It-gan Kai-ong kelihatan marah dan menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.
Ke manakah perginya Sian Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas pembaringannya, tiba-tiba ia mendapat perasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air matanya ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan seorang laki-laki tua pendek tersenyum-senyum di tengah kamar, memandangnya. Sian Eng merasa seperti mimpi, digosok-gosoknya kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih ada, malah kini ia dapat memandang jelas di bawah sinar lampu meja. Benar seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya jarang terurai ke bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan seperti It-gan Kai-ong, namun caranya memasuki kamar cukup aneh sehingga menyeramkan. Akan tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.
"Siapakah.. kau..? Bagaimana bisa masuk..?"
Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup.
"Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan? Kau berada dalam bahaya, marilah ikut denganku."
"Kau siapa? Apa artinya semua ini?"
Kakek itu tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum, seperti senyum seorang badut.
"Aku siapa? Panggil saja Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku. Di sini kau terancam bahaya besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak waktu lagi."
Sambil berkata demikian kakek itu menggerakkan tangannya dan gadis ini merasa tubuhnya melayang keluar dari jendela kamar yang ditendang terbuka oleh kakek itu sambil melayang dan menariknya. Ia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega mendengar bahwa kakek ini adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik adiknya itu. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebib tepat, meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi kalau ia teringat akan peristiwa tadi, betapa dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya, ia menggigil. Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi korban. Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali.
Siapa tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan itu. Tanpa ia ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi Empek Gan. Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah rusak. Kelenteng yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan agaknya hanya patut dijadikan tempat tinggal para siluman dan setan. Akan tetapi Sian Eng tidak merasa takut, tidak merasa serem seperti ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata telah membersihkan ruangan samping kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan di situ tidak ada sarang laba-laba.
"Nah, kita melewatkan malam di sini. Nona, ketahuilah. Muridku ditangisi adikmu yang nakal, yang minta supaya muridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku mendengar bahwa kau pergi bersama Suma Boan dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku dan memaksa si tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita melanjutkan perjalanan, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak tidur di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk, heh-heh"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu. Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan. Dengan girang ia mendapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan setelah mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali ke dalam kelenteng, akan tetapi, kakek pendek lucu itu ternyata masih mendengkur. Ia tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah kesabaran Sian Eng.
"Empek Gan.. Empek Gan"
Bangunlah"
Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu. Kakek itu kaget, geragapan bangun.
"Ada apa..? Kebakaran..? Dunia kiamat? Celaka.. aku masih ingin hidup"
Ia melompat dan lari ke sana ke mari, kelihatan bingung sekali sehingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.
"Tidak ada apa-apa, Lopek,"
Katanya membantah. Kakek itu menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok, terengah-engah dan mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan seperti kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur.
"Aduh ampuuuuun.. sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun hidupku ayem tenterem, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi. Beratnya orang membela murid.. heeeiiii, Mana Bok Liong? Bocah tolol itu belum juga muncul? Nona, kau melihat dia?"
Sian Eng mendongkol bukan main mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita. Akan tetapi maklum bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.
"Wah-wah, betul-betul dia tidak muncul? Celaka.. tentu ada apa-apa. Tak mungkin dia berani tidak mentaati perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah siang, hayo kita pergi"
Kali ini Empek Gan tidak menarik tangan Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan keluar dari kelenteng dan Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.
"Suling Emas"
Dia Suling Emas.. mari kejar dia"
Sian Eng lalu lari mengejar.
"Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kau ajak balapan lari. Dengar perutku mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar.."
Akan tetapi kedua kakinya yang pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat mengejar Suling Emas.
"Dia Suling Emas, aku mau bertanya tentang kakakku.."
Sian Eng tidak pedulikan omelan kakek itu dan terus mengejar. Ketika melihat Suling Emas yang sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng berhenti di depan rumah itu, meragu sebentar lalu tanpa banyak cakap lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari belakangnya Empek Gan berteriak-teriak mencela.