Sian Lun tersenyum mengejek. “Butakah matamu bahwa aku tadi mainkan ilmu pedang Pek- sim-kiam-hoat? Kalau kau mengenal Pek-sim-kiam-hoat, tentu kau tahu bahwa aku adalah murid dari Liang Gi Cinjin, namaku Liem Sian Lun!”
Terkejut juga jenderal Kwan mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Liang Gi Cinjin, maka ia cepat berkata,
“Kalau begitu, kau adalah suteku (adik seperguruan). Aku adalah murid dari Liang Hwat Cinjin yang menjadi suheng dari gurumu!” Liang Gi Cinjin tidak pernah bercerita kepada Sian Lun bahwa kakek sakti itu mempunyai seorang suheng, maka Sian Lun belum pernah mendengar nama Liang Hwat Cinjin. Akan tetapi, ia tidak berani menuduh jenderal itu membohong, hanya menjawab keras,
“Hubungan itu tidak menghalangi untuk aku memusuhimu, karena jalan kita berselisih. Kalau kau dan pasukanmu suka menyerah dan menggabung untuk bersama-sama melenyapkan kaisar lalim dan menolong rakyat jelata, tidak keberatan bagiku untuk mempercayai omonganmu tadi.”
Jenderal Kwan Sun Giok menjadi marah sekali. Ia memberi aba-aba untuk menyerbu kepada semua perwira pembantu dan barisannya. Kemudian ia sendiri menyerang lagi kepada Sian Lun dengan sekuat tenaga.
Sian Lun juga memberi tanda kepada Kwee Siong yang segera memberi perintah kepada para perajurit untuk menyerbu, sedangkan serangan Kwan Sun Giok yang hebat sekali itu terpaksa ditangkis oleh Sian Lun dengan pedangnya. Akan tetapi akibatnya membuat Sian Lun merasa terkejut sekali karena terdengar bunyi keras dan tahu-tahu pedang di tangannya telah putus menjadi dua.
“Ha, ha, ha! Mampuslah kau!” Sun Giok tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya ini ditutup oleh pekik mengerikan ketika Sian Lun menyerbu dengan gerak tipu Raja Monyet Merebut Mahkota, sebuah tipu gerakan dari ilmu silat Kun-lun-pai yang paling tinggi.
Gerakannya yang amat cepat itu tidak tersangka sama sekali oleh lawannya sehingga tahu- tahu tangan kirinya telah merampas pedang lawan sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan yang tepat mengenai ulu hati Jenderal Kwan Sun Giok. Pedang berpindah tangan dan tubuh Kwan Sun Giok yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang, kemudian jatuh terjengkang dalam keadaan mati dan dari mulutnya mengalir darah merah.
Sementara itu, kedua pihak telah bertempur hebat sekali dan banyak nampak jatuh korban. Tentara di bawah pimpinan Kwan Sun Giok ini adalah tentara pilihan yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian cukup terlatih. Melihat ini, Sian Lun lalu mempergunakan pedang rampasannya tadi mengamuk bagaikan naga sakti menyambar. Baru segebrakan saja, lima orang perwira musuh telah ronoh mandi darah.
Sepak terjang yang gagah dari Sian Lun ini membangunkan semangat anak buahnya dan melemahkan semangat lawannya. Apalagi ketika pemuda itu melompat ke atas sebuah tempat yang tinggi, lalu menggerak-gerakkan pedang rampasannya sambil berseru keras.
“Dengarlah, para perajurit dari kerajaan Sui! Kalian sebagai anggauta rakyat jelata, tentu sudah maklum akan kelaliman raja! Kami datang bukan untuk memusuhi kalian, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan, untuk menumbangkan kekuasaan raja yang sewenang-wenang! Menyerahlah dan mari kita bersama menjadi pembela rakyat! Yang menyerah akan dianggap kawan, akan tetapi yang tetap berkeras kepala membela raja lalim pasti akan mampus di ujung pedangku!”
