“Ibu. ! Kwan Bu meloncat dan menubruk ibunya, namun, melihat betapa luka ibunya tak mungkin
dapat ditolong lagi, ia hanya dapat memeluk sambil menjatuhkan air mata, terisak-isak dan menyebut-nyebut nama ibunya. Terdengar suara ketawa serak.
“Ha-ha-ha, Bhe Ciok Kim..! Hutangku kepadamu didunia telah terbayar lunas! Akan tetapi masih ada hutangku di akhirat, terhadap keluargamu dan terhadap banyak orang lain, Marilah. marilah kita
bersama menghadap pengadilan di akhirat... agar segera selesai pengadilannya dan dapat ditentukan hukuman bagiku... ha-ha-ha!” Agaknya karena jarum itu melukai otak, maka kakek ini menjadi seperti orang gila. Tiba-tiba ia berkelojotan dan menghembuskan napas terakhir, hampir berbareng dengan Bhe Ciok Kim yang juga tewas dalam pelukan puteranya.
Sementara itu, Siang Hwi yang tadinya marah sekali dan hendak menentang musuh-musuhya sampai mati, kini berdiri terlongong dengan muka pucat. Peristiwa yang didengar dan dilihatnya terlampau hebat dan diam-diam ia memandang kepada Kwan Bu dengan hati penuh rasa iba. Alangkah hebat penderitaan batin pemuda itu. Kini ia pun tahu akan segala persoalannya, Dibandingkan dengan penderitaan batin Kwan Bu, yang dendamnya setinggi gunung sedalam lautan, dendam yang tanpa disadarinya telah ditujukan kepada ayah kandungnya sendiri, dan kini berhasil pula membunuh musuh besarnya, membunuh ayah kandungnya, dibandingkan dengan itu semua dendamnya sendiri atas kematian ayahnya tidak ada artinya sama sekali! Ayahnya telah berpihak kepada pejuang, dan dua orang murid Pat-jiu Lo-koai itu berpihak kepada kaisar, Kematian ayahnya adalah kematian wajar seorang pejuang, tewas dalam pertempuran, bukan karena urusan pribadi, tepat seperti yang dikatakan Kwan Bu. Berpikir demikian, rasa dendamnya menipis, kedukaannya lenyap melihat kedukaan hebat yang menimpa diri Kwan Bu, Alangkah hebat penderitaan batin Kwan Bu di saat itu, dapat ia maklumi. Melihat mayat ayah kandung yang dibunuhnya sendiri, melihat ibunya menggeletak tak bernyawa karena bunuh diri di depan matanya, benar-benar merupakan pengalaman hebat yang tiada taranya didunia ini. Perlahan-lahan Kwan Bu bangkit berdiri, dan demikian pula Siok Lun, Dua orang muda ini berdiri dan saling memandang, wajah mereka pucat dan lengan serta dada mereka penuh darah ayah dan ibu masing-masing. Kalau pandang mata Kwan Bu lesu dan suram seperti kehilangan semangat, adalah pandang mata Siok Lun penuh hawa amarah yang seolah-olah membuat dadanya hampir meledak.
“Kwan Bu engkau membunuh ayahku...” akhirnya keluar suara dari mulut Siok Lun agak mendesis. Kwan Bu mengangguk. Dadanya seperti ditindih gunung sehingga sukar baginya untuk bicara. Ia memaksa diri untuk berbicara dan terdengar suaranya lemah dan lesu, suara seorang yang sudah kehilangan, gairah hidup.
“Benar, aku telah membunuh dan kalau suheng tidak terima dan hendak menuntut balas, silakan. Mari kita keluar.” Suaranya sama sekali tidak mengandung tantangan, melainkan lebih mengandung penyerahan dari seorang yang sudah putus asa, putus harapan karena tidak melihat lagi kegairahan hidup. Dia benar-benar seorang anak haram yang hina dan tercela! Kehilangan hatinya kepada Siang Hwi yang menghinanya, kemudian muncul Giok Lan yang merupakan pelita yang akan dapat menerangi hatinya yang gelap, akan tetapi ternyata bahwa Giok Lan adalah saudaranya sendiri, adik tirinya, satu ayah lain ibu! Dan yang lebih hebat daripada semuanya, ia telah membunuh ayah kandungnya sendiri.
