Tentu saja para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.
"Jelas sekali sebabnya,"
Jawab Kaisar Sung Thai Cu.
"Siapakah di antara kalian yang tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?"
Para panglima itu berlutut dan membantah. Seorang di antara mereka yang tertua mewakili teman-temannya,
"Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan Paduka menjadi Kaisar, bagaimana Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di antara hamba sahaya yang berani menentang dan memiliki hati khianat?"
"Aku percaya akan kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi, andaikata pada suatu pagi yang buruk, seorang di antara kalian dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian raja), betapapun tidak setuju hatimu bagaimana kamu akan dapat menghindarkan pemberontakan?"
Sibuklah para panglima itu menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka memiliki hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah.
"Ampun, Sri Baginda yang mulia. Apabila hal itu mengganggu ketenteraman hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah yang Paduka anggap terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba sekalian akan taat dan tetap setia kepada Paduka yang mulia."
Kaisar Sung Thai Cu tersenyum, mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu bersabda, suaranya nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal ini sudah direncanakan lebih dahulu.
"Hidup di dunia ini amatlah pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki harta dan kesempatan untuk menikmati hidup, kemudian meninggalkan kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena itu, para panglimaku yang setia, pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian kuperkenankan melepas pakaian panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman, di sana memilih tempat tinggal yang paling menyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik daripada hidup tak berketentuan nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, di antara kita tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan pernikahan-pernikahan antara keturunan kita sehingga antara raja dan pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang kokoh kuat."
Mendengar ini, para jenderal dan panglima segera tentu saja, menyatakan persetujuan mereka dan pada hari-hari berikutnya, mereka mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini, membagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel. Demikian, dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu membersihkan istana daripada kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan dan pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang dijalankan kaisar pertama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula hati raja-raja kecil yang berkuasa di luar daerah yang dikuasai Kerajaan Sung. Mereka merasa suka dan memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh yang agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah terhadap Kerajaan Sung.
Sungguhpun Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah putera-putera, namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah, mentaati perintah yang dipesankan ibu suri menjelang kematiannya, yang diangkat menjadi pangeran mahkota, yaitu calon pengganti kaisar, adalah adik kaisar sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan Sun Thai Cung, kaisar ke dua. Ahala Sung. peristiwa ini pun tercatat dalam sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar khususnya dan para pemimpin negara pada umumnya dan dianggap sebagai kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi di dalam kamar ibu suri ketika ibunda kaisar ini berada di ambang kematian karena usia tua.
"Puteraku Baginda, apakah yang menyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?"
Sebagai seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan nama besar leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab,
"Ibunda yang mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang sudah ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan Ibunda."
Senang juga hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat kuat ingatannya itu.