Ketika mengeluarkan ucapan ini, Sian Lun mengerahkan khikangnya dan suaranya terdengar keras sekali, menimbulkan gema yang terdengar sampai jauh. Ucapan ini amat berpengaruh, karena pihak musuh menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan perlawanan mereka. Kalau jenderal Kwan Sun Giok yang demikian gagah perkasa masih roboh di tangan pemuda yang hebat itu, apalagi mereka. Setelah melihat pihak-pihaknya banyak yang roboh, sebagian besar daripada tentara kerajaan itu lalu melepaskan senjata dan berlutut menyerah.
Dengan mendapat kemenangan besar serta dapat merampas sebatang pedang pusaka yang ampuh, Sian Lun lalu memimpin barisannya menyerbu kota raja yang tidak begitu kuat lagi penjagaannya.
Kalau barisan yang dipimpin oleh Sian Lun hanya menghadapi perlawanan yang ringan, dan hanya Jenderal Kwan Sun Giok saja yang merupakan penghalang yang disebut kuat, adalah barisan yang dipimpin oleh Jenderal Besar Li Goan mengalami perlawanan yang amat gigih daripada tentara kerajaan.
Barisan pemberontak ini yang bergerak dari selatan, jauh sebelum tiba di pintu gerbang kota raja, telah mengalami perlawanan yang amat hebat dari tiga jurusan, yakni barisan-barisan kerajaan di bawah pimpinan panglima-panglima Song, Cia, dan Wong. Tiga pasukan yang besar jumlahnya ini baru saja kembali dari tugas pembersihan di bagian timur dan melihat pergerakan barisan pemberontak dari Tai-goan, segera mengepung dan menyerangnya.
Panglima-panglima yang bernama Song Kian Hi, Cia Soan Kun, dan Wong Pak ini adalah panglima-panglima besar yang berkepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun dalam ilmu kemiliteran, mengatur barisan.
Jenderal besar Li Goan menjadi agak kewalahan menghadapi kepungan musuh ini, terutama sekali tiga orang panglima itu mengamuk dengan amat dahsyatnya, sukar sekali ditahan.
Banyak perwira pembantu Jenderal Li Goan tewas dibawah amukan tiga orang panglima musuh itu.
Jenderal Li Goan sendiri maju dan hanya dia seorang yang masih berhasil menahan desakan tiga orang lawan ini. Song Kian Hi bersenjata tombak panjang, gerakan tombaknya luar biasa kuatnya. Cia Soan Kun adalah ahli main golok yang tangguh sekali, sedangkan Wong Pak memiliki toyanya yang amat berbahaya karena ia pandai main ilmu toya Raja Kera Puti.
Dibantu oleh dua orang perwira lain, Li Goan bertempur hebat menghadapi tiga orang panglima kaisar ini, sedangkan barisannya yang terkepung dari tiga penjuru itupun mengadakan perlawanan mati-matian. Tiba-tiba dua orang perwiranya yang menghadapi Cia Soan Kun dan Wong Pak berseru keras dan roboh mandi darah menjadi korban senjata lawan.
Kini Li Goan dikeroyok tiga oleh tiga orang panglima kosen itu. Untung sekali bahwa Jenderal Li Goan adalah seorang peperangan kawakan yang tinggi ilmu silatnya. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar pedang dan tidak mudahlah bagi tiga orang pengeroyoknya untuk merobohkan jenderal besar ini.
Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan beberapa orang tentara kerajaan roboh bagaikan rumput dibabat. Ternyata dua orang wanita telah mengamuk menggerakkan pedang dan menyerbu masuk. Dua orang wanita ini adalah Sui Giok dan Ling Ling. Yang lebih menyeramkan adalah Ling Ling, karena dengan Pek-hong-kiam di tangan, ia merupakan halilintar yang menyambar-nyambar tanpa mengenal ampun lagi. Akhirnya mereka berdua tiba di tempat Jenderal Li Goan dikeroyok. Melihat pakaian tiga orang panglima itu, tahulah Sui Giok bahwa pengeroyok-pengeroyok itu adalah panglima- panglima tinggi dari kaisar, maka ia lalu berseru kepada anaknya.