Apalagi yang diharapkan dalam hidup ini? Dengan langkah tenang akan tetapi tubuh dan semangat lemas ia keluar tanpa menengok lagi, Kemudian, sebaliknya di pekarangan luar, ia berdiri menanti Siok Lun dengan pandang mata sayu dan muka muram. Siok Lun mengejar keluar diikuti oleh Giok Lan yang menangis terisak-isak dan oleh Bi Hwa yang mengerutkan keningnya. Gadis ini ikut menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam menghadapi peristiwa mengerikan dan menyedihkan ini. Juga timbul ketidakpuasaan di dalam hatinya mendengar bahwa ayah suhengnya yang akan menjadi suaminya itu adalah seorang bekas perampok yang telah melakukan perbuatan- perbuatan sedemikian kejinya terhadap ibu Kwan Bu. Memang tadinya ia pun sudah kecewa setelah mengenal watak calon suaminya yang mata keranjang dan pelahap wanita.
Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia telah terperosok, terjebak oleh nafsunya sendiri, telah menyerahkan diri kepada Siok Lun. Dia tidak dapat mundur lagi dan terpaksa harus menerima pemuda yang telah memiliki tubuhnya itu sebagai suami, sungguhpun rasa kasih sayangnya telah menipis, bahkan menghilang oleh kenyataan betapa watak calon suaminya ini amatlah kotornya. Kini dltambah kenyataan tentang ayah Siok Lun, benar-benar hati Bi Hwa menjadi berduka, kecewa dan juga bingung. Adapun Siang Hwi yang menyaksikan itu semua, bagaikan sebuah bayangan ikut pula lari keluar dan kini berdiri di pinggiran dengan pedang tetap di tangan, memandang kepada Kwan Bu. Kini pandang matanya terhadap Kwan Bu sudah banyak berubah, lenyap sinar kebencian dan kecurigaan karena ia sudah tahu akan segala keadaan pemuda itu, kini terganti oleh sinar mata yang mengandung rasa kasihan.
“Kau ..... kau bedebahl Kau harus mengganti nyawa ayah!” berseru keras lalu maju menubruk, memukul ke arah dada Kwan Bu, Kwan Bu hanya memandang tanpa berkedip, tidak menangkis. juga tidak mengelak, menerima hantaman itu dengan mata terbuka. “Desss !” Tubuh Kwan Bu terjengkang ke belakang, dadanya serasa pecah, napasnya sesak dan ia
bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali. Dia telah mengerahkan sinkang untuk menerima pukulan itu, namun pukulan suhengnya amatlah hebatnya sehingga biarpun ia tidak terluka hebat di sebelah dalam dadanya, tetap saja ia merasa nyeri yang menusuk-nusuk rongga dada.
“Kau..., kau tidak membalas? Bagus kalau begitu mampuslah!“ Siok Lun mencabut pedangnya.
“Koko, jangan. “ Giok Lan maju dan memeluk lengan kakaknya sambil menangis.
“Moi-moi, mengapa kau menghalangiku? Dia musuh besar kita! Dia membunuh ayah kita! Pergilah!” Akan tetapi Giok Lan tidak melepaskan pelukannya dan kini berkata dengan suara gemetar.
“Koko, ingatlah. Dia adalah saudara kita sendiri! Dia adalah kakakku, dia adikmu! Dia adalah putera ayah juga! Lupakah engkau akan pengakuan ayah tadi? Biarpun dia ayah kita sendiri, akan tetapi kita harus tidak menutup mata terhadap perbuatannya yang keji, Ayah telah membunuh semua keluarga ibunya, telah memperkosanya dan membutakan mata ibunya. Kita sudah tahu betapa dia selalu mencari musuh besarnya, tidak disadari bahwa musuhnya adalah ayahnya sendiri, Ketika mendengar suara ibunya dan mendengar bahwa ayah kita adalah musuh besarnya, dia menyerangnya dengan jarum, tepat seperti dahulu ayah menyerang dan membutakan mata ibunya! Ayah kita yang bersalah!” Siok Lun mulai meragu dan mulutnya yang cemberut, hanya mengeluarkan suara.
“Hemm. hemm!”
“Kalau kau memaksa hendak membunuhnya, apa lagi dia sama sekali tidak melawan, berarti engkau menambah dosa ayah dan aku…., aku akan terpaksa melawanmu, koko, Biar aku mati sekalian ditanganmu. ,!” Giok Lan menangis tersedu-sedu. Siok Lun menghela napas, memandang kepada
Kwan Bu yang menundukkan muka, kemudian Siok Lun berkata,
“Kwan Bu adalah suteku, dan ternyata adikku sendiri, Kau benar, Lan-moi, dia membunuh ayah karena tidak tahu. Dan ayah.... ah, salah siapakah ini? salah siapa?” Ia menghela napas dan menyarungkan pedangnya kembali. “Sute, aku tidak membunuhmu, Kau adikku sendiri, Akan tetapi, salah siapakah ini?”
“Salah ayah kita!” jawab Kwan Bu, suaranya tegas,
“Ya, salah ayah kita. Ah tidak! Salah dia semua ini!” Tiba-tiba ia menuding ke arah Siang Hwi yang