“Kau kira aku anak kecil yang harus menurut segala omonganmu? Aku mau daging dan arak!” kata Ling Ling.
“Ssst, nona. Banyak orang di sini, tidak malukah kalau kita cekcok di sini?” kata Sian Lun berbisik perlahan. Ling Ling mengerling ke kanan kiri dan melihat para tamu restoran yang duduk di meja lain memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka disangka sepasang suami isteri yang sedang bertengkar. Terpaksa Ling Ling mengalah, akan tetapi ia mendongkol sekali.
“Aku tidak sudi makan pesananmu!” bisiknya dengan gigi terkatup. Sian Lun tidak menjawab.
Akan tetapi, ketika masakan yang dipesan tadi dihidangkan oleh pelayan, tanpa berkata sesuatu Ling Ling lalu makan bubur dan bebek tim itu, bahkan lebih lahap dari pada Sian Lun. Pemuda ini diam-diam merasa geli sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan perasaannya, hanya diam-diam memberi tanda kepada pelayan untuk menambah bubur.
Ling Ling tidak berkata dan makan sampai kenyang betul. Ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali dan diam-diam ia merasa bersyukur atas pilihan makanan pemuda itu. Ia tahu bahwa permintaannya untuk makan daging dan arak tadi hanya timbul dari hatinya yang keras, karena sesungguhnya ia tidak begitu doyan minum arak yang membuatnya pening dan merasa muak.
Ketika mereka keluar dari restoran itu, tiba di depan mereka, di luar restoran, berdiri seorang tosu yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar. Kedua orang muda itu memandang dengan mata curiga, akan tetapi tosu ini dengan tersenyum-senyum memandang kepada mereka, seakan-akan sedang menyelidik.
Tiba-tiba matanya yang bundar itu memandang ke arah gagang pedang yang tergantung di pinggang Ling Ling dan senyumnya menghilang. Sinar matanya cepat dialihkan dan kini menatap wajah Ling Ling dengan pandang mata yang membuat gadis itu terkejut sekali, karena pandangan ini penuh dengan ancaman.
“Di mana kau peroleh pedang itu?” tanyanya kepada Ling Ling dengan suaranya yang mengguntur sehingga para tamu di dalam restoran itu memandang keluar dengan heran.
“Mau apa kau banyak tanya?” jawab Ling Ling dengan suara yang tak kalah keras dan nyaringnya. Memang, untuk membuat ia jangan sampai kalah muka, gadis ini telah mempergunakan khikangnya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema keras.
Tosu itu tertegun dan maklum akan demonstrasi khikang ini. Ia merobah sikapnya dan berkata,
“Hm, kiranya kalian adalah orang-orang muda dari kang-ouw pula. Pinto bertanya bukan tiada alasan. Pedang itu tentu Oei-hong-kiam, bukan? Ketahuilah bahwa Oei-hong-kiam adalah pedangku, sudah sepuluh tahun berada di tanganku.
Kemudian kuberikan kepada muridku dan kumendengar bahwa muridku telah tewas dan pedang itu telah terampas oleh lawannya. Karena itu, ku ulangi lagi, dari mana kau memperoleh pedang Oei-hong-kiam itu, nona?”
“Akulah yang memberi pedang itu kepadanya, totiang,” Sian Lun mendahuluinya menjawab. Pemuda ini maklum akan kekerasan hati nona itu, maka sebelum Ling Ling mengeluarkan ucapan kasar, ia mendahuluinya. Mendengar ucapan ini, tosu itu lalu berpaling dan kini pandang matanya menatap wajah Sian Lun dengan tajam.
“Kau? Siapa kau? Darimana kau peroleh pedang itu?” “Aku memperolehnya dari seorang lawanku yang tewas.”
“Aha, jadi kaulah yang telah membunuh muridku Kwan Sun Giok? Bagus, kau berani sekali mengganggu murid dari Liang Hwat Cinjin? Kau mencari mampus!”
