Katanya lemah.
"Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe membutuhkan sesuatu?"
"Dekatkan telingamu...."
Katanya semakin lemah. Ketika Lauw-piauwsu mendekatkan telinganya pada mulut tua itu, Kakek Kun berbisik-bisik menceritakan riwayatnya secara singkat. Bisikan-bisikan itu makan waktu lama juga, dan Lauw-piauwsu mendengarkan sambil mengangguk-angguk tanda mengerti, kadang-kadang matanya terbelalak seperti orang heran dan terkejut. Setelah menceritakan semua riwayatnya kepada piauwsu itu, tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak dan tahu-tahu tengkuk piauwsu itu telah dicengkeramnya. Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Jari-jari tangan kakek yang sudah terluka parah dan amat berat dan gawat keadaannya itu ternyata amat kuat dan dia tahu bahwa kakek itu masih dapat membunuhnya dengan sekali terkam!
"Lauw-piauwsu, bersumpahlah bahwa semua itu tidak akan kau beritahukan orang lain, bahwa engkau akan merahasiakan keadaan kami. Bersumpahlah, kalau tidak terpaksa aku akan membawamu bersama untuk mengubur rahasia itu!"
Lauw Sek terkejut bukan main. Kakek ini sungguh orang luar biasa sekali, bukan hanya berilmu tinggi, memiliki riwayat yang aneh akan tetapi wataknya juga aneh, keras dan dapat bersikap ganas sekali. Cepat dia lalu membisikkan sumpahnya.
"Saya, Lauw Sek, bersumpah untuk merahasiakan segala yang saya dengar dari Kun-locianpwe saat ini."
Jari-jari tangan itu mengendur dan melepaskan tengkuk Lauw Sek yang dapat menarik napas lega kembali.
"Dan benarkah engkau bersedia menolong cucuku ini seperti yang kau janjikan tadi?"
"Tentu saja, Locianpwe. Locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya, maka sudah tentu saya akan suka membalas budi kebaikan Locianpwe dengan melakukan perintah apapun juga."
"Hemm.... aku.... aku tidak pernah minta tolong orang.... hanya engkau yang kupercaya. Maka, kuserahkan Siauw Goat kepadamu, biarlah kau menyebut Siauw Goat saja karena namanya termasuk rahasia itu.... dan kau harus membantu-nya sampai dia bertemu dengan orang tuanya...."
"Baik, Locianpwe, akan saya kerjakan hal itu, betapa pun akan sukarnya."
"Aku tidak minta tolong cuma-cuma.... ini.... coba tolong keluarkan benda dari saku bajuku, Goat-ji (Anak Goat)...."
Siauw Goat sejak tadi tidak bicara, hanya memandang saja ketika kakeknya berbisik-bisik dekat telinga Lauw Sek tanpa dia dapat mendengarkan jelas. Kini, dia lalu memenuhi permintaan kakeknya merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam.
"Lauw-piauwsu.... inilah biayanya engkau mengantar cucuku.... kukira lebih dari cukup...."
Dia menyerahkan kantung kain hitam itu.
"Kun-locianpwe! Saya sama sekali tidak mengharapkan upah!"
"Terimalah.... bukalah...."
Suara kakek itu semakin melemah dan pandang matanya membuat Lauw Sek tidak berani membantah lagi. Dibukanya kantung kain hitam itu dan ternyata isinya hanya sebutir benda sebesar telur burung merpati. Akan tetapi ketika Lauw Sek memandang benda yang kini berada di atas telapak tangannya itu, dia terbelalak.
"Ini.... ini.... mutiara berharga sekali.... saya.... mana berani menerimanya....?"
Katanya gagap, terpesona oleh benda yang berkilauan biru itu.
"Kau.... mengenalnya....?"
Lauw Sek mengangguk.
"Bukankah ini mutiara biru India yang hanya...."
"Sudahlah.... laksanakan permintaanku...."
Kakek itu lalu dengan susah payah bangkit duduk bersila. Tangannya masih mampu menangkis ketika Lauw-piauwsu mencoba untuk membantunya.
Akhirnya dia dapat duduk bersila, duduk dengan bentuk Bunga Teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki bersilang, kaki kiri telentang di atas paha kanan dan kaki kanan telentang di atas paha kiri. Ini adalah cara duduk terbaik untuk orang yang suka melakukan meditasi menghimpun kekuatan dan kini kakek itu duduk seperti ini sambil memejamkan kedua mata atau lebih tepat menundukkan pandang mata dengan pelupuk atas menutup, kedua tangannya terletak di atas kedua lutut, telentang. Melihat ini, Lauw-piauwsu lalu mengundurkan diri untuk membantu teman-temannya yang masih sibuk mengurus kawan-kawan yang terluka. Akan tetapi, ketika matahari mulai mengirim sinarnya yang merah keemasan, membuat benang-benang sutera menerobos celah antara daun-daun bambu, dia mendengar teriakan Siauw Goat,
"Kong-kong....!"
Dia cepat menghampiri dan melihat anak itu berlutut dan mendekap kedua tangan kakek itu yang masih duduk bersila seperti tadi akan tetapi kedua tangannya dirangkap di atas pergelangan kaki. Lauw Sek memandang wajah kakek itu, dia mengerutkan alisnya dan meraba pergelangan tangan kanan kakek itu untuk merasakan denyut nadinya. Anak perempuan itu tidak menangis, hanya berlutut dan membenamkan mukanya di atas kaki kakeknya.
