Cinta Bernoda Darah Chapter 60

NIC

"Kalau begitu.. agaknya.. Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?"

"Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan bertemu dengannya di sana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng."

"Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?"

Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang di antara mereka berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng tangan gadis itu.

Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun daripadanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.

"Twako, malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik ini, siapa?"

Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini, yang ternyata telah gagal dalam percintaan.

"Ceng-moi aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang ke sini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana suamimu?"

Pandang mata Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan,

"Ah.. dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya.."

Kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah percakapan.

"Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid siapa, Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan kuperintahkan pelayan membereskannya."

Suma Boan tersenyum, menyatakan baik lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya.

"Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song."

Suma Ceng menahan seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat. Sian Eng makin kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biarpun wanita ini sudah bersuamikan orang lain namun tetap mencinta kakaknya. Ia cepat memegang tangan Suma Ceng dan berkata,

"Enci, harap kau jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku mendengar tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana."

Suma Ceng menarik tangan Sian Eng.

"Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam kamarku.."

Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar banyak tentang diri kakaknya.

"Heeeiiiii"

Dengar kalian semua"

Aku Si Suling Emas selamanya tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Nan-ping maupun Nan-han dan kerajaan-kerajaan di selatan lainnya. Mundurlah dan biarkan kami lewat, kami sedang menuju ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw di sana. Mundur, aku tidak suka membunuh kalian"

Biarpun teriakan Suling Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya digerakkan menjadi segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di sebelahnya terdapat Lin Lin yang juga menggerakkan pedangnya sehingga gulungan sinar kuning yang lebih muda menyilaukan mata dan mengandung hawa dingin mengancam para pengurung, namun puluhan orang yang mengurung mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin hebat.

"Jangan kira aku takut, tikus-tikus tak tahu diri"

Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan golok yang malang-melintang di depannya.

"Lin Lin, serang dan robohkan mereka, tapi jangan bunuh"

Akan tetapi jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak,

"Bunuh anjing pengkhianat, Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung Utara"

Suling Emas dan Lin Lin dalam perjalanan mereka tiba di luar kota Ban-in di pinggir Sungai Yang-ce-kiang, dan di tempat inilah mereka dihadang kemudian dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini memang sudah berjaga di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.

Biarpun puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Ling apalagi Suling Emas. Sebentar saja, golok-golok dan pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak, kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat. Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biarpun keduanya sama menjijikkan seperti binatang atau manusia hutan yang liar, namun keadaan mereka jauh berbeda.

Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat sekali sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan kotor. Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan kebuasan yang mengerikan. Orang ke dua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Adapun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, karena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat. Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah sekali.

"Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?"

"Heh-heh, Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu"

Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.

"Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat"

Si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar. Tiba-tiba Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia melihat Suling Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali, kemuraman lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu.

"Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?"

"Heh-heh, aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa pulang"

Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin. Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin. Baiknya ia cepat mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan menubruk menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah.

Sementara itu, Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senja istimewa, yaitu seekor ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling Emas. Biarpun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa Si Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya. Justeru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah terletak kekuatannya, apalagi "senjata"

Posting Komentar