Suling Emas Chapter 41

NIC

"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu."

Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.

Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian keluar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan dipunggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh kearahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat dijalan yang menuju ke utara, jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap dipinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri ditengah jalan sikap yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut biarpun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak menggodanya. Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil.

Ia menghadapi urusan besar hendak mencari dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu! Ia mengerahkan lwee-kangnya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik kearah mereka. Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti dikomando mereka lalu menyingkir kepinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang dipunggungnya, berjalan seenaknya akan tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya? Seekor gajah pun takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya!

Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang pecah dan sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di tengah yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka menjadi amat buruk. Pekarangannya luas, bahkan dibelakangnya juga terdapat kebun yang luas, bangunannya besar, akan tetapi didepan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada tiap rumah kelenteng. Namun, ditembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah lenyap warnanya, yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).

Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang terdiri dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal, juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan dan sesampainya didepan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang, tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu saja yang terkunci. Dari luar kini tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah bekas telapak kaki pada debu dilantai masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan diluar, penuh debu dan kotor tidak terpelihara. Disana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut.

Meja toapekong (arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca-arca yang sudah hampir rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya, masih tetap ditempatnya. Barang-barang lain yang berharga tidak tampak lagi. Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia. Dengan hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan disebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar diruangan tengah itu. Diatas meja yang terbuat daripada bata tampak sebuah pot kembang dimana tumbuh kembang yang masih segar, dan disudut ruangan terdapat sebuah arca singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah diambang pintu yang tak berdaun lagi, memasuki kamar.

"Wer-wer-wer ......!!"

Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya. Lu Sian cepat miringkan tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding dibelakangnya.

"Hui-to (Golok Terbang)!"

Lu Sian berseru kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang sekaligus tiga buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.

"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!"

Bentaknya marah. Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban,

"Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang tanpa permisi!"

Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang wataknya tidak mau kalah, ia membentak,

"Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"

Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala kecil bertopi batok, wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang tersenyum mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian, benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.

"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!"

Katanya, masih terpesona. Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali.

"Cih, tak tahu malu! mengaku-aku ini tempat kediamanmu sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"

Orang itu segera menjura, sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya tersenyum.

"Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda, berdarah bangsa Khitan yang gagah berani, namaku Bayisan..."

"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!"

Sambil berkata demikian, Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap menerjang. Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar.

"Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku tega menyerang dengan hui-to? Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau mukamu sampai lecet."

"Keparat bermulut busuk!"

Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing. Bayisan cepat meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja!

"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"

Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan pedangnya saja sudah dapat mengenalnya? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya, membentak.

"Hemm, kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?"

Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak.

"Bagus! Bagus sekali! Karena terhalang urusan penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari Beng-kauw! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya? Sudah lama aku mendengar bahwa puteri Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain wanita yang dapat menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian! Aha, kebetulan sekali!"

Posting Komentar