Dendam Si Anak Haram Chapter 60

NIC

“Omitohud......... syukur engkau datang, Kwan Bu. Ibumu setiap hari merindukanmu dan berduka sehingga kami khawatir kalau-kalau dia akan jatuh sakit. Sebaiknya kau ajak ibumu masuk agar leluasa bercakap-cakap dan... kongcu ini..?” Cheng In Nikauw memandang kepada Giok Lan. Kwan Bu yang sudah melepaskan keharuannya tertawa. “Dia ini bukan seorang kongcu, melainkan seorang siocia,” katanya kepada para nikauw yang menjadi bengong, kemudian mereka tersenyum dan maklum mengapa “pemuda” itu begitu mudah mengucurkan air mata, kiranya seorang wanita! “Ibu, dia adalah nona Phoa Giok Lan, adik kandung suhengku!” Giok Lan cepat maju memberi hormat kepada ibu Kwan Bu dan orang tua ini memandang penuh selidik, kemudian memegang tangan gadis itu dan menariknya.

“Tentu engkau seorang nona yang amat baik budi dan menjadi sahabat baik anakku. Marilah masuk, kita bicara di dalam”. Nyonya yang sebelah matanya buta itu membawa puteranya dan Giok Lan ke ruangan belakang di mana mereka bertiga dapat bercakap-cakap tanpa gangguan. Tadinya ibunya memandang dengan sikap agak ragu-ragu kepada Giok Lan akan tetapi ia menjadi lega ketika puteranya berkata.

“Ibu, Lan-moi itu adalah seorang sahabat baik yang sudah mengetahui akan riwayat kita, bahkan dia membantuku dalam usahaku mencari musuh besar kita.”

“Ah, terima kasih, nona. Engkau sungguh baik sekali.” Kata nyonya itu dengan girang, kemudian ia memegang tangan anaknya sambil bertanya penuh keterangan. “Bagaimana dengan usahamu itu, anakku? Sudah berhasilkah engkau menemukan dia?” Wajah Kwan Bu menjadi muram seketika, ia menggeleng kepala.

“Sudah banyak aku merantau dan mendengar, banyak pula orang-orang yang memiliki ciri-ciri sepeti musuh besar kita kudatangi, akan tetapi mereka itu bukan musuh besar kita, ibu. Sungguh anakmu ini tidak ada gunanya. akan tetapi aku bersumpah akan terus mencarinya sampai dapat, ibu.” Nyonya itu melepaskan tangan Kwan Bu dan kembali duduk bersandar di kursinya sambil menghela napas penuh kekecewaan. Kemudian ia berkata.

“Memang tidak mudah bagimu, anakku. Engkau selamanya belum pernah melihat mukanya dan hanya akulah seorang yang akan dapat mengenal dia, bila mana dan di manapun. Dan aku harus dapat membalas dendam ini. Engkau harus dapat menyeret dia ke depan kakiku untuk kubunuh dia! Sebelum si laknat itu mati di kakiku, aku takkan mau mati! aku tidak akan mau mati sebelum dapat membalas dendam kepada si jahanam!”

Nyonya itu bicara penuh semangat dan sudah bangkit berdiri dari kursinya mengepul tinju. Melihat keadaan nyonya ini, Giok Lan bergidik. Ia dapat melihat bahwa ibu Kwan Bu ini dahulunya seorang wanita yang cantik jelita, dan mendengar cara bicaranya, tentulah bukan seorang dusun biasa. Kini ia melihat sinar maut memancar dari mata yang tinggal sebuah itu. napas yang panas seperti api melalui hidung yang berkembang-kempis dan teranglah oleh Giok Lan betapa hebat dendam yang diderita oleh ibu Kwan Bu, akan tetapi dia dapat membayangkan betapa sakit hati nyonya itu kalau suaminya, orang tuanya dan seluruh keluarganya terbunuh oleh musuh besar itu. Karena maklum akan hal ini, Giok Lan menekan rasa ngerinya dan iapun menundukkan mukanya.

