akan membiarkan kau melakukan perbuatan terkutuk!” bentak Kwan Bu sambil menggedor pintu kamar, Ia mengharapkan suhengnya atau juga kakak tirinya sadar dan membuka pintu, Namun Siok Lun tidak membuka pintu.
“Braakkkkl” Daun pintu itu pecah berantakan ketika diterjang oleh Bi Hwa, Gadis ini tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya beringas, berkilat-kilat dan mukanya pucat sekali sehingga darah yang keluar dari luka di bibir bawahnya yang ia gigit sendiri tampak nyata. Siok Lun membalikkan tubuhnya sambil menyeringai memandang Kwan Bu dan Bi Hwa yang berada di ambang pintu. Tubuh Siang Hwi yang lemas menggeletak di atas pembaringan, matanya terbelalak. Siok Lun yang tadinya menelungkup memeluk gadis itu kini membalikkan tubuh, napasnya terengah- engah, pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing yang sedang makan tulang lalu diganggu. Beringas dan penuh ancaman.
“Tak boleh seorang pun mencampuri urusanku ini! aku hendak menghukumnya, aku hendak membalas kematian ayah! Yang menghalangi akan kubunuh?”
“Suheng, kalau begitu, aku bersedia kau bunuh karena aku akan menghalangi perbuatanmu yang terkutuk ini!” jawab Kwan Bu. Kini suaranya sudah berubah tidak seperti tadi, melainkan penuh tantangan. Kini ada sesuatu yang mendatangkan kembali gairah hidupnya, yaitu melindungi Siang Hwi daripada bahaya mengerikan. Kini ia harus hidup untuk menolong dan melindungi gadis yang dicintainya itu,
“Kau? Kau suteku dan adikku sendiri? Ha, benar-benar kau sudah bosan hidup! Mari kita selesaikan urusan ini kalau memang kau ingin sekali mati di tanganku!” berkata demikian, Siok Lun mencabut pedangnya.
“Aku menanti di Iuar!” kata Kwan Bu sambil berlari keluar. Siok Lun mengejar keluar dan Bi Hwa Juga keluar tanpa mengeluarkan kata-kala, Giok Lan yang menjadi bingung itu segera menghampiri Siang Hwi dan berusaha membebaskan totokan kakaknya yang hampir membuat gadis itu lumpuh.
“Cabut pedangmu l” Siok Lun menantang, Kwan Bu tersenyum dingin, Kakak tirinya atau bukan, suhengnya atau bukan, sudah menjadi kewajibannya untuk menentang orang ini. Kalau tidak, tentu ia malu menjadi murid gurunya. Ia lalu melepaskan pedang yang dikaitkan sebagai ikat pinggangnya, tampak sinar merah dan suara Kwan Bu terdengar berwibawa,
“Phoa Siak Lun, berlututlah! Aku mewakili suhu untuk menangkap kau sebagai seorang murid durhaka dan menyerahkan kepada suhu!” Siok Lun dan Bi Hwa memandang pedang itu, terkejut bukan main.
“Toat-beng-kiam....!” Hampir berbareng Siok Lun dan Bi Hwa berseru ketika mereka mengenal pedang itu. “Kau. kau dari mana mendapatkan pedang itu? Kau curi dari tangan suhu?” Tanya Siok Lun. Akan
tetapi Bi Hwa sudah menjatuhkan diri berlutut sebagai tanda penghormatan kepada pedang itu yang mewakili kehadiran suhunya.
“Phoa Siok Lun, kau sungguh murtad. Setelah melihat pedang pusaka ini, kau masih belum bertutut? Aku menjadi wakil suhu, berhak menghukum setiap orang murid yang menyeleweng, Akan tetapi aku tidak mau membunuhmu, hanya hendak membawamu kepada suhu. Menyerahlah dan lepaskan pedangmu,”
“Ha-ha-ha-ha! Kau mimpi! Kwan Bu, kau. bocah haram! Meskipun kau anak ayah tetapi kau terlahir
dari hubungan gelap, Siapa takut padamu? Biarpun suhu sendiri yang menghalangi urusanku dengan anak pemberontak itu, dia tidak berhak, Apa lagi kau!”
“Phoa Siak Lun! Sekali lagi, apakah kau tidak mau menyerah?” Kwan Bu berkata dengan suara nyaring.
“Suheng, jangan melawan! Engkau sudah menyeleweng, mengaku dan menyerahlah, tentu suhu akan mengampuni dosamu!” tiba-tiba Bi Hwa yang semenjak tadi dia saja berkata sambil berlutut.