"Dia sudah meninggal dunia!"
Lauw Sek terkejut dan menoleh. Kiranya yang bicara itu adalah Si Sastrawan muda yang entah dari mana baru saja muncul dan begitu melihat wajah kakek itu telah berhenti bernapas. Dan memang sesungguhnyalah, Lauw Sek tidak dapat merasakan ada denyut nadi, maka dia lalu mengelus kepala Siauw Goat.
"Siauw Goat, kakekmu telah meninggal dunia dalam keadaan tenang, jangan kau berduka lagi, Nak."
Suara piauwsu ini agak gemetar karena dia merasa terharu sekali. Dia tahu bahwa kakek ini agaknya mengidap penyakit berat, dan ketika malam tadi menolongnya merobohkan dua orang perampok, agaknya kakek ini terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga luka di dalam tubuhnya makin parah dan mengakibatkan tewasnya. Anak perempuan itu mengangkat mukanya. Mukanya pucat, sepasang matanya bersinar-sinar, akan tetapi tidak nampak dia menangis sungguhpun ada bekas air mata membasahi kedua mata dan pipinya. Dia sama sekali tidak terisak, bahkan kini dia mengepal tinju kanannya yang kecil sambil berkata,
"Aku bersumpah untuk membalas kematian kakekku kepada Si Jembel tua bangka Koai-tung Sin-kai dan perkumpulan penjahat Eng-jiauw-pang!"
"Hemm, gadis cilik engkau lancang sekali! Koai-tung Sin-kai bukan...."
"Kau peduli apa?"
Siauw Goat meloncat berdiri, bertolak pinggang menghadapi sastrawan yang tadi mencelanya.
"Semalam Kong-kong yang sedang menderita luka parah telah terpaksa membantu para piauwsu menghadapi penjahat-penjahat perampok Eng-jiauw-pang dan engkau bersembunyi di mana? Sekarang setelah kakekku meninggal, engkau muncul dan pura-pura hendak menasehatiku. Bagus, ya?"
Sastrawan itu terbelalak, tersenyum murung dan mukanya berobah merah. Wah, anak ini luar biasa, pikirnya. Ketika dia mengangkat muka, dia melihat pandang mata semua orang ditujukan kepadanya, seolah-olah mereka itu mendukung teguran anak perempuan itu.
"Aku menemukan jejak manusia salju dan mengikutinya semalam suntuk, akan tetapi tak berhasil menemukannya."
Dia menggumam.
"Yeti....?"
Lauw Sek berteriak dengan muka pucat dan semua piauwsu juga menjadi pucat mukanya, bahkan ada yang menggigil ketakutan dan memandang ke kanan kiri.
"Di.... di mana.... dia....?"
Lauw-piauwsu bukanlah seorang yang lemah, akan tetapi sebagai seorang piauwsu yang sering kali melalui daerah ini, tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang manusia salju atau Yeti, betapa mahluk itu kalau sudah mengamuk amat berbahaya, tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menandinginya. Maka tidak mengherankan kalau dia menjadi pucat ketakutan. Sastrawan itu menggerakkan pundaknya.
"Aku hanya menemukan jejak kakinya saja, dan jelas bahwa orang-orang yang terbunuh itu adalah korban-korbannya."
"Tapi.... biasanya Yeti tidak pernah mengganggu manusia. Kecuali.... kalau dia lebih dulu diganggu. Tentu ada hal hebat dan aneh terjadi maka Yeti dapat mengamuk seperti itu, membunuh banyak orang dan melihat betapa para korban itu dikoyak-koyak jelaslah bahwa Yeti itu benar-benar sedang marah. Kita harus cepat melanjutkan perjalanan. Mari kita cepat mengubur jenazah Kakek Kun, lalu segera melanjutkan perjalanan ke dusun Lhagat!"
Semua orang lalu sibuk bekerja menggali sebuah lubang kuburan. Akan tetapi ketika mereka hendak mengubur kakek itu, ternyata tubuh kakek itu yang masih duduk bersila telah kaku dan tidak dapat ditekuk kaki tangannya agar dapat rebah telentang.
"Biarkan saja!"
Tiba-tiba Siauw Goat berkata lantang.
"Kong-kong lebih suka tidur bersila, jangan ganggu jenazahnya!"
Anak itu tidak tega melihat betapa para piauwsu berusaha untuk menarik-narik kaki tangan kong-kongnya. Sastrawan muda itu hanya tersenyum saja dan mengangguk-angguk. Maka beramai-ramai para piauwsu lalu menggotong tubuh yang masih bersila itu, meletakkannya ke dalam lubang yang cukup dalam. Setelah Siauw Goat memberi hormat untuk yang terakhir kalinya dengan hio yang menjadi bekal para piauwsu, kemudian semua piauwsu juga memberi hormat, bahkan juga tiga orang saudagar gendut, kecuali Si Sastrawan, maka jenazah dalam lubang itu lalu ditimbuni tanah. Tidak terdengar tangis, akan tetapi sastrawan itu melihat betapa air matanya bercucuran dari kedua mata Siauw Goat yang berdiri tegak. Anak ini menangis, namun kekerasan hatinya membuat tidak ada isak keluar dari mulutnya.
"Luar biasa.... anak luar biasa...."
Sastrawan muda itu menggumam kepada diri sendiri. Setelah selesai penguburan itu, Siauw Goat lalu minta kepada Lauw Sek agar makam itu diberi tanda. Piauwsu itu kelihatan bingung.