Suling Emas Chapter 46

NIC

Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ketepi sungai, ia melihat empat orang sudah menanti musuh. Ia memperhatikan mereka. Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh Si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk hitam.

Adapun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, dipunggungnya terselip sebatang pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang lihai, yang akan muncul dari arah timur. Lu Sian juga memandang kearah itu. Dan tak lama kemudian, dibawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau. Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat.

"Berhenti!"

Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang sudah siap itu. Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon. Bukan main hebatnya gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu!

Dua orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh. Dalam kecewanya dan sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan ia ganas kejam dan gila-gilaan!

"Nah, kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!"

Dengan sikap tenang saja, masih bersila, kedua tangannya diletakkan di atas paha, kakek itu menantang. Hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab setelah melangkah maju setindak,

"Couw Pa Oag, sebelum kami turun tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak tahu bahwa kau seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang, itu pinceng dan adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan bukan hanya kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu. Kami berempat sudah mengangkat saudara, bersumpah hendak membasmi kejahatan. Pinceng Houw Hwat hwesio murid dari Siauw-lim-pai, Toheng ini Liong Sin Cu seorang tosu dari Kun-lun-pai, dia itu Bun-tanio dari Hoa-san-pai beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kaulihat kami adalah murid-murid partai besar, selalu mentaati perintah perguruan untuk membasmi kejahatan..."

"Cukup! Ha-ha-ha, hwesio mentah! Kau perlu apa berpidato didepanku? Kau tahu apa? Dengan membunuhi para pengungsi itu, aku telah berbuat kebaikan terhadap mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah pemerintah pemberontakan Liang, sama dengan mencari kesengsaraan, maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah menghadapi bencana. Ke dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun yang merebut tahta kerajaan, berarti mereka itu lemah dan pengecut, tidak setia. Apa harganya untuk hidup lebih lama lagi!"

"Benar-benar alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya sendiri!"

Bentak Lo Tek Gu si murid Hoa-san-pai yang memegang tongkat.

"Mari kita hajar tua bangka keji ini!"

Liu Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam-diam merasa gembira dan kagum terhadap Kong Lo Sengjin Si Kakek Lumpuh. Lihai ilmu silatnya, lihai pula kata-katanya, aneh dan juga terlalu sekali! Ia mengharapkan pertandingan yang ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti kakek itu sampai sehari lamanya, apalagi kalau diingat bahwa empat orang pengeroyok ini adalah murid-murid partai persilatan besar, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Hoa-san-pai! Tiga buah partai besar yang sering disebut-sebut ayahnya dan dikagumi.

Mula-mula memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali mengurung Si Kakek Lumpuh. Hwesio Siauw-lim-pai itu yang telah kehilangan toya, kini mematahkan dahan pohon dan memutar-mutar dahan ini dengan tenaga besar menimbulkan angin berderu, Tosu dari Kun-lun-pai yang bernama Liong Sun Cu itu pun meloloskan cambuknya dan terdengar bunyi keras seperti petir menyambar diatas kepala. Sungguhpun tidak sehebat paman gurunya, Kauw Bian, permaianan cambuk itu, namun Lu Sian mengagumi keindahannya. Adapun kakak beradik seperguruan dari Hoa-san-pai, juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu amat cepat, pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung-gulung, sedangkan tongkat sutenya juga bergerak-gerak laksana seekor naga mengamuk.

Akan tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki gerakan ilmu silat indah yang kosong saja, ataukah Si Kakek Lumpuh yang terlalu ampuh bagi mereka? Disambar empat macam senjata dari empat penjuru, tubuh bagian atas kakek itu hanya bergerak-gerak seperti batang padi tertiup angin pukulannya menyeleweng ke kanan ke kiri. Tiba-tiba terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke atas kemudian menyambar ke arah Houw Hwat Hwesio. Hwesio Siauw-lim-pai ini kaget sekali, cepat ia menyambut dengan sodokan toyanya kearah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu berbareng tangan kirinya menampar dilanjutkan dengan tangan kanan yang menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali dan tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah tubuh hwesio itu terapung-apung seperti sebatang balok hanyut!

"Siluman tua, berani kau membunuh saudara kami?"

Bentak Liong Sun Cu si tosu Kun-lun-pai. Cambuknya menyambar-nyambar dengan suara keras. Karena kakek tua itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah tadi menyerang Houw Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke bawah, ke arah kepalanya.

Bun-toanio yang juga marah, menerjang dengan tusukan pedang dari belakang, mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek Gu menghantamkan tonkatnya ke arah pundak kiri. Kong Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan cambuk itu mengenai kepalanya. Ujung cambuk menghantam kepalanya terus melibat, akan tetapi ketika tosu Kun-lun-pai yang kegirangan melihat hasil serangannya itu hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah mati karena cambuknya seakan-akan telah tumbuh akar dikepala kakek itu, tak dapat ditarik kembali! Pedang yang menusuk punggung dan tongkat yang menghantam pundak juga tidak ditangkis, akan tetapi pedang dan tongkat meleset hanya merobek baju saja, seakan-akan yang diserang adalah baja yang keras dan licin sekali.

Selagi tiga orang pengeroyoknya kaget, kakek itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya kembali mencelat ke atas. Kedua tangannya bergerak, cepat sekali sehingga sukar diikuti dengan pandang mata, menampar tiga kali kearah kepala para pengeroyoknya, sambil menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit tiga kali terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu berturut-turut melayang dari atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung-apung seperti ikan-ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio! Dua orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata.

"Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan, sampai disini saja hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."

Kong Lo Sengjin memandang mereka dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan mampus ditangan kakek sakti itu!

"Hemm, kenapa? Apakah kalian takut?"

"Sesungguhnya, Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka membunuh orang banyak, Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan mereka, akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"

"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?"

Pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.

Posting Komentar