“Kita basmi tiga orang panglima kaisar lalim itu!”
Sui Giok dan Ling Ling segera maju menolong jenderal yang sedang terdesak hebat itu, dan membuat tiga orang panglima itu marah sekali.
“Pemberontak rendah, kau sudah bosan hidup!” teriak Song Kian Hi sambil menyambut serbuan Ling Ling, Cia Soan Kun bertempur dengan Sui Giok dan kini Jenderal Li Goan hanya menghadapi serangan Wong Pak seorang. Pertempuran menjadi lebih ramai lagi, akan tetapi kini keadaannya menjadi terbalik.
Betapapun hebat permainan tombak Song Kian Hi, orang terkuat di antara ketiga panglima itu, namun menghadapi permainan pedang dari Ling Ling, ia tidak berdaya. Belum juga dua puluh jurus mereka bertempur, ujung pedang Ling Ling telah berhasil membabat putus ujung tombaknya dan dengan gerakan yang amat aneh, cepat dan tak terduga, pedang Pek-hong- kiam telah menembus dada panglima she Song itu.
Hampir berbareng dengan robohnya Song Kian Hi, panglima ke tiga Wong Pak juga roboh terkena tendangan yang berat dari Jenderal Li Goan. Sui Giok tidak mau kalah dan ia mempercepat gerakan pedangnya, maka tak lama kemudian, Cia Soan Kun juga memekik keras dan tubuhnya terhuyung roboh dengan pundak kiri terbabat putus.
“Terima kasih, jiwi lihiap!” kata jenderal Li Goan dengan singkat oleh karena ketiganya harus bergerak pula mainkan senjata menghadapi perwira-perwira lawan. Akan tetapi kini perlawanan pihak tentara kerajaan tidak bersemangat lagi. Kemudian nampak Jenderal Li Goan dengan gagahnya melompat ke tempat tinggi sambil memegang rambut dari tiga kepala orang yang sudah putus lehernya.
“Lihat kepala siapa ini! Siapa menyerah akan diampuni nyawanya!” teriakannya keras sekali karena ia mempergunakan tenaga khikang dari dalam perut. Ketika balatentara kerajaan berikut para perwiranya melihat bahwa kepala yang kini tergantung pada tangan jenderal besar itu adalah kepala tiga orang panglima, pemimpin mereka, semua orang menjadi ketakutan. Ada yang melarikan diri, ada yang berlutut sambil melepaskan senjata.
Dengan demikian, Li Goan mendapat kemenangan besar dan segera memberi perintah untuk menyerbu masuk ke dalam kota raja. Ketika jenderal ini memandang ke sana ke mari hendak mencari dua orang wanita yang tadi membantunya, ternyata bahwa kedua orang wanita gagah itu telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.
Akan tetapi oleh karena perjuangan masih belum selesai dan jenderal Li Goan masih sibuk menghadapi penyerbuan ke dalam kota raja, maka ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya kepada dua orang wanita gagah yang membantunya itu. Ia memimpin tentaranya masuk ke dalam kota raja, setelah menyerbu para penjaga tembok benteng dan mendobrak pintu gerbangnya.
Pada saat hampir bersamaan, balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Liem Sian Lun juga berhasil membobol pertahanan para penjaga benteng dan dengan sorak sorai yang ramai sekali barisan ini menyerbu masuk dari lain jurusan. Dengan mudahnya barisan penjaga kaisar dipukul hancur dan Li Goan memimpin pasukannya menyerbu istana kaisar. Akan tetapi ternyata bahwa siang-siang kaisar telah melarikan diri dan mengungsi ke Yang-kouw.
Liem Sian Lun bertemu dengan Jenderal Li Goan yang merasa girang dan memuji pemuda itu atas hasil serbuannya dan menyerahkan pedang rampasannya yang dapat dirampas dari tangan Panglima Sui yang bernama Kwan Sun Giok. Ketika Li Goan menerima dan memeriksa pedang itu, terkejutlah dia,
“Aah. ! Inilah pedang Oei Hong Kiam! Pedang ini adalah milik Panglima Besar Kam Kok