“Harap ibu suka tenangkan hati dan pikiran. Aku bersumpah untuk mencari musuh kita sampai dapat dan menyeretnya ke depan kaki ibu! Sekarang aku hanya datang untuk menjemputmu, ibu. Aku hendak menitipkan ibu di rumah suheng, di rumah adik Phoa Giok Lan ini yang tinggal di kota Kam- sin-hu.”

“Eh, mengapa begitu, Kwan Bu? Sudah baik-baik aku tinggal di Kwan-im-bio ini. bahkan aku sudah berjanji kepada ketua kuil ini bahwa kalau musuh besar kita sudah dapat kita balas. aku ingin menjadi nikouw di sini, mengabdi kepada Kwan Im Pauwsat. Selama dendam masih terkandung di hati, tidak mungkin aku dapat menjadi nikouw. Pula. Dengan menumpang di rumah nona ini, bukankah berarti kita akan mengganggu dan memberatkan beban keluarga?” “Tidak sama sekali, bibi. Kami akan senang sekali apabila bibi sudi tinggal bersama kami di Kam-sin- hu. Semenjak kecil kami, yaitu saya dan Siak Lun koko telah ditinggal mati ibu kami, sedangkan ketika masih kecil, kami berdua telah ditinggal pergi oleh ayah yang berdagang di luar kota. Kalau bibi sudi tinggal bersama kami, hitung-hitung kami mendapatkan seorang ibu…..” Gadis itu berhenti dan mukanya berubah merah karena tanpa disengaja ia telah berbicara terlanjur.

“lbu. Aku sengaja datang menjemput ibu karena hal ini didesak oleh suheng dan juga nona Giok Lan ini. kalau ibu tinggal bersama keluarga mereka, aku akan merasa tenang dan lapang, dapat mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk mencari musuh kita karena aku yakin bahwa keadaan ibu terjamin di sana. Harap ibu tidak menolak.”

Bhe Ciok kim menghela napas panjang. Melihat sikap dan mendengar suara anaknya, ia mengerti bahwa kalau ia berkeras menolak, tentu anaknya akan kecewa sekali dan sebagai seorang tua ia dapat maklum bahwa tentu “Ada apa-apa” antara puteranya dan nona yang cantik jelita ini.

“Baiklah, baiklah… Aku hanya menurut semua kehendakmu, Bu-ji.” Kwan Bu kelihatan girang dan

demikian pula Giok Lan yang segera berkata.

“Perjalanan ini amat jauh dan tidak mungkin ibumu harus menunggang kuda, twako. Biar kucari sebuah kereta untuk bibi!” Tanpa menanti jawaban, gadis ini sudah bergegas keluar. Kwan Bu menghela napas dan membiarkannya saja karena memang ibunya perlu sekali dengan kendaraan itu untuk melakukan perjalanan jauh.

“Ke mana dia hendak mencari kereta?”

“Jangan khawatir, ibu. Nona Phoa Giok Lan adalah seorang yang kaya raya, tentu dia akan membeli sebuah kereta untuk ibu. Dan kita tidak perlu merasa malu terhadap dia, ibu. Percayalah, hubungan antara kami sudah seperti saudara sendiri, karena kami pernah berjuang sehidup semati menghadapi penjahat-penjahat. Maka akupun tidak merasa ragu-ragu lagi menitipkan ibu di rumahnya, tidak pula merasa sungkan melihat dia hendak membeli sebuah kereta untuk ibu.” Nyonya itu mengangguk-angguk.

“Kwan Bu, tahukah engkau bahwa nona itu amat mencintaimu?” kwan Bu tercenggang dan kagum akan ketajaman pandang mata ibunya. Ia mengangguk.

“Aku tahu, ibu. Bahkan dia telah menyatakan secara terus terang kepadaku? “Dan engkau juga mencintainya?”

“Aku belum dapat memutuskannya dan aku tidak akan bicara tentang cinta dan perjodohan sebelum musuh besar kita dapat terbatas.”

