"Ha-ha-ha, tolol! Gila perempuan!!"
Kwee Seng lalu mengambil guci araknya dan minum dari guci araknya dan minum dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelok memasuki kerongkongannya. Tiba-tiba ia berhenti minum dan menengok memandang kearah gerombolan pohon kembang kecil yang belum kebagian sinar matahari pagi, masih gelap. Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga pemuda ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap bahaya. Ia mendengar gerakan orang disitu, maka tegurnya,
"Siapakah mengintai disitu?"
Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon-pohon dan seorang gadis berdiri dihadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat sambil berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan maksud saya untuk mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar memperkenalkan diri."
Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah, yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian diatas genteng benteng tadi.
"Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui segalanya!"
Kata Kwee Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan, yang merendahkan dirinya.
"Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua dan sekarang tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah kami duga, dan andaikata dia datang memperkenalkan diri secara wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kwee-taihiap yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena itu, saya persilahkan Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
Diam-diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis muda, namun nona ini benar-benar jauh bedanya dengan wanita-wanita yang ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan-santun dan hati-hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu teringat bahwa ia belum menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya boleh juga aku mengenal nama nona yang terhormat?"
"Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam-sute (Adik Seperguruan Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam-sute, akan tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat keluarga Kam."
Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu Sian mempunyai watak dan sikap seperti nona baju putih ini, pikirnya.
"Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan tetapi, sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan Kam-goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan turun tangan terhadap Nona, karena maksud saya hanya menghentikan pertandingan."
Kui Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia menjawab dengan sikap sederhana merendah,
"Ilmu kepandaian Kwee-taihiap telah membuka mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam-sute juga, kami persilakan Kwee-taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan kami."
"Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat, lalu melompat keatas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak pedulian, sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya. Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung ditempat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak itu.
Tanpa ia sadar, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia meramkan matanya seakan-akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya menggetar-getar itu. Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia! Memang aneh-aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang mengamuk dihati orang-orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang dicintanya tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian. Sebaliknya Lu Sian tidak mau membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar ini kagum kepada Kam Si Ek!
Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi makin merah dan beberapa butir air mata terlontar keluar dari pelupuk matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali pendekar itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu, gadis jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan hati entah berapa banyak pemuda. Ia mendengar pula tentang para muda yang menjadi korban di Beng-kauw. Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia teingat akan sutenya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis tergila-gila, akan tetapi sutenya tetap tidak mau menerima cinta seorang diantara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, diantaranya tiga orang enci adik See-liong-sam-ci-moi-itu! Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok tengah malam di puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri.
Bukit itu terkenal dengan nama Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan sebuah di antara gunung-gunung besar, namun didaerah itu amat terkenal sebagai bukit yang sukar didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak setannya. Kam Si Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena memang keadaannya amat berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu kelihatan aneh. Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan disana mengalir pula sungai yang deras airnya, sungai yang sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh penduduk diberi nama Liong-hiat-kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah! Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil mendekap guci arak. Semangatnya seolah-olah melayang pergi mengikuti bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan!