"Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga manis, bukalah pintu, aku sudah amat rindu kepadamu....!"
Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan.... Swi Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar dua puluh orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan!
"Menyerahlah engkau, Liang-cu. Kami mendapat perintah untuk menangkapmu!"
Komandan pengawal berkata keren. Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi!
"Apa... apa... dosaku....?"
Dia bertanya gagap, saking bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari mulutnya. Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan Sang Komandan membentak.
"Lekas berlutut dan menyerah!"
Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka.
"Mampuslah!"
Bentaknya sambil menerjang ke depan, menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri menghantam pengawal ke dua yang berdiri dekat. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biarpun dia menjadi terhuyung-huyung. Akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan kiri Swi Liang mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat. Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot jugalah Swi Liang yang harus membela diri dengan tangan kosong!
"Jangan bunuh dia! kita harus menangkapnya hidup-hidup!"
Beberapa kali komandan berteriak. Swi Liang mengamuk sekuatnya, namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar tahanan. Sementara itu, yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan
wanita yang dahulu menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup. Mendengar ini, kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku.
Ada beberapa macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang yang tentu saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau "tempat baik"
Di alam baka! Betapapun juga, lepas daripada tepat tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan gagah.
Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subonya terlaksana. Kalau putera subonya sampai biasa menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subonya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya. Begitu dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es yang kini menjadi Ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran tang Sin Ong. Dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu pemberon-takan mereka. Pengakuan ini tentu saja menimbulkan geger.
Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak memberontak. Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah riwayat hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Memang, keadaan sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang. Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya sendiri!
Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin terseret atau ternoda, seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih! Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa karena "akunya"
Menonjol dan Si Aku ini memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan.
Pasukan yang kuat dipimpin seorang perwira tinggi membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri, tiba di Bu-tong-san. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak ditangkap itu, telah melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu. Maka diam-diam dia lalu lolos dari Bu-tong-san, bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini.
Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya dan telah menjadi sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa Bangkai, di kaki Pengunungan Luliang-san, menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu. Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesempatan menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya.
"Aku hanya merasa kecewa sekali mengenangkan murid-muridku,"
Kata The Kwat Lin dengan suara gemas.
"Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran itu pun dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!"
The Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas.
"Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandai-an seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?"
Liok Si mencela.
"Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Citacita kita kandas setengah jalan. Betapapun tinggi kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apakah?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali.
"The-pangcu.... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah sekali."
"Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu, oleh karena itu. Cita-citaku hanya satu, ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah keturunannya."
Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk.
"Memang sepatutnya... sepatutnya.., dan aku bersedia membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku."
The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam.
"Kiam-mo Cai-li, kita bukan anak-anak kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolong-ku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup semati?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk.
"Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu tinggi, juga berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita."
"Bagaimana?"
"Bersekutu dengan An Lu San!"