“Bagus, anakku. Engkau memang seorang anak yang baik. Aku girang mendengar keputusanmu ini dan kalau Thian mengijinkan kita membalasnya, agaknya gadis itu akan menjadi seorang isteri yang amat baik bagimu, Baru bertemu saja aku sudah suka kepadanya. Dia cantik jelita, cerdik, dan berwatak polos. Aku akan suka sekali mempunyai mantu seperti dia. Dia kelihatan lincah akan tetapi halus budi..!! tidak seperti nona Siang Hwi yang galak. ” Kwan Bu cepat menundukkan mukanya agar

sinar muram yang menyelimuti wajahnya tidak tampak oleh ibunya ketika ia mendengar disebutnya nama Siang Hwi. Cepat-cepat ia berkata untuk mengalihkan percakapan. “Bolehkah aku sekarang mengetahui nama ayahku, ibu.”

“Tidak boleh...... tidak bisa kuberitahu kepadamu. Kwan Bu, dengarlah baik-baik. Semenjak malapetaka itu menimpa diriku, menimpa keluargaku yang semua terbunuh penjahat dan mataku yang sebelah dibikin buta, aku bersumpah takkan menyebut-nyebut nama seluruh keluargaku sebelum aku berhasil membalas sakit hati kepada musuh besar kita itu. Nah, sekarang kau mengerti dan jangan kau bertanya-tanya lagi sebelum kau mampu menyeret penjahat itu ke depan kakiku. Setelah dia tertangkap, baru akan kuberitahu kepadamu akan segala hal.” Tentu saja Kwan Bu menjadi terharu dan tidak berani lagi bertanya. Terdengar suara roda kereta dan ringkik kuda di depan kuil dan tak lama Giok Lan melangkah masuk dengan wajah berseri.

“Kereta sudah siap!”

Cheng In Nikouw mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya ketika Kwan Bu dan ibunya menjelaskan kehendak pemuda itu memboyong ibunya ke Kam-sin-hu dan berangkatlah kereta ditarik dua ekor kuda, dikusiri oleh Kwan Bu sendiri dan dikawal oleh Giok Lan yang menunggang kuda. Mengingat akan keadaan ibunya yang lemah perjalanan dilakukan perlahan-lahan sambil menikmati tempat-tempat yang dilalui, bahkan untuk menyenangkan hati ibu Kwan Bu, Giok Lan yang membawa bekal banyak uang itu sengaja mengajak orang tua ini pelesir, bermalam di penginapan-penginapan mewah dan makan di restoran-restoran besar sehingga ibu pemuda itu makin suka kepada gadis ini. agak terhiburlah hati Nyonya itu yang selama ini bersembunyi di dalam kuil yang sunyi, Dengan perlindungan dua orang muda yang gagah perkasa ini perjalanan dilakukan dengan aman dan selamat karena tidak ada penjahat berani mengganggu.

“Nona Giok Lan, engkau seorang anak yang amat baik budi. Kami ibu dan anak sungguh telah berhutang budi besar kepadamu,” kata Nyonya itu ketika mereka bermalam di sebuah penginapan besar. Mereka menyewa dua kamar, sekamar untuk Giok Lan dan ibu Kwan Bu, sedangkan sekamar lagi untuk Kwan Bu.

“Ah, berkali-kali bibi berkata demikian. Sesungguhnya, saya tidak melepas budi karena selain Kwan Bu koko adalah sute dari kakakku sendiri sehingga boleh dibilang diantara kami adalah saudara seperguruan, juga Bu-koko telah menjadi sahabatku yang paling baik. Kalau saja bibi tahu betapa beberapa kali saya terancam bahaya dalam pertempuran dan seandainya tidak ada Bu-koko yang menolong, tentu hari ini tidak ada Phoa Giok Lan lagi.” Gadis itu tersenyum manis dan Nyonya itu menjadi tertarik sekali, memegang tangan gadis itu dan berkata lirih,

“Engkau amat mencinta puteraku, bukan?” Wajah Giok Lan menjadi merah sekali sampai ke leher dan telinganya, akan tetapi sambil menundukkan muka, ia tersenyum dan mengangguk.

“Percayalah, anakku. Setelah selesai urusan balas dendam, aku akan menekan Kwan Bu agar suka mengambil pilihanku menjadi isterinya, dan pilihanku bukan lain adalah engkau.” Giok Lan menjadi makin malu, akan tetapi hatinya menjadi besar sekali. Dengan suara lirih ia berbisik.

