Katanya, lalu melanjutkan langkahnya. Lauw-piauwsu tidak berani bertanya lebih banyak lagi, bahkan hatinya merasa lega karena memang tadi pun dia sudah merasa curiga.
Pembunuhan kejam itu belum lama terjadi dan memang kemungkinan besar pembunuhnya, siapa pun orangnya atau apa pun mahluknya, masih bersembunyi di sekitar hutan bambu ini. Dia bergidik mengingat ini dan setelah anak buahnya membuat sebuah api unggun yang besar dan semua orang mulai mengaso tanpa makan malam karena tidak ada yang dapat menelan makanan setelah melihat keadaan mayat-mayat itu, Lauw-piauwsu lalu mengatur para anak buahnya untuk melakukan penjagaan secara bergilir. Malam itu suasananya sunyi sekali, sunyi yang amat menyeramkan. Suasana ini bukan hanya diciptakan oleh keadaan di dalam hutan bambu itu, yang memang amat menyeramkan, dengan bunyi daun-daun bambu terhembus angin, bergesekan dan diseling suara berdesirnya batang-batang bambu yang saling bergosokan, seperti tangis setan dan iblis tersiksa dalam neraka dongeng,
Melainkan terutama sekali disebabkan oleh perasaan ngeri dan takut yang menyelubungi hati rombongan itu. Lewat tengah malam, di waktu keadaan amat sunyinya karena sebagian dari anggauta rombongan sudah tidur, sedangkan angin pun berhenti bertiup sehingga keadaannya amat sunyi melengang. Tiba-tiba terdengar pekik-pekik kesakitan. Tentu saja pekik yang merobek kesunyian itu mengejutkan semua orang. Bahkan mereka yang sudah tidur, tentu saja tidur dalam keadaan gelisah dan diburu ketakutan, serentak terbangun dan keadaan menjadi panik. Apalagi ketika mereka melihat dua di antara empat orang pemikul barang itu telah roboh mandi darah dan tak bergerak lagi, sedangkan dua orang piauwsu sudah luka-luka namun masih mempertahankan diri melawan dua orang laki-laki tinggi besar yang amat lihai!
Ketika semua orang terbangun dan memandang, ternyata dua orang piauwsu itu pun tak sanggup mempertahankan diri lebih lama lagi. Mereka berdua ini bersenjata golok besar, akan tetapi mereka terdesak hebat oleh dua orang tinggi besar yang tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan mereka memakai semacam sarung tangan yang mengerikan karena sarung tangan itu dipasangi lima buah jari tangan yang melengkung dan berkuku tajam kuat terbuat dari pada baja! Tubuh dua orang piauwsu itu sudah luka-luka dan mandi darah dan pada saat Lauw-piauwsu meloncat, dua orang piauwsu itu roboh dengan perut terbuka karena dicengkeram dan dikoyak oleh kuku-kuku baja itu. Mereka pun menjerit dan berkelojotan! Toat-beng Hui-to Lauw Sek marah sekali dan kedua tangannya diayun. Nampak sinar-sinar berkilauan menyambar ke arah dua orang tinggi besar itu.
"Tring-tring-cring....!"
Dua orang itu tidak mengelak, akan tetapi menggerakkan kedua tangan mereka dan enam batang hui-to yang menyambar mereka itu dapat mereka sampok runtuh semua! Pada saat itu, seorang piauwsu cepat menambah kayu pada api unggun sehingga keadaan menjadi terang.
"Kalian....!?"
Lauw-piauwsu berteriak dengan mata terbelalak ketika dia kini mengenal wajah dua orang tinggi besar itu, yang tertimpa sinar api unggun. Semua orang pun menjadi terkejut dan terheran-heran karena dua orang tinggi besar itu bukan lain adalah dua di antara empat orang pemikul barang-barang da-lam rombongan mereka! Dua di antara para pemikul barang-barang yang mereka tadinya hanya anggap sebagai orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga kasar untuk menjadi kuli angkut dan memperoleh hasil nafkah sekedarnya itu!
"Kalian.... anggauta Eng-jiauw-pang....?"
Kembali Lauw-piauwsu berseru dengan keheranan masih mencekam hatinya.
"Ha-ha-ha!"
Seorang di antara dua orang "kuli"
Itu tertawa.
"Lauw-piauwsu, kami hanya menghendaki satu peti ini saja!"
Katanya sambil menepuk peti hitam yang sudah diikat di punggungnya. Peti kecil itu justru merupakan benda yang paling berharga di antara semua yang dikawalnya karena peti itu berisi batu-batu intan besar.