“Apa? Siapa menyeleweng? Aku suka kepada nona Bu puteri pemberontak itu, siapa perduli? Aku hendak menghukumnya menurut caraku, siapa akan menghalangiku? Bi Hwa, engkau menyebut suheng lagi kepadaku, apakah engkau tidak mau mengakui aku sebagai calon suamimu? Jangan kau membela bocah kurang ajar ini! ingat, kalau aku tidak mau mengambilmu sebagai isteri, siapa lagi yang sudi? Kau bukan perawan lagi! Dan kau tidak boleh cemburu, kalau menjadi isteriku, apapun yang akan kulakukan, kau harus patuh, Mengerti??” Muka Bi Hwa menjadi pucat sekali dan ia seperti habis ditampar mukanya, Kwan Bu makin marah,
“Phoa Siok Lun, engkau sungguh seorang murid yang sesat. seorang manusia yang berhati busuk..!” “Cerewet!” Siok Lun membentak dan menerjang maju, menyerang Kwan Bu dengan pedangnya,
Kwan Bu sudah siap sedia, cepat ia menggunakan pedang Toat-beng-kiam sehingga tampak sinar merah darah yang menyilaukan mata. Namun Siok Lun adalah seorang sombong dan percaya kepada kelihaiannya sendiri. Dia tidak gentar dan cepat menarik kembali pedangnya yang hendak ditangkis, kemudian merobah gerakan yang tadi membacok leher itu dengan sebuah tusukan kilat ke arah perut Kwan Bu disusul sebuah sodokan dengan jari tangan terbuka yang menyambar dari kiri menuju pelipis lawan. Hebat bukan main gerakan Siok Lun, selain cepat sekali juga mengandung hawa pukulan yang kuat. Kwan Bu bersikap tenang. Tentu saja ia mengenal jurus yang dipergunakan suhengnya untuk menangkis. kemudian memutar tubuhnya dan pedang yang terpental karena benturan itu kini membabat ke atas “memotong” jalan penyerangan tangan kiri Siok Lun.
Siok Lun berseru marah. Ia tadi cepat-cepat menarik lagi pedangnya karena ia masih ragu-ragu dan jerih untuk mengadu pedang keras-keras, maklum bahwa pedang suhunya itu adalah pedang pusaka yang amat ampuh. Dengan kemarahan meluap ia kini menyeruduk maju seperti seekor harimau kelaparan, menyerang dengan ketebalan pedangnya, amat cepat gerakannya untuk menghimpit dan mendesak Kwan Bu sehingga sutenya itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerangnya, Kwan Bu sudah mengenal suhengnya ini, bahwa gerakan suhengnya amat cepat, bahwa ginkang suhengnya amat tinggi, Ketika belajar di bawah pimpinan Pat-jiu Lo-koai dahulu, dalam latihan-latihan mereka, ia hanya dapat mengimbangi ginkang dari suhengnya ini, namun dalam hal kecepatan, ia masih kalah seusap. Selain ini, juga suhengnya itu pandai sekali menciptakan gerakan-gerakan memancing, gerakan- gerakan palsu yang membingungkan lawan. Jurus-jurus yang mereka pelajari, namun dalam penggunaannya Siok Lun pandai menambah gerakan variasi yang mengkombinasikan sebuah jurus dengan jurus berikutnya. Namun, Pat-jiu Lo-koai dapat mengenal murid-muridnya dan kakek ini lebih condong untuk mengangkat Kwan Bu menjadi wakilnya, bukan hanya karena ia lebih percaya akan batin muridnya ini, melainkan juga karena ia tahu bahwa Kwan Bu memiliki ketenangan yang luar biasa, Dan ketenangan inilah yang mengatasi segala kelebihan Siok Lun, Dalam keadaan tenang dan waspada, Kwan Bu tidak dapat diperdaya oleh segala gerak tipu, dan kini ditambah lagi dengan keunggulan pedang pusaka Toat-beng-kiam, Siok Lun sama sekali tidak mampu mendesak sutenya.
Andaikata mereka bertanding dengan dasar pamrih yang sama, yaitu untuk saling membunuh, kiranya Siok Lun takkan dapat bertahan jika Kwan Bu mendesaknya dengan balasan serangan maut, Akan tetapi, Kwan Bu tidak bermaksud membunuh suhengnya. sungguhpun ia berhak melakukan hal ini sebagai wakil suhunya, dan sungguhpun ia amat membenci perbuatan-perbuatan Siok Lun yang tidak patut terhadap Siang Hwi, Ia tidak tega untuk membunuh Siok Lun, selain karena mereka merupakan saudara seperguruan yang semenjak kecil berkumpul di gunung, juga di tambah lagi kenyataan bahwa mereka masih seayah, masih saudara seketurunan! Karena inilah, maka agak sukar bagi Kwan Bu untuk menundukkan suhengnya ini tanpa membunuhnya. Tingkat ilmu silat mereka tinggi, dan kelebihan ketenangan dan pedang pusaka di tangan Kwan Bu diimbangi oleh kelebihan Siok Lun dalam hal ginkang dan gerak tipu,
Untuk menundukkan lawan yang seimbang tanpa mengeluarkan jurus-jurus maut untuk menyerangnya, sungguh merupakan hal yang tidak mudah, Bi Hwa sudah bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali, matanya mengeluarkan sinar aneh. wajahnya yang cantik itu mengerikan, seperti wajah mayat hidup dan sesungguhnya dia sudah “mati” di bagian dalam dadanya hatinya sudah hancur lebur dilumatkan ucapan Siok Lun tadi. Dia berdiri bagaikan patung hidup, menonton pertandingan itu dengan penuh perhatian. Ketika dua orang pemuda perkasa itu tengah bertanding ramai- ramainya, muncul pula Siang Hwi dan Giok Lan. Dengan susah payah tadi Giok Lan membebaskan totokan di tubuh Siang Hwi dan setelah berhasil, ia cepat mengambil pakaiannya untuk dipakai gadis yang pakaiannya sudah dirobek oleh tangan nakal Siok Lun, Siang Hwi terisak dan berbisik,
“Terima kasih, engkau baik sekali..?”