Bukan main kagetnya Sian Lun mendengar ucapan ini, apalagi ketika tiba-tiba sepasang tangan tosu itu yang tertutup oleh lengan baju yang panjang dan lebar, telah menyambarnya dengan kecepatan luar biasa sekali, melakukan totokan dengan ujung lengan baju ke arah jalan darahnya yang berbahaya.
Sian Lun cepat membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik di udara beberapa kali, baru ia turun dan kini ia berdiri agak jauh dari tosu itu.
“Bagus, kau ternyata pandai juga. Pantas muridku kalah!” Sambil berkata demikian, kembali ia mengebutkan kedua tangannya ke depan, tanpa melangkah maju. Inilah pukulan Kim-kong- jiu yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh, sebuah pukulan yang dilakukan mengandalkan tenaga khikang yang amat tinggi.
Sian Lun semenjak tadi telah merasa ragu-ragu dan khawatir sekali. Kalau benar keterangan Kwan Sun Giok dahulu, kakek ini sebetulnya masih supeknya (uwa gurunya) sendiri, maka bagaimana ia berani melawannya? Ia tidak mengelak dari sambaran pukulan Kim-kong-jiu itu.
Sebaliknya ia lalu mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan telapak terbuka, mengerahkan khikang dan lweekang dan melakukan gerakan Raja Monyet Menyembah Buddha. Gerakan ini adalah pelajaran dari ilmu silat Pek-sim-kun-hoat yang ia terima dari Liang Gi Cinjin dan karena telah lama pemuda ini mendapat gemblengan ilmu lweekang dari Beng To Siansu, maka tenaga dalamnya sudah cukup kuat sehingga ia berhasil menolak kembali pukulan Kim-kong-jiu itu.
Liang Hwat Cinjin terkejut bukan main, tidak hanya karena melihat pemuda itu dapat menolak pukulannya, akan tetapi terutama sekali melihat cara pemuda itu menolak pukulan tadi.
“He, dari mana kau memperoleh gerakan See-ceng-pai-hud tadi? Ada hubungan apakah kau dengan suteku Liang Gi Cinjin?”
Sian Lun adalah seorang pemuda yang terpelajar dan memegang keras peraturan kesopanan antara hubungan guru dan murid. Mendengar pertanyaan ini, terpaksa ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Maaf, supek. Teecu adalah murid dari suhu Liang Gi Cinjin.”
Liang Hwat Cinjin tertegun. “Apa? Kau murid dari Liang Gi? Dan kau yang membunuh muridku Kwan Sun Giok dan yang merampas pedangnya?” “Teecu terpaksa, supek, karena dia menjadi panglima dari pasukan Sui, adapun teecu membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Di dalam perang, tentu saja tidak ada hubungan antara saudara. Harap supek sudi mempertimbangkan dan memaafkan teecu.”
“Bedebah!” tiba-tiba tosu itu memaki dengan kasar sekali sehingga mengejutkan semua orang yang mulai menonton pertengkaran itu. “Kau sudah berani membunuh suhengmu sendiri, hendak kulihat apakah kau berani pula melawan supekmu?”
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan hendak memukul Sian Lun yang tidak bergerak dari tempatnya berlutut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tosu keparat! Sekarang kaulah yang harus menjawab dari mana kau mendapatkan pedang ini!”
Karena Ling Ling mengeluarkan kata-kata ini sambil menggerakkan pedangnya di depan tosu itu untuk menghalanginya memukul Sian Lun, Liang Hwat Cinjin terpaksa menarik kembali tangannya dan ia memandang kepada Ling Ling dengan marah dan mendongkol sekali.
“Gadis liar, siapakah kau? Berani sekali kau berlaku kurang ajar dihadapan Kim-kong Lo- koai (Setan Tua Sinar Mas).”