"Pek-i-piauw-kiok tidak pernah bermusuhan dengan Eng-jiauw-pang, harap kalian suka memandang persahabatan antara dunia liok-lim (rimba hijau) kangouw (sungai telaga) dan tidak mengganggu. Pada suatu hari tentu aku sendiri yang akan datang mengunjungi Eng-jiauw-pang untuk menghaturkan terima kasih."
Kata Lauw Sek dengan tenang akan tetapi dengan kemarahan yang sudah mulai naik ke kepalanya.
Diam-diam ketua Pek-i-piauw-kiok ini merasa menyesal sekali mengapa sampai "kebobolan"
Dan tidak tahu bahwa ada perampok dari perkumpulan perampok yang paling ganas di See-cuan menyamar sebagai dua orang kuli angkut barang! Memang dua orang kuli angkut ini baru pertama kali dipekerjakan, namun dengan perantaraan dua orang kuli lain yang kini telah tewas itu, dibunuh oleh dua orang anggauta Eng-jiauw-pang. Dia segera mengenal dua orang anggauta Eng-jiauw-pang begitu melihat cakar garuda di kedua tangan itu, yang merupakan sarung tangan dan senjata andalan dari para anggauta Eng-jiauw-pang yang tidak banyak jumlahnya akan tetapi yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Selama ini dia tidak pernah mau berurusan dengan fihak Eng-jiauw-pang dan perampok-perampok ini pun bukan perampok biasa, tidak pernah merampok barang-barang yang tidak berharga.
"Ha-ha-ha, antara perampok dan piauwsu, mana ada kerja sama yang adil? Kalau kalian berani main sogok seribu tail, tentu karena kalian ada untung sepuluh ribu tail! Sudahlah, kami sudah bersusah payah memangguli barang-barang ini, dan peti ini adalah upah kami!"
"Tidak mungkin kalian dapat melari-kannya tanpa melalui mayatku!"
Lauw-piauwsu membentak dan dia sudah menerjang maju dengan sepasang goloknya, diikuti anak buahnya yang hanya tinggal sembilan orang saja karena yang dua orang sudah terluka parah. Terjadilah perkelahian yang amat hebat di bawah sinar api unggun yang kadang-kadang membesar kadang-kadang mengecil itu.
Bayangan-bayangan yang dibuat oleh sinar api ini sungguh menambah seramnya keadaan karena seolah-olah banyak iblis dan setan ikut pula berkelahi, atau menari-nari kegirangan di antara mereka yang bertempur mati-matian. Dua orang En-jiauw-pang itu memang lihai bukan main. Sepasang senjata mereka yang merupakan sarung tangan berkuku baja itu amat berbahaya dan biarpun mereka berdua dikeroyok oleh sepuluh orang piauwsu yang bersenjata tajam, namun mereka berhasil melukai pula empat orang! Namun, Lauw-piauwsu memutar sepasang goloknya secara cepat dan dibantu oleh sisa teman-temannya, dia berhasil mendesak dan mengepung ketat sehingga dua orang Eng-jiauw-pang itu kewalahan juga. Tiba-tiba seorang di antara mereka membentak keras, terdengar ledakan dan nampak asap kehijauan mengepul tebal.
"Awas asap beracun!"
Lauw-piauwsu berseru dan anak buahnya berlompatan mundur. Dengan sendirinya kepungan itu berantakan dan dua orang Eng-jiauw-pang itu menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh ke belakang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan mereka melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depan mereka! Kakek ini bukan lain adalah Kakek Kun yang berdiri dengan wajah bengis.
"Tinggalkan peti itu!"
Bentaknya.
"Kun-locianpwe, harap jangan mencampuri urusan Eng-jiauw-pang dan Pek-i-piauw-kiok!"
Seorang di antara mereka berseru marah.
"Hemm, aku tidak peduli apa itu Eng-jiauw-pang dan apa itu Pek-i-piauw-kiok. Aku melihat kalian melakukan kejahatan, maka dari mana pun kalian datang pasti akan kutentang!"
Dua orang itu membentak keras dari mereka menubruk dari kanan kiri, Kakek Kun cepat menangkis dan balas menyerang dengan pukulan dan tamparan yang juga dapat dielakkan dan ditangkis oleh dua orang Eng-jiauw-pang itu. Terjadilah pertempuran amat serunya dan kini keadaan menjadi terbalik. Kalau tadi dua orang Eng-jiauw-pang yang dikeroyok banyak itu mampu mendesak para pengepungnya, sebaliknya kini mereka mengeroyok seorang kakek dan merekalah yang terdesak hebat.
