Cinta Bernoda Darah Chapter 69

NIC

"Anakku, kau selalu berusaha mengangkat tinggi orang tua"

Puteranda sayang, bukan.. bukan aku, bukan pula leluhurmu yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari ini menjadi Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir dari Kerajaan Cao. Puteranda harus dapat belajar dari sejarah, harus dapat mengenal kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou telah begitu bodoh untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya yang masih kecil untuk menggantikan kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi kebodohan seperti itu."

Inilah ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar tertegun dan termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah lalu. Setelah Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang yang hanya bertahan selama tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang panglima perang lain yang mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya, hanya empat belas tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua belas tahun umurnya. Kerajaan ke empat yang menggantikannya adalah Kerajaan Han Muda, kerajaan ini malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali, lahirlah Kerajaan Cao yang bertahan hanya sepuluh tahun lamanya.

Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari Lima Wangsa itu adalah panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan kedudukan dan saling menggulingkan. Memang tepat ucapan ibunya. Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah menyerahkan kedudukannya kepada puteranya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kwan Yin, melakukan pemberontakan dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kwan Yin setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya kepada para panglimanya.

Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena dia "terpaksa"

Pula. Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur dan "memaksanya"

Mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan Kerajaan Cao yang dirajai seorang anak-anak itu. Dan ini sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan putera kaisar, melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama Kerajaan Sung ini dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan diri atau keturunan sendiri.

Cukup kiranya sekelumit tentang keadaan Kerajaan Sung Utara yang mempunyai ibu kota atau kota raja di Kai-teng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah kita meninjau keadaan Kota Raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang menghadapi perayaan besar itu. Kerajaan kecil yang wilayahnya meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram daripada kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk kepada pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang menyolok. Hal ini sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw yang boleh dibilang menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya pemeluk Agama Beng-kauw, akan tetapi lebih daripada itu, malah terhitung keponakan dari ketua Beng-kauw dan juga amat tekun serta aktip dalam memajukan agama ini.

Ketua Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua agama) mempunyai kedudukan tinggi di dalam istana karena dia menjadi koksu (guru atau penasehat negara). Ketua Beng-kauw bernama Liu Mo, adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan diperingati kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo ini memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti oleh semua orang. Usia Liu Mo sudah amat tua, tak seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya masih kelihatan sehat dan wajahnya masih segar dan penuh semangat, biarpun ia terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja.

Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus tahun. Tak seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau kebohongan kata-kata ini. Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan buktinya, ia mempunyai empat orang isteri yang cantik-cantik"

Hanya seorang di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang, Liu Hwee, anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan kecantikan dan kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya. Untuk memperkuat kedudukan ayahnya dan juga menjaga keamanan di istana, Liu Hwee telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang terdiri daripada seratus orang gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah dan menunggang kuda.

Kerajaan-kerajaan tetangga juga tidak ada yang berani mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa buah negara kerajaan tetangga pernah mencoba untuk memusuhi kerajaan kecil ini, namun mereka kena gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan dan para penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw dipandang sebagai negara kecil yang kuat.

Mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk Agama Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang pangeran yang lebih suka mengejar ilmu daripada mengejar kemuliaan dan kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan setelah kembali, ia telah menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan memasukkan agama ini ke dalam negerinya. Tentu saja pada permulaannya ia ditentang, akan tetapi segera para penentangnya itu roboh seorang demi seorang oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal sebagai tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya diterima, ia menjadi kauwcu dan sekaligus diangkat menjadi koksu oleh raja yang masih keponakannya sendiri. Pernah diceritakan sedikit dalam cerita ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

Seperti juga adiknya, mendiang Liu Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan terkenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui. Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Hampir tiga puluh tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat dalam cinta asmara dengan Kam Si Ek, seorang panglima yang muda dan gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si. Mula-mula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras hati dan nekat, akhirnya ayahnya mengalah dan menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang memilih suami seorang seperti Kam Si Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya tidak banyak artinya?

Namun tak seorang pun berani menyatakan kekecewaan mereka secara berterang, apalagi menentangnya. Dengan bantuan isterinya yang memiliki kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek mendapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam memukul mundur suku bangsa Khitan, berkali-kali isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya kehidupan mereka penuh bahagia, saling mencinta. Setelah Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka melayu, seperti kembang mawar tadi. Timbul percekcokan-percekcokan kecil yang segera berkembang menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah cekcok, lenyaplah segala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja tampak. Isteri secantik bidadari berubah seperti kuntilanak, suami tampan dan menyenangkan berubah menjadi keledai yang menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi? Bukan, melainkan pian-hoa (malih rupa) menjadi benci"

Memang, cinta dan benci saudara kembar, bersifat Im dan Yang.