Mendengar tosu itu menyebutkan julukannya yang menyeramkan, Ling Ling tersenyum mengejek dan berkata, “Aku adalah Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa), mengapa harus takut berhadapan dengan setan tua yang sudah hampir mampus. Kau bilang tadi bahwa pedang Oei-hong-kiam ini adalah pedangmu, ternyata kau telah berkata bohong besar.”
Sampai pucat wajah Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan yang disertai makian ini. Belum pernah selama hidupnya ada orang yang berani bersikap demikian kurang ajar kepadanya.
“Bocah yang bosan hidup! Kau berani bilang aku membohong?”
“Tentu saja kau bohong, karena setahuku, pedang Oei-hong-kiam adalah pedang pusaka milik Panglima Besar Kam Kok Han!”
Berobahlah wajah Liang Hwat Cinjin mendengar nama ini disebut. “Hm, dari mana kau tahu akan hal ini? Memang benar, Kam Kok Han telah mampus ditanganku dalam pemberontakannya dan pedang ini terjatuh ke dalam tanganku, bukankah itu berarti bahwa pedang Oei-hong-kiam menjadi pedangku?”
“Bagus, bangsat tua! Sudah lama aku mencari-cari kau untuk membalas dendam sucouw (kakek guru)!” Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu menyerang dengan tusukan pedangnya.
Liang Hwat Cinjin terheran mendengar ini, akan tetapi ia cepat mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya. Ketika ujung lengan baju itu mengenai pedang, terdengar suara gemericing nyaring dan tergetarlah tangan Ling Ling. Gadis ini terkejut sekali maklum bahwa kepandaian kakek ini benar-benar amat lihai dan masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi Ling Ling tentu saja tidak merasa takut sedikitpun juga, apalagi karena pada saat itu ia sedang merasa marah dan sakit hati sekali melihat orang yang dimaksudkan oleh pesanan Bu Lam Nio.
Inilah pembunuh suami Bu Lam Nio, dan orang inilah yang harus ia tewaskan untuk membalas dendam Bu Lam Nio dan Kam Kok Han. Maka ia lalu menyerbu lagi dan mengeluarkan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut sebaik-baiknya.
“Hoho! Jadi kau sudah mewarisi Kim-gan-liong Kiam-sut dari Kam Kok Han? Bagus, bagus, mari pinto antar kau menyusul sucouwmu si pemberontak itu!”
Setelah berkata demikian, Liang Hwat Cinjin lalu menggerakkan kedua lengan bajunya secara istimewa sekali. Dari kedua ujung lengan bajunya keluar angin pukulan yang dahsyat, yang membuat pakaian para penonton yang berada di tempat jauh ikut berkibar dan yang membuat Ling Ling merasa seakan-akan menghadapi serangan angin ribut.
Biarpun gadis ini telah memiliki lweekang yang cukup tinggi sehingga ia tidak terpengaruh oleh hawa pukulan yang hebat ini, namun tetap saja kedua matanya terasa pedas dan hidungnya terasa sukar untuk bernapas ketika tertiup oleh hawa gerakan tosu yang lihai itu. Inilah ilmu silat Soan-hong-kim-ko-jiu yang amat lihai dari Liang Hwat Cinjin.
Dulu ketika ia menghadapi Kam Kok Han di waktu mudanya, ia telah berhasil pula merobohkan panglima kosen itu.dengan Soan-hong-kim-ko-jiu ini. Dan sekarang dengan ilmu pukulan ini pula ia telah membuat Ling Ling menjadi bingung sekali dan terdesak hebat.
“Supek, jangan celakakan dia!” terdengar Sian Lun berseru berulang-ulang, dan ketika supeknya tidak memperdulikan teriakannya, dan melihat betapa Ling Ling nampak makin lama makin lemah gerakan pedangnya, Sian Lun lalu mencabut pedang Pek-hong-kiam dan melompat maju, menyerbu ke dalam kalangan pertempuran yang hebat itu.