Setiap tamparan yang keluar dari tangan kakek itu demikian ampuhnya sehingga kalau mereka tidak mampu mengelak dan terpaksa menangkisnya, mereka tentu terdorong dan terhuyung-huyung! Betapapun juga, dua orang perampok itu menjadi nekat karena tempat itu sudah dikepung lagi oleh Lauw-piauwsu dan teman-temannya, siap untuk menerjang kalau mereka berdua hendak melarikan diri. Pertempuran dilanjutkan dengan mati-matlan, namun setelah lewat lima puluh jurus lebih, setelah berkali-kali mengadu tenaga mereka dengan sin-kang dari Kakek Kun, akhirnya dengan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu Kakek Kun berhasil membuat mereka terpelanting dan mengaduh-aduh, sukar untuk bangkit kembali! Lauw-piauwsu merampas kembali peti hitam itu dan dia sudah mengangkat golok untuk membunuh. Akan tetapi Kakek Kun berseru,
"Jangan bunuh mereka yang sudah kalah!"
Dua orang perampok itu merangkak dan bangkit berdiri, memandang kepada Kakek Kun, tidak tahu harus marah ataukah harus berterima kasih! Mereka merasa digagalkan oleh kakek ini, akan tetapi sebaliknya, nyawa mereka pun tertolong olehnya! Mereka tadinya jerih terhadap Si Sastrawan, maka mereka selalu mencari kesempatan. Kini, sastrawan itu pergi menyelidiki pembunuh orang-orang dalam hutan itu, dan mereka turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kakek yang pendiam dan tak acuh itu turun tangan mencampuri dan menggagalkan usaha mereka! Melihat sinar mata kedua orang itu, Kakek Kun menggerakkan tangan dan menarik napas panjang, suaranya terdengar lirih sekali,
"Pergilah.... pergilah....!"
Dua orang itu lalu mengangguk dan berjalan pergi menghilang ke dalam gelap. Lauw-piauwsu yang dapat merampas kembali peti hitam itu, cepat menghampiri Kakek Kun dan memberi hormat,
"Kun-locianpwe telah menolong kami, sungguh besar budi Locianpwe dan kami menghaturkan banyak terima kasih...."
"Kong-kong....!"
Siauw Goat berseru dan Lauw-piauwsu bersama para piauwsu lain terkejut melihat kakek itu terhuyung-huyung, kemudian dari mulut kakek itu tersembur darah segar.
"Kun-locianpwe....!"
Lauw-piauwsu mendekat hendak menolong, akan tetapi kakek itu menggerakkan tangan, lalu menuntun cucunya mendekati api unggun di mana dia duduk bersila sebentar. Wajahnya pucat sekali, napasnya terengah-engah, akan tetapi makin lama pernapasannya makin baik dan normal kembali, sungguhpun wajahnya masih amat pucat.
"Kong-kong, kenapa melayani segala macam maling dan rampok? Kong-kong telah terluka parah, masih melayani segala jembel dan perampok busuk!"
Ter-dengar Siauw Goat mengomel.
"Kongkong....!"
Gadis cilik itu memegangi lengan kakeknya. Dia lebih mengenal kakeknya dan tahu bahwa kakeknya amat menderita. Lauw-piauwsu kembali mendekat dan dia melihat kakek yang disangkanya sudah sembuh itu kini merebahkan diri telentang di atas tanah bertilam daun-daun bambu, dekat api unggun. Siauw Goat berlutut didekatnya, nampak berduka dan alisnya berkerut seperti menunjukkan ketidaksenangan hatinya.
"Kun-Locianpwe, dapatkah saya membantu Locianpwe?"
Lauw-piauwsu mendekati dan bertanya, sedangkan anak buahnya sibuk mengurus mereka yang terluka dalam pertandingan melawan dua orang perampok Eng-jiauw-pang tadi,
Sedangkan dua orang kuli angkut itu telah tewas. Kakek itu tidak menjawab dan Siauw Goat menunduk, memegangi tangan kakeknya dengan sikap amat berduka. Lauw-piauwsu makin mendekat, memperhatikan dan akhirnya dia memegang pergelangan tangan kakek itu. Denyut nadinya lemah sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini telah pingsan! Maka dia lalu mengeluarkan obat gosok, membuka kancing baju kakek itu dan perlahan-lahan menggosok dadanya dengan obat gosok panas itu. Menjelang pagi Kakek Kun siuman dari pingsannya, menggerakkan pelupuk mata, lalu membuka, menatap sejenak kepada Siauw Goat yang masih duduk di dekatnya, kemudian menoleh dan memandang kepada Lauw-piauwsu yang juga tidak pernah meninggalkannya.
"Lauw-piauwsu...."