Memang pada dasarnya, watak kedua orang ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak, berkecimpung di dunia kang-ouw dan bergaul dengan tokoh-tokoh dunia hitam. Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas, sampai-sampai mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya, Kam Si Ek adalah seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil hanya melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang menentang kejahatan. Inilah pokok pangkal pertentangan rumah tangga mereka. Memang sesungguhnyalah, persesuaian watak jadi lebih penting dalam pembangunan rumah tangga daripada cinta nafsu yang membuta.

Percekcokan antara Kam Si Ek dan isterinya, berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah suaminya. Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera, demi untuk kebebasan dirinya. Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar di lereng bukit itu, merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan, seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga. Sekarang setelah minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda liar lagi, terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya selama sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, putera yang ditinggalkan itu adalah Kam Bu Song yang dicari-cari oleh ketiga orang adiknya sehingga terjadi cerita ini.

Dan semenjak itu, orang tidak mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi, Kam Si Ek menikah lagi dan seperti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng. Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan meninggal dunia, tiga tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan sekaligus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang dalam hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya. Sesungguhnya, Liu Mo malah lebih tekun daripada kakaknya dalam hal kebatinan dan wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada puterinya yang telah menikah dengan Kam Si Ek adalah Liu Mo setelah menjadi ketua Beng-kauw, berusaha untuk mencari keponakannya itu.

Demikianlah keadaan para tokoh pimpinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah siap menyambut datangnya hari besar untuk merayakan ulang tahun Agama Beng-kauw dan juga sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Bangunan-bangunan besar dan bangunan-bangunan darurat disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung dari seluruh pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya raya dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh tokoh besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia kang-ouw. Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta partai-partai persilatan besar. Di depan pintu gerbang dibangun sebuah gedung penerimaan tamu.

Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini untuk diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat penginapan di lingkungan istana. Bukan pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan untuk melakukan penyambutan ini, melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup penting. Sebagai kepala rombongan menyambut bagian pria adalah Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang tinggi kedudukannya, masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian Cinjin sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan terlalu besar, rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan tali serat, sepatunya dari rumput, di punggungnya tampak sebuah topi caping lebar yang tergantung dari leher. Ujung sebatang cambuk tersembul dari bawah caping.

Cambuk ini adalah cambuk tukang gembala kerbau, kelihatannya cambuk biasa, akan tetapi sesungguhnya ini adalah sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang paling diandalkan pendeta Beng-kauw itu, sederhana sekali kelihatannya kakek ini, namun di dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan dan wibawa yang besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya. Adapun penyambut tamu wanita dilakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai oleh seorang gadis yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing padat rambutnya dibungkus saputangan lebar berwarna merah, pakaiannya dari sutera halus akan tetapi ada keanehan pada pakaian gadis cantik ini.

Potongan bajunya biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya berbeda, yang kiri hitam yang kanan putih"

Juga sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam dan satu putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali, dan yang mengherankan orang, warna berlawanan ini sama sekali tidak mendatangkan pemandangan janggal, malah menambah keluwesan gadis itu. Memang betul kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil yang aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali itu, tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol. Sepintas pandang orang akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu tentulah sebatang ikat pinggang atau hiasan yang aneh.

Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari Si Gadis manis merupakan sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau Si Gadis manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw. Banyak sudah tamu-tamu yang datang biarpun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus diketahui bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan dalam sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.

Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat daripada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan burung dewata"

Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu beruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan orang banyak dan menjadi tontonan"

Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar, sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw.

Seperti halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni. Banyak juga di antara para tamu yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan Beng-kauwcu sendiri sambil mengucapkan selamat. Di antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari kota An-sui itu. Biarpun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw.

Di samping Suma Boan, banyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan "kecil"

Sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat munculnya Beng-kauwcu sendiri. Seperti dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, di antara para tokoh besar persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi sebagai tamu daripada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama rata dan mereka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.

Betapapun juga, karena memang di dalam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir. Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti setelah keluar dari Nan-cao.

Pada hari yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya. Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak orang bekerja seperti biasa, tampak pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang menjadi lambang Terang, sifat daripada Agama Beng-kauw.

Di istana sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pengiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan, wajah raja yang sudah berusia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.

Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh, sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa. Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti menyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya.

Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti. Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya.

Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh. Biarpun kini di antara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu. Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apalagi kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati lemas kehabisan darah"

Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita, memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini. Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata,

"Enci, tidak usah repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan.."

Posting Komentar