“Terima kasih, bibi…..” Sementara itu, di dalam kamarnya. Kwan Bu gelisah karena lagi-lagi pikirannya diganggu oleh bayangan Siang Hwi. Tak pernah ia dapat melupakan gadis itu dan ia menjadi berduka sekali mengingat akan nasib gadis itu.

Betapa sengsara hati Siang Hwi. Melihat ayahnya terbunuh, keluarganya terpaksa mengungsi dan mungkin sekarang gadis itupun sedang merana seorang diri. Apakah Siang Hwi kembali kepada ibunya yang sudah mengungsi ke dusun entah di mana? Tak mungkin. Gadis itu amat keras hati, dan tentu tidak akan berhenti berusaha sebelum membalas dendam kematian ayahnya. Kalau membalas kepada suhengnya dan sucinya, tentu gadis itu akan membuang tenaga sia-sia belaka, bahkan ada kemungkinan akan celaka di ujung pedang suhengnya dan sucinya yang lihai. Ataukah gadis itu melampiaskan dendam nya kepada para tokoh yang pro kaisar dan menggabungkan diri dengan para pemberontak lainnya yang amat banyak jumlahnya. Teringat akan ini, Kwan Bu berduka sekali.

Betapapun sering gadis itu menghinanya, namun tetap saja ia merasa tidak mungkin baginya untuk melupakan atau membenci Siang Hwi. Karena terganggu perasaan duka ini, akhirnya Kwan Bu dapat juga tertidur dengan tubuh lemas. Akan tetapi, lewat tengah malam ia terbangun karena telinganya yang terlatih mendengar sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan. Cepat ia meloncat bangun, meniup padam lilin yang tadi lupa ia padamkan karena tertidur, kemudian sekali berkelebat ia telah melompat keluar melalui jendela kamarnya dan terus melayang naik ke atas genteng. Dari atas jelas terdengar olehnya suara Giok Lan yang bicara marah. Cepat ia menuju ke tempat itu dan ternyata dari atas tampak olehnya bayangan Giok Lan di dalam taman rumah penginapan itu, berhadapan dengan seorang laki-laki dan mereka sedang bicara dengan nada suara marah.

“Engkau maling ya?” terdengar Giok Lan memaki, dan agaknya bukan makian yang pertama kali. “Kau berpura-pura menyatakan hendak betemu dan berbicara dengan Kwan Bu, itu hanya alasan belaka. Kalau mau bicara, hayo bicara kepadaku, sama juga. Engkau mau apa malam-malam berkeliaran seperti maling, hendak memasuki kamar Kwan Bu…!”

“Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain. Sudah kukatakan, nona…”

“Kau bilang nona? Apakah matamu buta, tidak melihat bahwa aku seorang kongcu?” bentak Giok Lan yang sengaja suaranya kini makin dibesarkan sehingga mau tidak mau Kwan Bu yang mengintai dari atas menjadi geli hatinya, dia tidak mau turun tangan lebih dulu mendengar suara laki-laki yang seperti dikenalnya itu, pula agaknya laki-laki itu tidak hendak memusuhi Giok Lan.

“Aku akan buta kalau tidak dapat mengenalmu nona. Kau bukan seorang kongcu, bukan pula seorang laki-laki tampan, melainkan seorang gadis cantik jelita, akan tetapi galaknya melebihi kucing! Heran aku mengapa suka bersahabat dengan orang galak..?”

“Tutup mulutmu, laki-laki ceriwis!” Giok Lan sudah mencabut pedangnya dan menusuk dada laki-laki itu. Akan tetapi dengan sigap laki-laki itu meloncat mundur sehingga tuBukan itu mengenai angin belaka. Laki-laki mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata.

“Tahan, nona! Aku Kwee Cin bukan seorang laki-laki yang suka bermusuhan tanpa sebab, apalagi terhadap seorang wanita! Aku hendak bertemu dengan Bhe Kwan Bu, dan tidak ada sangkut pautnya denganmu!”

Posting Komentar